Baru tahun 1993 diterima sebagai mahasiswa cadangan di program studi Teknik dan Sistem Informatika Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telkom, saat ini menjadi Telkom University.
“Saya bahkan hampir tidak bisa kuliah karena saat itu STT Telkom tidak lagi ada ikatan dinas. Tahun 1991- 1992 itu masih ikatan dinas dengan uang saku yang cukup besar, dan tahun 1993, program itu sudah tak ada lagi,” katanya.
Di awal masa kuliah, sempat merasa rendah diri. Beberapa temannya adalah alumni SMA Taruna Nusantara yang dinilainya jenius. Akibatnya Indeks Prestasi (IP)-nya tidak maksimal, bahkan harus mengulang algoritma pemograman yang merupakan mata kuliah inti di Informatika. Untungnya Suyanto unggul di Kalkulus dan Fisika, bahkan banyak temannya yang meminta untuk diajari.
Perubahan kemudian terjadi cukup signifikan. Nilai-nilainya meningkat tajam dan didominasi A. Hal itu membuat kepercayaan dirinya meningkat. Hingga pada semester 6 ada mata kuliah Artificial Intelligence (AI). Mata kuliah yang dianggap remeh oleh teman-temannya dan tidak mempunyai masa depan di dunia kerja, justru menumbuhkan ketertarikan yang dalam bagi Suyanto.
“Sebenarnya saya sudah senang Fisika sejak kelas 1 SD. Buku bacaan pertama saya adalah autobiografi Albert Einstein. Selain senang membaca novel dan karya sastra apa saja,” katanya.
Peminat Turun
Meskipun banyak diremehkan, Suyanto tetap fokus mempelajari AI. Ia yakin suatu saat AI akan booming. Di angkatannya, Suyanto menjadi lulusan pertama dan satu-satunya dan wisuda sendirian bersama kakak-kakak kelasnya. Karena dia senang di bidang akademis, sengaja tidak mencari pekerjaan di perusahaan.
Pada saat yang bersamaan banyak temannya bekerja di Telkomsel, di Telkom, Indosat, dan banyak perusahaan besar lainnya. Keahlian IT memang dibutuhkan pada masa krisis moneter itu. Sedangkan AI jangankan dibutuhkan, dikenal pun tidak. Beruntung pada tahun 2000 ada lowongan dosen di STT Telkom, dan di terima di almamaternya.
Senang menjadi dosen dan ingin memperbaiki citra kampus yang menurutnya mulai menurun peminatnya, karena tak ada lagi program ikatan dinas. Sayangnya, meski sudah berusaha maksimal, ternyata progresnya kurang signifikan.
“Dari situ saya bekerja sangat keras 16 sampai 20 jam sehari, karena saya ingin memperbaiki kampus STT Telkom itu supaya lebih cepat berkembang,” ujarnya.
Mulai Pembenahan
Tahun 2004, Suyanto kemudian melanjutkan S2 di Complex Adaptive Systems Chalmers University of Technology Swedia Fakultas Physic Resource Theory. Di kampus ini tidak hanya mendapatkan sains teknik terkait teori peluang dan teknologi AI, tapi juga mempelajari sosial humaniora, terkait disiplin dan sebagainya.
Setelah lulus S2 di tahun 2006, mulai memperbaiki diri sendiri. Dia terinspirasi sebuah quote “Jika ingin memperbaiki dunia, mulailah dari diri sendiri”. Juga berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan dengan mengoptimasi waktu kerja delapan jam sehari sebagaimana budaya di Swedia. Alasan ketentuan unik tersebut adalah, agar mahasiswa tetap bisa bermain dengan teman, ngobrol dengan tetangga, dan sebagainya.
“Pulang dari Swedia, saya coba lakukan itu, bekerja maksimum 8 jam sehari. Perbaikan itu mulai terasa, saya lebih banyak berinteraksi dengan keluarga di rumah, kehidupan jadi terasa menyenangkan,” katanya.
Target Scopus
Tahun 2007, Suyanto diangkat menjadi lektor kepala, dan kemudian memutuskan mengambil S3 Ilmu komputer di fakultas MIPA UGM. Di sana dia tidak hanya belajar sains teknik terkait ilmu komputer dan AI, tapi juga sosial humaniora, sastra, dan budaya.
“Ternyata itu menyenangkan. Saya lebih banyak mengasah otak kanan dibanding otak kiri, dan sudah mulai seimbang. Kebetulan disertasi saya itu AI untuk linguistik, jadi pengujinya itu justru Profesor dari bidang sastra,” katanya.
Lulus S3, diangkat menjadi Wakil Dekan Fakultas Informatika. Kemampuan manajerial dan leadership pun diuji. Tahun 2017, kampus meningkatkan target publikasi Scorpus Fakultas Informatika yang tadinya 100 menjadi hampir 200 publikasi per tahun. Uniknya, meski ada peningkatan target, Suyanto tetap berkomitmen untuk memaksimalkan jam kerja hanya 8 jam sehari, agar hasil optimal.
Untuk mengejar target tersebut, maka mahasiswa yang mengerjakan tugas, risetnya bagus, dan menghasilkan publikasi yang menembus Scopus, baik di konferensi internasional atau jurnal bereputasi tinggi, maka mahasiswa tersebut otomatis akan langsung mendapat nilai A, tanpa perlu sidang lagi.
Selain mahasiswa diuntungkan, di pihak dosen juga diuntungkan karena nama dosen pembimbing akan langsung tertulis sebagai penulis kedua dan penulis ketiga. Dengan demikian, baik mahasiswa dan dosen akan sama-sama senang dan diuntungkan. Mahasiswa juga senang, karena menembus publikasi bereputasi tinggi bisa menjadi modal melanjutkan studi S2 maupun S3 di luar negeri dengan beasiswa yang cukup baik.
Ada beberapa mahasiswa yang berhasil kuliah di Inggris dan Eropa dengan beasiswa karena memiliki publikasi Q1 di Scopus. Hal itu membuat banyak mahasiswa jadi semangat dan sekarang populasinya cukup lumayan. Sebutlah, kalau ada 700 lulusan setiap tahun di Fakultas Informatika, 30%-nya adalah hasil publikasi. Atau hampir 210-an publikasi berasal dari tugas akhir mahasiswa.
“Nah, itu menyenangkan. Dosen nanti juga bisa mengumpulkan poin. Fakultas juga senang karena targetnya tercapai bahkan terlampaui,” katanya.
Perkembangan AI
Suyanto sudah menekuni AI dari awal kuliah hingga penulisan disertasi. Bila awalnya AI diremehkan dan disebut tak memiliki masa depan, dalam 5 tahun terakhir perkembangan sudah sangat massif. Saat ini semua sudah bisa menyelesaikan banyak pekerjaan yang rumit dan besar skalanya dengan menggunakan AI.
Suyanto mencontohkan Generative Pre-trained Transformer (GPT) atau Deepseek yang sempat menghebohkan dunia AI dengan perkembangannya yang cepat. Simpelnya, sehebat apapun manusia, tidak akan mungkin membaca, mengkurasi, dan memahami satu miliar buku dari berbagai bidang ilmu, dengan bahasa dari seluruh bahasa, namun mesin AI seperti GPT atau deepseek-bisa mempelajarinya hanya dalam waktu 6 bulan.
“Secara akurasi sangat tinggi, secara capacity sudah tidak bisa dibandingkan lagi. Sedangkan manusia masih unggul dalam hal creativity dan humanity,” katanya.
Suyanto menyampaikan, tahun 2030 diperkirakan akan terjadi puncak disrupsi AI, di mana akan ada tiga teknologi besar. Pertama 4G AI, atau AI generasi 4. Kedua adalah 6 generation networks, jadi jaringan internet generasi 6 yang kemampuannya kira-kira 10.000 kali lebih cepat dari jaringan internet saat ini. Ketiga, Quantum Computing.
Quantum computing adalah sebuah mesin server atau mesin komputer yang dengan teknologi quantum yang bisa memproses permasalahan dengan cara yang sangat cepat. Dengan computer biasa, dibutuhkan 1 juta tahun baru keluar outputnya, namun di 2030 dengan fasilitas Qantum Computing, semua bisa selesai dalam hitungan detik. Nantinya Quantum Computing akan mirip seperti laptop.