Danantara University dirancang sebagai universitas korporat berstandar global dengan dukungan dari sembilan universitas top dunia seperti Stanford, Columbia, dan Tsinghua.
Programnya fokus pada bidang strategis seperti kecerdasan buatan (AI), rekayasa, sumber daya manusia, dan keberlanjutan. Pandu menyebut target penyelesaian universitas ini adalah dua tahun ke depan, sekitar tahun 2027.
Saat ini, proses konsolidasi universitas korporat BUMN sedang dipersiapkan, termasuk model akademik, struktur tata kelola, dan pendekatan operasional.
Langkah ini menjadi bagian dari agenda besar reformasi SDM nasional, khususnya di sektor industri strategis. Universitas ini dirancang sebagai “center of excellence” yang menjembatani investasi, teknologi, dan pendidikan tinggi dalam satu institusi terintegrasi.
Konsepnya bertujuan mengatasi fragmentasi pelatihan SDM di lingkungan BUMN yang selama ini terpisah-pisah tanpa sinergi yang kuat. Konsolidasi ini diharapkan tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga akuntabilitas dan daya saing SDM Indonesia di tingkat global.
Kehadiran universitas ini muncul dari tren globalisasi pendidikan dan kebutuhan transformasi SDM sektor publik. Meski banyak BUMN telah memiliki corporate university, sebagian besar belum terkoneksi dalam sistem nasional yang terkoordinasi.
Kebutuhan Mendesak
Universitas Danantara adalah gagasan besar yang lahir dari kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya dalam ekosistem Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Rancangan ini muncul sebagai bagian dari agenda transformasi SDM nasional yang dipimpin oleh Kementerian BUMN, didukung oleh FHCI (Forum Human Capital Indonesia) dan sejumlah perusahaan BUMN strategis seperti Telkom Indonesia, PLN, Pertamina, dan Bank Mandiri.
Universitas ini dirancang untuk menjadi pusat unggulan dalam pendidikan dan pengembangan SDM nasional, think tank, pusat pelatihan vokasi, laboratorium kebijakan, serta inkubator inovasi berbasis teknologi.
Model operasionalnya dirancang fleksibel dan hybrid, memadukan pendidikan akademik dan vokasi dengan pembelajaran berbasis pengalaman industri.
Kurikulum akan disesuaikan dengan kebutuhan strategis BUMN dan transformasi ekonomi Indonesia. Metode pembelajaran akan menggabungkan daring dan luring, teori dan praktik industri, serta kolaborasi riset dan teknologi.
Agenda Konsolidasi
Dalam satu dekade terakhir, beberapa BUMN telah mendirikan corporate university untuk pengembangan SDM unggul dan adaptif, seperti BRILiaN University (BRI), Telkom Corporate University (Telkom), PLN Corporate University (PLN), dan Pertamina Corporate University (Pertamina).
Setiap corporate university ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan spesifik perusahaan induknya, mereka berperan penting dalam menyelaraskan program pelatihan dengan strategi bisnis jangka panjang.
Namun, karena dibangun secara sektoral dan terpisah, terdapat variasi dalam kurikulum, mutu pengajaran, dan pendekatan transformasi SDM. Keuntungannya adalah fokus pada kebutuhan internal dan karakteristik sektor usaha masing-masing,
pengembangan SDM yang sangat kontekstual dan operasional, serta fleksibilitas tinggi dalam desain program dan metode pembelajaran.
Kekurangannya, terlalu terkotak-kotak sehingga kompetensi lintas sektor menjadi lemah, kurangnya standar nasional atau benchmarking antar BUMN,
duplikasi program yang menyebabkan inefisiensi biaya pelatihan, serta terbatasnya inovasi bersama untuk menghadapi tantangan nasional seperti digitalisasi atau ekonomi hijau.
Beberapa alasan utama konsolidasi adalah efisiensi, yakni menyatukan fungsi pelatihan dan pengembangan agar tidak ada duplikasi sumber daya; integrasi kompetensi untuk membangun kolaborasi multidisiplin dan lintas sektor demi menghasilkan SDM holistik;
standarisasi kurikulum melalui penetapan standar nasional untuk pengembangan kompetensi SDM BUMN; dan kolaborasi keilmuan untuk memfasilitasi pertukaran ilmu, praktik terbaik, dan riset strategis antar-BUMN.
Agenda konsolidasi ini membawa visi jangka panjang untuk menghadapi tantangan masa depan, dengan prioritas seperti transformasi digital, keberlanjutan dan ESG (Environmental, Social, and Governance), ekonomi hijau dan energi baru, serta geopolitik dan kedaulatan ekonomi.
Potensi Strategis
Universitas Danantara juga membuka peluang strategis yang lebih luas bagi ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia, sebagai pusat unggulan riset dan inovasi di sektor-sektor strategis
\seperti energi, transportasi, telekomunikasi, perbankan, dan pangan, serta menjadi motor penggerak riset dan inovasi melalui kolaborasi antara praktisi industri dan akademisi.
Alumni diarahkan menjadi talenta masa depan yang tidak hanya menguasai aspek teknis dan digital, tetapi juga memiliki kapasitas kepemimpinan, manajerial, dan etika kebangsaan.
Dengan pendidikan hybrid yang menggabungkan pendekatan vokasional dan akademik, serta integrasi teknologi seperti AI, big data, dan IoT, sarana kolaborasi antara sektor industri dan akademik (Triple Helix Model) dapat diterapkan.
Sinergi antara pemerintah (regulator), industri (BUMN), dan akademisi (universitas) menciptakan program magang terstruktur, riset bersama, inkubasi start-up BUMN, hingga pembelajaran berbasis proyek industri sebagai bentuk kolaborasi berkelanjutan.
Jika dibangun dengan tata kelola yang transparan, visi akademik progresif, serta didukung ekosistem BUMN yang besar dan beragam, universitas ini berpotensi menjadi model atau benchmark bagi korporat universitas di ASEAN.
Masih sedikit negara di Asia Tenggara yang memiliki universitas korporat terintegrasi lintas sektor seperti proyek ini.
Tantangan Dan Risiko
Ada beberapa tantangan dalam menyiapkan Universitas Danantara. Salah satunya adalah risiko birokratisasi, yang dapat terjadi jika tata kelola terlalu sentralistis dan birokratis.
Jika perguruan tinggi ini terlalu dikendalikan oleh struktur formal Kementerian BUMN atau unit strategis perusahaan negara, otonomi akademik dapat terganggu. Padahal, universitas membutuhkan kebebasan berpikir, kebebasan ilmiah, dan ruang eksperimen intelektual.
Jika tidak hati-hati, Danantara bisa berubah menjadi “lembaga pelatihan resmi” belaka, bukan institusi pendidikan tinggi dalam makna sebenarnya.
Kedua, potensi konflik kepentingan antar BUMN. Banyak BUMN besar memiliki corporate university sendiri, seperti BRI Corporate University, Telkom Corporate University, PLN Corporate University, dan Pertamina Corporate University. Konsolidasi melalui Universitas Danantara dapat memicu resistensi karena setiap perusahaan memiliki kebutuhan, budaya kerja, dan kebanggaan institusional yang berbeda.
Ketiga, kurikulum yang terlalu teknokratis. Penekanan pada aspek vokasional dan teknis memang wajar mengingat orientasi BUMN yang fungsional. Namun, ada risiko besar jika kurikulum Universitas Danantara menjadi terlalu teknokratis dan utilitarian, sehingga mengabaikan aspek humaniora, filsafat, kebudayaan, dan kewarganegaraan. Padahal, pemimpin masa depan tidak hanya harus mahir teknologi, tetapi juga memiliki empati, etika, dan visi kebangsaan.
Keempat, daya tarik terhadap talenta non-BUMN. Pertanyaan pentingnya adalah apakah Universitas Danantara hanya akan menarik minat kalangan internal BUMN atau juga mampu memikat talenta dari luar. Jika terlalu eksklusif dan hanya berorientasi pada pengembangan SDM korporat, kampus ini akan kekurangan dinamika intelektual yang muncul dari keberagaman latar belakang mahasiswa dan dosen. Universitas modern membutuhkan ekosistem yang terbuka, kompetitif, dan interdisipliner.
Kelima, lembaga pendidikan atau sekadar sarana pelatihan. Masalah mendasar adalah posisi dan status Universitas Danantara itu sendiri. Apakah akan beroperasi sebagai perguruan tinggi dengan hak akademik penuh, seperti membuka program sarjana dan pascasarjana, atau hanya menjadi entitas pelatihan internal mirip corporate learning center?
Pro Kontra Pendirian Universitas Danantara
Pendirian Universitas Danantara telah memicu respons beragam dari kalangan akademisi. Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, secara terbuka mengkritik inisiatif ini. Ia mempertanyakan urgensi pendirian kampus baru jika dibandingkan dengan kebutuhan riil akan pembangunan ekosistem industri dan pendidikan vokasional
Dalam pandangannya, dana besar yang dikelola Danantara lebih tepat jika digunakan untuk memperkuat jalur pendidikan berbasis keterampilan yang langsung
bersinggungan dengan dunia kerja, ketimbang membangun institusi baru yang berpotensi terputus dari realitas okal.
Prof. Widodo juga menyoroti potensi ketimpangan apabila perguruan tinggi asing dijadikan sebagai acuan utama dalam penyusunan kurikulum dan manajemen pendidikan Universitas Danantara.
Menurutnya, Indonesia perlu mengembangkan model pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kualitas SDM lokal, bukan sekadar meniru sistem asing. Kekhawatiran ini muncul di tengah tren mengagungkan standar global tanpa mempertimbangkan konteks lokal yang kompleks dan beragam.
Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Heri Hermansyah, menyambut baik kehadiran Universitas Danantara. Ia melihat Danantara bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai mitra strategis untuk meningkatkan daya saing nasional.
Kolaborasi antara universitas negeri dan lembaga pendidikan korporat seperti Danantara dianggap langkah cerdas untuk mempercepat pembaruan sistem pendidikan yang adaptif, progresif, dan selaras dengan kebutuhan industri.
Dukungan juga datang dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Andalas (Unand). Rektor UNJ, Prof. Komarudin, memandang Danantara sebagai bentuk investasi pendidikan yang inklusif dan berorientasi jangka panjang.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara BUMN, sektor pendidikan, dan masyarakat sipil dalam mempersiapkan SDM unggul. Sementara itu, Unand bahkan telah menandatangani MoU resmi dan siap menjadi mitra riset serta laboratorium BUMN untuk inovasi dan pengembangan triple helix berbasis kedaulatan nasional.
Universitas Paramadina dan LP3ES menyoroti isu tata kelola dan akuntabilitas Danantara, mengingatkan potensi masalah hukum, lemahnya pengawasan publik, serta risiko konflik kepentingan jika pengelolaan universitas tidak berlandaskan prinsip good governance.
Hal ini menjadi krusial mengingat Danantara berada di bawah struktur lembaga investasi strategis negara dengan akses aset yang sangat besar.
Rekomendasi dan Catatan
Pembentukan Universitas Danantara sebagai langkah strategis untuk konsolidasi pengembangan SDM BUMN perlu disambut dengan antusiasme sekaligus sikap yang kritis.
Jika ingin menjadi center of excellence yang sejati, lembaga ini tidak bisa dijalankan semata-mata sebagai proyek kementerian atau forum
internal BUMN. Ada beberapa rekomendasi dan catatan penting yang perlu diperhatikan.
Pertama, penting melibatkan akademisi, praktisi, dan institusi pendidikan nasional. Universitas Danantara tidak boleh menjadi ruang tertutup yang hanya dikelola oleh birokrasi BUMN, tetapi harus menjadi ekosistem terbuka yang mendorong pertukaran gagasan, keahlian, dan nilai-nilai akademik. Kolaborasi dengan universitas negeri, swasta, dan lembaga riset nasional sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas dan relevansi ilmu pengetahuan.
Kedua, transparansi dalam tata kelola dan kurikulum wajib dijaga. Publik berhak mengetahui siapa pengelolanya, bagaimana rekrutmen pengajar dilakukan, sistem penjaminan mutu, hingga isi materi yang diajarkan. Kurikulum Danantara harus seimbang antara kompetensi teknis, etika, kepemimpinan, dan wawasan kebangsaan. Porsi humaniora dan nilai-nilai sosial juga perlu diperhatikan dalam membentuk pemimpin masa depan.
Ketiga, diperlukan target output dan indikator keberhasilan yang jelas serta terukur. Contohnya, jumlah lulusan setiap tahun, kontribusi lulusan terhadap kinerja BUMN, serta peningkatan kompetensi SDM internal sebelum dan sesudah mengikuti program Danantara. Tanpa tolok ukur objektif, proyek ini bisa kehilangan arah.
Keempat, audit berkala dan evaluasi independen harus dilakukan untuk memastikan Danantara memberi nilai tambah bagi BUMN dan masyarakat. Transparansi ini penting agar publik tetap percaya pada keseriusan negara membangun SDM unggul.
Kelima, penting dicermati apakah Danantara tetap bertahan menjadi institusi pendidikan atau menyusut menjadi pusat pelatihan internal yang elitis. Jika pendekatan yang dilakukan terlalu sempit, maka cita-cita menjadi universitas berbasis teknologi, inovasi, dan kepemimpinan hanya akan tinggal wacana.