Salah satu tugas utamanya adalah mengawal kebijakan makro perguruan tinggi, termasuk visi, misi, dan penerapan ideologi Muhammadiyah. Selain itu, BPH juga bertanggung jawab dalam mengawasi pengelolaan anggaran dan pelatihan kemuhammadiyahan untuk dosen.
BPH diusulkan oleh pimpinan perguruan tinggi, rektor, bersama pimpinan Muhammadiyah setempat. Anggota terdiri dari lima unsur penting, yaitu pimpinan Muhammadiyah, mulai dari tingkat pusat, wilayah, hingga daerah, akademisi dari kampus terkait, pengusaha, pejabat, dan tokoh masyarakat.
Dalam menyusun BPH, unsur akademisi diperlukan untuk pengetahuan tentang manajemen kampus, sementara pengusaha membawa perspektif di ranah bisnis, pejabat membantu kelancaran dalam proses administrasi, dan tokoh masyarakat memberikan sudut pandang dari masyarakat. Kombinasi keahlian dari kelima unsur ini mendukung pengelolaan perguruan tinggi secara efektif.
Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), anggota BPH-nya mencakup Ketua Muhammadiyah Solo dan Sukoharjo, serta akademisi dari UMS. Sementara itu, di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), BPH juga melibatkan pihak eksternal seperti Walikota Semarang, untuk mendukung pengembangan kampus yang baru berdiri. Hal ini berbeda dengan kampus mapan seperti UMS yang cukup melibatkan unsur internal Muhammadiyah saja.
Sebagai badan pengelola kampus, BPH mempunya ruang khusus setara dengan rektor, lengkap dengan tenaga administrasi. Mengingat anggotanya memiliki jabatan tertentu dan sering kali sibuk, maka ada kepala kantor yang hadir setiap hari untuk memastikan BPH tetap efektif dalam menjalankan tugasnya.
“BPH adalah representasi dari organisasi Muhammadiyah dalam mengawasi dan mendampingi perguruan tinggi,” katanya.
Tantangan Kualitas
Saat ini ada lebih dari 4.000 perguruan tinggi, dan pemerintah berencana untuk mengurangi jumlahnya menjadi 3.500. Di Jawa Tengah sendiri, sudah ada 27 perguruan tinggi Muhammadiyah, dengan 14 di antaranya adalah universitas. Oleh karena itu, Muhammadiyah sudah tidak lagi membuka perguruan tinggi baru kecuali untuk akuisisi atau peningkatan status dari institut menjadi universitas.
Jumlah tersebut dianggap sudah cukup, dan pimpinan pusat Muhammadiyah juga tidak mengizinkan pendirian kampus baru di Jawa Tengah. Kampus terakhir yang didirikan adalah Akademi Kesehatan Muhammadiyah di Temanggung.
Seiring dengan kompetisi yang semakin ketat di dunia pendidikan tinggi, Tafsir menyatakan bahwa tantangan utama bagi PTS adalah persaingan dengan PTN yang sering kali menerima mahasiswa dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih PTN juga menjadi tantangan tersendiri.
Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap bertahan dengan fokus pada peningkatan kualitas. Bahkan, UMS masih mendapatkan kelebihan pendaftar dan belum mengalami penurunan jumlah mahasiswa baru setiap tahunnya. Mereka menerima rata-rata 7.500 hingga 9.000 mahasiswa baru setiap angkatan, dengan lebih dari 30.000 pendaftar.
Di sisi lain, perguruan tinggi Muhammadiyah juga mulai mengembangkan program pascasarjana dengan berfokus pada internasionalisasi untuk meningkatkan kualitas dan daya saing global.
“Kami sudah tidak memikirkan kuantitas, tetapi kualitas. Setelah meraih status unggul, maka sekarang kami berupaya melakukan internasionalisasi UMS,” kata Tafsir.
Pengelolaan Finansial
Tafsir menjelaskan bahwa perguruan tinggi Muhammadiyah umumnya mencapai BEP (Break Even Point) di sekitar 3.000 mahasiswa baru. Jika jumlah mahasiswa di bawah 3.000, perguruan tinggi masih bisa bertahan, tetapi dengan pengelolaan yang sangat minimalis.
Meskipun demikian, Muhammadiyah memiliki kelebihan dalam manajemen yang lebih efisien dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya, berkat dukungan organisasi besar yang membantu mengurangi biaya operasional.
Muhammadiyah juga mulai mengembangkan pendanaan perguruan tinggi dengan cara-cara selain mengandalkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa, seperti melalui bisnis, investasi, dan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh dosen sering kali bekerja sama dengan pihak lain, yang dapat meningkatkan kualitas dosen, SDM, serta kondisi finansial kampus.
Salah satu unit yang juga mendukung pendanaan adalah rumah sakit, yang meskipun dianggap nonprofit, namun tetap menghasilkan sisa hasil usaha yang membantu menopang finansial kampus. Kampus Muhammadiyah seperti UMS dan Unimus juga memiliki rumah sakit, di samping unit usaha lain yang masih dirintis.
Sinergi dan Kolaborasi
Perkembangan pesat perguruan tinggi Muhammadiyah baik secara kualitatif maupun kuantitatif didorong oleh sinergi antara tiga komponen, yaitu warga Muhammadiyah (jamaah), organisasi Muhammadiyah (jamiat), dan amal usaha Muhammadiyah (amalusa) seperti kampus dan rumah sakit, yang saling bekerja sama dan mendukung untuk mengembangkan satu sama lain.
Juga ada kerja sama dengan pemerintah dan pengusaha, kekuatan sinergi yang dibangun ketiga komponen tersebut juga berperan dalam memperkuat pertumbuhan unit-unit usaha Muhammadiyah, termasuk perguruan tinggi.
Tafsir menambahkan bahwa kolaborasi dan “taawun” (saling menolong) telah menjadi budaya yang diterapkan di perguruan tinggi Muhammadiyah. Kampus yang lebih besar dan mapan, seperti UMS, membantu kampus yang sedang berkembang, seperti Universitas Muhammadiyah Madiun (Ummad) dan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT).
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) juga mendampingi Muhammadiyah Bandung. Pendampingan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), manajemen, hingga finansial. Ini memungkinkan perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang bersama dengan saling mendukung.
Selain itu, spirit agama dan nilai-nilai Muhammadiyah yang kuat juga menjadi faktor penting. Di Muhammadiyah, semangat berkemajuan dan keagamaan harus tetap dibangun dan dibina, meskipun tidak selalu menguntungkan secara finansial, perguruan tinggi harus terus berkembang dan maju.
“Ada ungkapan dari KH. Ahmad Dahlan, jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tetapi hidupilah Muhammadiyah,” ujarnya.