Anton Priyatno, S.H., sejak masa kuliah telah aktif memperjuangkan keberlangsungan Universitas Surabaya (Ubaya). Sebagai Ketua Dewan Mahasiswa, yang awalnya berniat menjadi aktivis penuntut perubahan, ia malah terlibat dalam pengembangan dan kemajuan universitas. Setelah lulus, ia melanjutkan kiprahnya sebagai Sekretaris Universitas, Pembantu Rektor III, Pembantu Rektor I, Rektor selama dua periode, hingga kini menjabat Ketua Yayasan.
Anton menjelaskan bahwa kampus ini awalnya bernama Universitas Trisakti Surabaya, yang didirikan oleh Yayasan Trisakti Surabaya sebagai lembaga sosial nasional, bukan institusi pemerintah atau organisasi keagamaan. Berkat prakarsa Ketua Umum Yayasan, R. Soekotjo, yang juga Wali Kota Surabaya saat itu, nama tersebut diubah menjadi Universitas Surabaya pada 1968.
Pada awal operasinya, kampus ini terletak di lahan hanya seluas 500 meter persegi di kawasan Chinatown, Surabaya, dengan fasilitas gedung pinjaman milik perkumpulan masyarakat Tionghoa yang juga berfungsi sebagai rumah duka. Tahun 1973, Ubaya pindah ke kampus pertama di Ngagel Jaya Selatan, menandai awal pertumbuhan yang lebih layak. Ubaya telah melalui perjalanan panjang yang penuh dinamika pendidikan tinggi di Indonesia. Perjuangan dan transformasinya berlangsung sejak masa-masa awal penuh keterbatasan hingga menjadi salah satu universitas swasta terkemuka di Surabaya.
“Jika ditanya tentang usia universitas atau dies natalisnya, itu sama dengan usia saya selama terlibat di Ubaya,” ujarnya.
Hampir Bubar
Dalam perjalanan Ubaya, sepuluh tahun pertama sejak berdiri pada 1968 hingga 1978 adalah masa penuh perjuangan untuk bertahan. Puncaknya terjadi pada 1974 ketika jumlah mahasiswa turun drastis menjadi hanya 400 orang di tiga fakultas, hampir membuat universitas terancam bubar.
Upaya penyelamatan saat itu melibatkan sinergi antara mahasiswa aktivis, Rektor Prof. Mr. Boedisoesetya, dan Ketua Yayasan yang bertekad menjaga institusi tetap hidup.
Anton mengenang bahwa Rektor Ubaya terus memotivasi dengan semboyan Alis Volat Propriis, terbang dengan sayap sendiri, yang menyampaikan pesan bahwa keberhasilan harus diraih dengan kemandirian.
Pada 1975, pemerintah melalui Direktorat Perguruan Tinggi Swasta yang dipimpin Prof. Soemantri Brodjonegoro mulai memberi perhatian khusus pada perguruan tinggi swasta, membuka peluang dialog dan dukungan kebijakan untuk memperkuat posisi Ubaya.
Momentum positif ini berlanjut pada awal 1976, ketika kampus pindah ke gedung baru di Ngagel Jaya Selatan dengan fasilitas lebih representatif. Perpindahan ini meningkatkan kepercayaan publik dan mendorong kenaikan signifikan jumlah pendaftar.
Sejak saat itu, jumlah mahasiswa terus bertambah, fakultas berkembang, dan pada akhir 1970-an, universitas memiliki delapan fakultas yang melayani lebih dari 10.000 mahasiswa.
Pengembangan Kampus
Dengan pertumbuhan yang konsisten, Ubaya kini dapat dianggap sebagai perguruan tinggi swasta (PTS) yang sangat sehat. Meski ada institusi lain di Surabaya dengan skala serupa,
Ubaya menonjol berkat jumlah mahasiswa yang besar dan komitmennya dalam meningkatkan kualitas dosen, termasuk mendukung pendidikan doktoral (S3) bagi akademisi untuk mencetak generasi guru besar masa depan.
“Ubaya menunjukkan citra kampus yang modern dan multikultural, sekaligus menegaskan komitmen pada etika, kepercayaan, serta karakter kebangsaan. Janji harus ditepati,” ujar Anton.
Budaya organisasi di Ubaya didasarkan pada kejujuran dan integritas, sebagaimana prinsip rektor pertama, Pacta Sunt Servanda. Etika ini menjadi dasar dalam proses belajar mengajar dan aktivitas dosen, sehingga lulusannya dapat diandalkan oleh masyarakat.
Kehidupan kampus dibangun atas nilai pluralisme dan kemanusiaan. Ubaya menciptakan suasana kampus yang multikultural tanpa diskriminasi, serta menekankan pentingnya toleransi dalam keberagaman.
Mahasiswa didorong untuk memiliki motivasi inovatif, mampu berinteraksi dan bekerja sama dengan siapa saja, serta mengembangkan karakter harmonis yang menjadi ciri khas Ubaya.
Bisnis dan Industri
Anton menjelaskan bahwa pada awal berdirinya, Ubaya hanya memiliki tiga fakultas, yaitu Farmasi, Hukum, dan Ekonomi, dengan jumlah mahasiswa sekitar 850 orang.
Seiring berjalannya waktu, Ubaya berkembang menjadi delapan fakultas: Farmasi, Hukum, Ekonomi, Psikologi, Teknik, Teknobiologi, Industri Kreatif, dan Kedokteran, dengan program studi yang tersebar merata.
“Hampir seluruh fakultas memiliki jumlah mahasiswa yang seimbang,” katanya.
Fasilitas kampus menjadi daya tarik utama bagi calon mahasiswa. Gedung baru di Ngagel Jaya Selatan, laboratorium modern, dan ruang belajar berteknologi canggih menunjukkan kesiapan institusi mendukung pendidikan berkualitas.
Para dosen yang didorong melanjutkan studi doktoral dan meraih gelar guru besar adalah aset penting untuk menjaga mutu akademik.
Ubaya telah menghasilkan ribuan alumni yang aktif di berbagai sektor, menonjol di dunia bisnis dan industri, baik sebagai profesional maupun wirausahawan.
Berkat jaringan yang kuat dengan para pelaku usaha, setiap tahun Ubaya mengadakan forum hasil penelitian dan mengundang pengusaha untuk mengembangkan temuan menjadi komoditas industri atau perdagangan
. “Visi dan misi kami memang mendukung perkembangan masyarakat bisnis dan industri,” tambahnya.
Selain itu, banyak lulusan Fakultas Hukum yang telah mencapai karier tinggi, termasuk menjadi jaksa hingga Jaksa Agung Muda. Beberapa juga menjabat di pemerintahan daerah, menunjukkan kontribusi institusi tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di pelayanan publik dan lembaga sosial.
Akreditasi Unggul
Prestasi akademik Ubaya semakin gemilang dengan perolehan akreditasi unggul. Banyak program studi berhasil meraih status unggul, sehingga secara keseluruhan institusi mendapatkan predikat serupa.
Pencapaian ini merupakan hasil kerja keras dan konsistensi dosen, mahasiswa, serta staf dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, fasilitas, dan penelitian.
Meski akreditasi unggul bukan target utama yang dikejar secara agresif, hasil ini menjadi “hadiah” atas kerja sama yang solid sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat.
“Semakin banyak orang percaya pada Ubaya, semakin kuat posisi kami sebagai universitas yang dipercaya masyarakat dan dunia industri,” ujarnya.
Dampak akreditasi unggul dirasakan di berbagai aspek. Mahasiswa kini lebih mudah mendapatkan beasiswa dan kesempatan mengikuti program pertukaran internasional.
Dosen memiliki lebih banyak peluang riset dengan dana besar, dan alumni menikmati nilai tambah di pasar kerja berkat reputasi gelar Ubaya yang luas diakui. Kepercayaan ini juga memperkuat kerja sama dengan pemerintah yang mengharapkan perguruan tinggi berperan aktif dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
Kiat Dalam Menjaga Harmoni Pengelolaan
Sebagai Ketua Yayasan sekaligus mantan rektor dua periode, Anton memiliki pengalaman ganda yang menjadi kunci dalam mengelola hubungan antara yayasan dan rektorat. Di Surabaya, sudah ada contoh perguruan tinggi lain yang mengalami konflik tajam antara eksekutif dan yayasan. Oleh karena itu, komunikasi terbuka dan mekanisme penyelesaian konflik sejak awal sangat penting.
Konflik memang tidak dapat dihindari karena manusia hidup dengan berbagai perbedaan. Namun, yang membedakan Ubaya adalah cara mereka menyelesaikan perbedaan tersebut.
Konflik yang terjadi biasanya bersifat operasional, bukan terkait perebutan dana. Semua pendapatan universitas dan yayasan sepenuhnya dialokasikan untuk operasional serta investasi pendidikan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan transparan.
“Tidak ada masalah fundamental seperti perebutan keuangan,” ujarnya. Struktur keuangan Ubaya diatur dengan baik.
Meski aset dan dana secara resmi milik yayasan, otoritas untuk menandatangani cek diserahkan kepada rektorat sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) yang telah disetujui yayasan. Semua keputusan keuangan mengikuti peraturan gaji, honorarium, dan prosedur yang telah ditetapkan yayasan.
“Kami mengontrol, tapi tidak memonopoli. Rekening koran setiap fakultas atas nama yayasan, namun penandatanganan ada di tangan rektorat,” tegasnya.
Dana cadangan menjadi elemen penting dalam pengembangan kampus. Setelah operasional tahunan selesai, sisa dana dialokasikan ke dana cadangan yang dapat digunakan dengan persetujuan universitas,
seperti untuk proyek ekspansi lahan, pembangunan gedung baru, atau pembelian peralatan di luar anggaran rutin. Dana cadangan inilah yang memungkinkan perluasan fasilitas tanpa mengganggu alur keuangan utama.
Mengenai sumber daya manusia, karyawan diangkat oleh yayasan, tetapi proses kenaikan pangkat, promosi, dan evaluasi kinerja sepenuhnya diserahkan kepada universitas. Hanya keputusan pemutusan hubungan kerja yang memerlukan persetujuan yayasan.
“Ini menciptakan rasa kepemilikan bersama, maksudnya yayasan menyediakan kerangka administratif, sementara rektorat menjalankan operasional harian,” jelasnya.
Pendapatan Kampus
Ubaya tidak hanya mengandalkan biaya kuliah mahasiswa sebagai sumber pendapatan, tetapi juga fokus pada tiga pilar utama yang dikelola secara terintegrasi. Pertama, penjualan hasil penelitian yang terus menjadi sumber signifikan.
“Kami menjual hasil riset kepada industri. Meskipun skalanya masih kecil, potensinya sangat besar,” ujarnya.
Kedua, hibah pemerintah, baik untuk penelitian maupun pengembangan, menjadi pemasukan rutin yang mendukung dana operasional dan proyek strategis.
Ketiga, yayasan mengelola unit usaha yang sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
“Unit usaha kami berfokus pada komersialisasi karya ilmiah yang relevan dengan industri, sehingga menghasilkan nilai ekonomi bagi kampus,” jelasnya.
Meskipun unit usaha belum menghasilkan volume besar, sinergi dengan alumni menjadi kunci untuk membuka peluang di dunia industri. Alumni yang telah berkarier di perusahaan besar memberikan kepercayaan penuh kepada pihak kampus, sehingga mempermudah kerja sama dalam penelitian dan produksi.
Pendekatan ini mencerminkan visi ‘Kota Indah Mardi,’ singkatan dari Industri, Dagang, Maritim, dan Pendidikan, yang pertama kali diusulkan oleh Wali Kota Surabaya R. Soekotjo pada 1960-an.
Visi ini telah menjadi misi yayasan sejak era 1980-an, yaitu memberikan layanan kepada dunia bisnis dan industri, serta mendukung perkembangan Surabaya sebagai pusat ekonomi maritim.
Strategi pendanaan ini dipadukan dengan model tata kelola yang sistematis. Semua aset secara resmi dimiliki oleh yayasan, namun otoritas untuk menandatangani cek dan alokasi anggaran diserahkan kepada rektorat melalui delegasi yang jelas.
Kampus Berdampak
Mengenai kebijakan Kementerian Pendidikan Tinggi yang mengusung konsep kampus berdampak, Anton menyampaikan bahwa semua program di Ubaya, mulai dari hukum, ekonomi, hingga teknik, telah diarahkan untuk menghasilkan output yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Kami mengintegrasikan penelitian, pengabdian, dan pendidikan agar tidak sekadar menjadi latihan akademik,” katanya.
Sejalan dengan peran sistematis antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Anton mencatat adanya penurunan jumlah mahasiswa di PTS akibat kemampuan PTN merekrut mahasiswa dalam jumlah besar, terutama pada tingkat S1.
“Kami mengusulkan agar pemerintah memisahkan peran, dengan PTN fokus pada jenjang S2 dan S3 untuk memperkuat riset dan inovasi, sementara PTS menangani pendidikan S1 secara massal,” tambahnya.
Selain itu, peran alumni kembali menjadi katalisator yang menjembatani dunia akademik dan industri. Alumni yang bekerja di perusahaan besar menjadi jembatan kepercayaan dan membantu membuka akses ke pasar industri yang membutuhkan investasi jangka panjang.
Walaupun industri di Indonesia masih berkembang, keberadaan alumni champion memberikan Ubaya keuntungan kompetitif dalam menyiapkan produk komersial berbasis riset.
Strategi pendapatan yang terdiversifikasi, didukung oleh keterbukaan, delegasi, dan kemitraan alumni, menjadikan Ubaya bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga pilar ekonomi regional yang selaras dengan visi Kota Indah Mardi.
“Selama semua pihak berkomitmen pada tujuan pendidikan dan pembangunan, harmoni antara yayasan, rektorat, dan masyarakat akan tetap terus terjaga,” pungkasnya.