Spontan saya membatin sepakat dengan tampilan majalah yang mentereng itu untuk bersaing dengan media sosial yang semakin gencar menyerbu banyak orang. Lantas ada kesan terdesaklah penerbitan majalah dan buku yang tercetak konvensional.
Padahal faktanya berbagai informasi yang tertulis dalam majalah dan buku akan lebih bertahan dan cenderung dibaca siapa pun yang tergolong terpelajar.
Dengan modal percaya seperti itulah saya sendiri masih nekad menulis-nulis apa pun sebagai jejak perjalanan yang mungkin kelak dapat diwariskan kepada anak-cucu.
Pokoknya menulis saja sebagai kegiatan sehari-hari seorang pensiunan yang mengaku pernah bergiat di kancah jurnalistik dan akademis. Nyatanya dua tahun terakhir ini sudah menghasilkan tiga naskah yang hanya berkisah lakon sepanjang jalan, dua naskah berbahasa Jawa dan satunya berbahasa Indonesia.
Saat ini sedang melanjut naskah yang berkisah pengalaman menjadi seorang warga Kampung Wonoharjo di Semarang Barat. Kapan rampungnya janganlah dipertanyakan.
Sebagai orang yang boleh mengaku mantan jurnalis karena pernah bergiat di Suara Merdeka tahun 1975-1980 maka sepakatlah pada terbitnya Politik Indonesia, Kampus Indonesia, Ekonomi Indonesia, dan Kesehatan Indonesia yang dicetak atau dikemas mewah.
Saya pikir tampilan mewah itu penting untuk memancing atau memantik minat baca publik terpelajar yang tampaknya semangkin tergiur pada tampilan YouTube, Tiktok, Facebook dan macam-macam di jaringan media sosial.
Dari minat baca yang segar itu dapat diharapkan keterbacaan yang mantap dan menumbuhkan atau bahkan menyuburkan pemahaman publik yang komprehensif terhadap berbagai masalah yang berkembang.
Saya sendiri percaya Pak Bambang Sadono sebagai pendiri keempat majalah mewah itu sudah berhitung matang menghadapi pasar pembaca yang semangkin dinamis.
Kalau boleh sekadar mencatat maka keempat majalah tersebut mestilah bisa bertahan sebagai penyebar informasi, gagasan intelektual, dan semangat pembangunan yang komprehensif.
Singkatnya, mampu menumbuhkan pemahaman publik yang ujungnya adalah kesadaran berbangsa dan bernegara yang memang tidak cukup digarap oleh Pemerintah.
Saya pun berharap di terbitan mendatang akan tampil masalah-masalah yang terkesan rada-rada tersisih dari perhatian masyarakat, khususnya kaum muda terpelajar.
Misalnya, masalah kesenian, kebudayaan, sejarah, tradisi, religi, etika, dan berbagai aspek kehidupan yang kultural. Percayalah masih banyak banget masalah pembangunan bangsa dan negara yang pantas disajikan kepada publik terpelajar menuju Indonesia Emas 2025.
Selamat bekerja dan berjuang.