MIND ID (image: IDN Times)

Tambang Milik Negara Harus Jadi Tulang Punggung – Dr. Fuad Bawazier, MA

Share

Potensi besar sektor pertambangan dapat menjadi fondasi yang kuat bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju.

Ketika Indonesia mulai menghentikan ekspor bahan mentah, sejumlah negara maju merasa tidak senang. Mereka terkejut karena selama ini terbiasa mendapatkan bahan mentah dengan harga murah.

Menurut Fuad, perubahan kebijakan ini adalah langkah yang wajar dan sangat diperlukan. Indonesia tidak bisa terus berada dalam kondisi tertinggal.

Pembangunan harus dilakukan secara mandiri dan berani, dengan mengambil keputusan strategis berdasarkan kepentingan nasional, tanpa selalu mengikuti
tekanan atau kehendak pihak luar.

Namun, tantangan besar masih dihadapi, karena banyak pihak swasta yang hanya menjual bahan mentah tanpa memikirkan pengolahan lanjutan. Fuad mengingatkan pentingnya memahami kembali sejarah pengelolaan pertambangan di Indonesia.

Ia merujuk pada Dekret 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, yang mengarah pada pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, menyatakan bahwa semua kekayaan alam, termasuk migas dan mineral, adalah milik negara.

Dengan Dekret itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 yang mengatur penguasaan minyak dan migas oleh negara. Selanjutnya, Undang-Undang
Nomor 44 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina yang mengatur penguasaan sektor migas.

Fuad menambahkan bahwa meskipun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, fokus utama adalah migas, batubara dan mineral lainnya juga harus dikelola oleh negara, meski saat itu belum menjadi prioritas.

Fuad menilai, setelah reformasi, terjadi kecenderungan perusahaan swasta menguasai sumber daya alam di bawah tanah, yang menurutnya bertentangan dengan pelaksanaan Pasal 33.

Seharusnya sumber daya alam, termasuk batubara dan mineral, harus menjadi milik negara. “Swasta boleh berperan sebagai pelaksana, namun kepemilikantetap harus berada di tangan negara,” tambahnya.

Peran Swasta
Fuad optimistis bahwa keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan aset-aset strategis nasional masih dapat diperbaiki, misalnya melalui pembenahan regulasi dan undang-undang.

Tujuannya bukan untuk merugikan pihak swasta, melainkan untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan negara.

Ia mencontohkan, perusahaanperusahaan yang sudah go public tentu tetap dihormati status kepemilikannya. Namun, bagianbagian yang belum go public bisa
saja dikelola atau bahkan dimiliki oleh negara melalui proses transisi yang adil dan terukur.

Menurut Fuad, aset-aset strategis pada dasarnya adalah milik rakyat dan negara, sehingga pengelolaannya tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan pribadi.

Saat ini, masih ada pelaku usaha yang hanya mengeruk keuntungan dari sumber daya nasional. Swasta tetap bisa memperoleh keuntungan, namun harus dalam kerangka kerja sama yang adil. Biaya operasional bisa dihitung, keuntungannya dibagi secara proporsional.

Negara harus tetap fair, tapi swasta juga jangan merasa paling berjasa lalu melupakan tanggung jawab sosialnya. Terkait dengan utang perusahaan, Fuad menyarankan adanya audit ketat oleh lembaga seperti BPK atau BPKP.

Jika utang tersebut digunakan untuk kepentingan di luar perusahaan, maka tanggung jawabnya harus ditanggung oleh pemilik. Namun, bila utang tersebut digunakan untuk operasional yang sah, maka ketika negara mengambil alih aset perusahaan, kewajiban itu juga dapat dialihkan kepada negara secara proporsional.

Semua langkah peralihan dan penguatan peran negara dalam pengelolaan aset-aset strategis sangat mungkin dilakukan, selama ada keberanian dan komitmen dari pemerintah.

Fuad mencontohkan keberhasilan pemerintah dalam mengakuisisi saham mayoritas Freeport sebagai bukti bahwa negara bisa hadir dan memegang kendali atas sumber daya nasional yang vital.

“Pendekatan seperti itu bisa diterapkan juga untuk sektor-sektor lain,” ujarnya.

Terbesar di Dunia
Fuad menyampaikan, Indonesia saat ini menguasai 51% saham Freeport. Tambang milik Freeport merupakan salah satu yang terbesar di dunia, dengan panjang
jalan bawah tanah sekitar 700 kilometer.

Pengelolaan tambang ini menggunakan teknologi canggih, membutuhkan investasi besar, dan sistem yang kompleks.

“Sebagian besar pekerjanya berasal dari Indonesia, namun pengelolaan teknologi operasionalnya masih dikuasai oleh pihak Amerika,” ujarnya.

Indonesia juga memiliki potensi besar di sektor nikel. Saat ini, Indonesia adalah salah satu penghasil nikel terbesar di dunia, dan potensi ini perlu dioptimalkan.
Ia menilai, pemerintah telah berhasil mengelola sumber daya alam dengan baik, khususnya di sektor minyak dan gas.

Namun, di sektor lain seperti nikel, pengelolaan masih didominasi oleh pihak swasta. Bahkan, dalam beberapa kasus, kekuatan swasta dinilai cukup besar hingga dapat memengaruhi arah kebijakan pemerintah.

Terkait perusahaan-perusahaan BUMN yang tergabung dalam BP Danantara, menurutnya, BP Danantara hanya berperan sebagai pemicu pengembangan
proyek-proyek yang sesuai dengan strategi besar negara, tanpa harus menguasai keseluruhan proyek.

“Yang terpenting adalah adanya undang-undang yang jelas dan pengelolaan yang transparan,” katanya.

Pemimpin Baru
Saat ini, MIND ID dipimpin oleh direktur utama yang baru, Maroef Sjamsoeddin sebagai direktur utama. Fuad berharap cita-cita yang diinginkan pemerintah dapat terwujud.

Menurutnya, pemimpin baru ini memiliki pengalaman yang cukup, sehingga dapat memimpin perusahaan dengan lebih terarah dalam melakukan investasi dan
penanaman modal.

Langkah – langkah yang diambil harus mampu mendorong kemajuan dan memberikan dampak positif bagi sektor pertambangan Indonesia. Fuad mengingatkan bahwa pada masa Orde Baru, sektor ekspor, seperti sepatu dan garmen, menjadi andalan untuk menggerakkan ekonomi.

Meskipun Indonesia hanya berperan sebagai tukang maklon, sektor ini berhasil memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, tanpa membebani negara dengan utang besar.

Saat ini, meskipun ada kemajuan, utang terus meningkat sementara pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan. Menurut Fuad, hal ini disebabkan oleh kurangnya strategi yang jelas.

Dulu, ada strategi ekspor yang terfokus, namun kini sektor pertambangan yang menjadi fokus utama justru membawa tantangan tersendiri. Investasi di sektor ini lebih kompleks, mengingat kebutuhan infrastruktur yang lebih besar, seperti pasokan listrik, jalan, dan pelabuhan yang harus terintegrasi dengan baik.

Masalah besar lainnya terkait pertambangan ilegal yang semakin meluas. Pencurian sumber daya alam ini luar biasa, dan meskipun ada aparat penegak hukum,
praktik tersebut tetap terjadi di mana-mana.

Fuad menekankan pentingnya agar pejabat yang terlibat dalam regulasi tidak terlibat dalam bisnis yang mereka atur, karena hal ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan.

“Regulator harus bekerja secara independen, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau kelompok,” tambahnya.

Artikel Terkait

Scroll to Top