Zaim Saidi - Praktisi dan penulis buku Euforia Emas

Prospek dan Tantangan Bank Emas Indonesia – Oleh Zaim Saidi

Share

Setelah sekitar empat tahun, sejak gagasan pertama kali dilontarkan oleh Airlangga Hartarto, akhirnya bank emas (bullion bank) resmi beroperasi di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto meresmikannya pada 26 Februari 2025.

Tujuannya, dalam kalimat Airlangga, untuk “mengkapitalisasi 1.800 ton emas yang ada dalam masyarakat.” Bagaimanakah prospek dan tantangan bank emas ke depan? Pendirian bank emas ini bagi Indonesia tentu saja sangat rasional.

Indonesia adalah salah satu penghasil emas terbesar dunia. Produksi emas tahunan sekitar 133 ton (2024) dengan cadangan deposit 2600 ton. Ini memposisikan Indonesia sebagai produsen emas nomor enam di dunia. Tingkat konsumsi emas di Indonesia sendiri baru mencapai 45 ton per tahun. Jadi kita punya surplus 88 ton per tahun.

Secara tradisional masyarakat mengonsumsi emas terutama dalam bentuk perhiasan, tabungan pribadi (berupa logam mulia batangan dan koin,), dan dalam porsi kecil berupa investasi dalam berbagai derivatifnya: emas kertas dan, belakangan, emas digital.

Sejauh ini, dalam ranah tradisional tersebut, telah banyak pihak terlibat dalam industri emas. Mulai dari penambangan, pemurnian (dan pencetakan), perdagangan termasuk skema cicilan dan gadai, jasa penitipan dan tabungan; serta industri dan perdagangan perhiasan; dan dalam porsi kecil dalam investasi emas kertas, seperti dalam bursa efek (berbentuk ETF = Exchange- Traded Fund emas), dan komoditas berjangka.

Dengan demikian praktis leverage emas di Indonesia masih sangat rendah. Kehadiran bank emas akan membuat leverage emas berlipat kali karena sekarang emas menjadi bagian dari industri perbankan.

Dan emas semakin terintegrasi dalam proses finansialisasi ekonomi. Dalam format sekarang emas selain disertifikasi juga akan didigitalisasi untuk diperdagangkan dan dijadikan instrumen finansial secara luas.

Emas kertas dan digital akan jadi sumber pembiayaan dan, terutama, sumber baru ekstraksi laba. Dalam istilah para pelaku pasar emas menjadi lebih likuid. Sebenarnya, lebih tepatnya adalah yang jadi likuid itu ya kertas dan impuls digitalnya, bukan emasnya.

Bukan kebetulan dalam waktu hampir bersamaan pemerintah juga mendirikan Danantara, satu Sovereign Wealth Fund (SWF), akan punya pilihan investasi lebih banyak dengan adanya bank emas.

Sejumlah Tantangan
Ada sejumlah tantangan mendasar menyertai prospek dan kemungkinan keberhasilan bank emas Indonesia dalam mencapai misi dan tujuannya. Pertama, ketika emas fisik diderivasi maka seketika itu juga tidak ada lagi produk yang bisa dipegang secara fisik.

Dan, bagaimanapun, bank bekerja dengan cadangan sebagian (fractional reserve) yang dilegalkan. Derivasi emas oleh perbankan, secara harfiah, adalah penggandaan emas tanpa ada emas kedua, ketiga, dan seterusnya. \

Satu kilogram emas dapat digandakan (seolah) menjadi 10, bahkan 20, kilogram emas. Tentu saja yang 9, atau 19, kilogram, bukan emas, melainkan secarik kertas. Atau impuls digital.

Dengan kata lain derivasi dan finansialisasi emas adalah sebentuk skema Ponzi terselubung yang dilegalkan. Ada risiko disalahgunakan menjadi skema Ponzi yang sesungguhnya.

Dalam hal ini pihak bank menjanjikan keuntungan tinggi pada nasabah, sedangkan jumlah emas fisiknya, jauh lebih sedikit dari yang dijanjikan. Atau derivasi emasnya melampaui batas, sehingga saat nasabah mau mengambil emas fisik miliknya, tidak tersedia.

Lagi pula, kalaupun sepenuhnya terjaga dan terkendali, finansialisasi sama sekali tidak menghasilkan kekayaan baru. Kegiatan ini hanya mengekstraksi surplus dari sektor ekonomi lainnya.

Dengan kata lain ini adalah bentuk rente atau, dalam bahasa syariat Islam, riba. Modus operandi dan produk bank emas, secara keseluruhan, bermasalah serius secara syariah dalam penilaian fiqih klasik.

Kedua, keberhasilan industri jasa termasuk bank emas, dengan mengabaikan watak ribawinya, sangat memerlukan kepercayaan dan amanah dari para
pihak.

Dalam konteks Indonesia saat ini kita melihat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, BUMN, dan institusi lain, tengah berada pada titik nadir.
Kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan BUMN, bahkan termasuk PT ANTAM yang merupakan episentrum bisnis emas, dan para pejabat pemerintah, akhir-akhir ini, menggerus tingkat kepercayaan ini.

Trust issue yang sulit diatasi. Ketiga, terkait dengan Trust issue itu, memang secara politik dan sistemik, telah terbukti terjadi di masa lalu, ada kemungkinan terjadi penyitaan emas oleh negara.

Ini seperti yang terjadi di AS pada 1930-an ketika terjadi depresi dan krisis moneter besar (diawali oleh ambruknya pasar saham) dengan dikeluarkannya Executive Order 6102, 5 April 1933.

Hal serupa pernah terjadi di Inggris, Australia, Perancis, Italia dan Polandia. Ini, tentu saja, bentuk lain dari fraud, sebagaimana Skema Ponzi yang sangat merugikan publik. Publik akan terus menyimpan trauma atas penyitaan emas ini.

Keempat, meski barangkali tidak disadari atau dipahami, ada wisdom – kita bisa menyebutnya sebagai fitrah – yang Tuhan tanamkan dalam diri manusia tentang emas ini (lihat Q.S 3:14). Emas (dan perlu disebutkan logam mulia lain “pasangannya”, yaitu perak) adalah produk sangat spesial dan unik.

Emas tidak mengandung risiko dan juga sekaligus tidak berpotensi menghasilkan. Satu kilogram emas yang disimpan, atau dipindahtangankan, selamanya akan tetap satu kilogram emas. Tidak berkurang, dan tidak bertambah, sedikitpun. Baik dalam beratnya maupun dalam nilainya.

Secara ilmiah telah dibuktikan nilai emas, sejak zaman ada catatan sejarahnya, sampai hari ini, adalah konstan. Di zaman Romawi, di zaman awal Islam di Madinah 1.500 tahun lalu, sampai detik ini 2 gr emas dapat dibelikan seekor kambing. Dan 3 gr perak dapat dibelikan seekor ayam.

Kelima, bahwa fungsi dan peran emas fisik – kita bisa mengatakan fitrah emas tersebut – tentu saja dan bukan kertas atau byte digital, sepanjang sejarah manusia adalah sebagai uang. Artinya emas (dan perak) merupakan penyimpan nilai, unit hitung, dan alat tukar dalam transaksi yang adil.

Bahkan, meski tidak diakui bahkan dengan sengaja diabaikan dan diingkari, sejak dicabutnya emas sebagai jangkar mata uang kertas (dolar AS) oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 1971, emas diam-diam tetap digunakan sebagai alat lindung nilai uang kertas. Ini dibuktikan dengan tindakan bank-bank sentral di seluruh dunia, dan International Monetary Fund (IMF), terus menambah cadangan emasnya.

Kedudukan Unik
Jadi, haruslah dipahami, kedudukan unik emas dan perak, secara alamiah, bahkan tidak bernilai pada dirinya sendiri. Imam Ghazali mengatakannya sebagai “mineral biasa”, tapi berfungsi sebagai “hakim yang adil”, yakni sebagai penentu harga atau nilai atas benda lainnya.

Emas dan perak (dengan perbedaan derajatnya), selain bukan alat investasi, bahkan bukan komoditas, tidak pernah menjadi material industri kecuali dalam jumlah yang sangat tidak signifikan. Emas (dan perak) sepanjang masa, diwujudkan atau tidak dalam kehidupan manusia, sejatinya adalah uang.

Dengan demikian, jika misinya adalah untuk menyejahterakan masyarakat, baik warga perorangan maupun perusahaan dan negara, maka yang harus dilakukan bukanlah menderivasi emas dengan berbagai leverage di atas.

Melainkan kita kembalikan emas (dan perak) sesuai fitrahnya sebagai uang. Emas (dan perak) harus dicetak, secara fisik, dalam bentuk koin dengan standar berat tertentu yang telah baku dan difungsikan sebagai alat tukar dan alat bayar.

Sehingga kekayaan yang bukan saja konstan, tapi terbukti tangguh dan mampu melewati berbagai krisis ekonomi sepanjang masa, merata dalam masyarakat. Lintas wilayah dan lintas waktu. \

Kalaupun berdampingan dengan uang fiat uang emas akan berfungsi dengan sangat baik sebagai pelindung nilai. Misalnya untuk menjaga dana haji, dana pensiun, dana tabungan pendidikan, dan sebagainya, dari gerusan depresiasi mata uang fiat.

Emas adalah asuransi terbaik dari kemungkinan turbulensi dan krisis moneter. Dan, tentu saja, sebagai uang, emas dan perak dapat digunakan sebagai modal usaha untuk menghasilkan kekayaan baru dari sektor pertanian, manufaktur, dan perdagangan riil.

Mengembalikan emas dan perak sepenuhnya sebagai uang, yakni penyimpan nilai dan alat tukar, saat ini bukan tidak mungkin. Bahkan telah menjadi kecenderungan masa depan.

Di AS setidaknya delapan negara bagian (Arizona, Utah, Texas, Idaho, Wyoming, Tennessee, Kansas, dan Louisiana) telah memberlakukan kembali emas dan perak sebagai alat tukar yang sah, meski secara sukarela. Afrika Selatan, sejak 1967, telah menjadikan koin emas Krugerrand sebagai legal tender, uang yang sah, berdampingan dengan uang fiat Rand.

Di banyak tempat, di kalangan komunitas Muslim, terutama di Indonesia, upaya ini telah dilakukan dengan menerapkan kembali koin Dinar emas (4.25 gr emas, 22K) dan Dirham perak (2.975 gr, perak 99.95), untuk berbagai keperluan transaksi (membayar zakat, mahar, sedekah dan kado, serta membeli barang dan jasa), sejak awal 2000.

Untuk memfasilitasi berlangsungnya transaksi dengan Dinar emas dan Dirham perak ini di berbagai kota secara reguler diadakan “Pasar Muamalah” tempat kedua koin ini berlaku. Pemerintah tinggal mendorong dan men-scale up berbagai upaya rintisan ini dan mengadopsinya menjadi salah satu program ekonomi dan finansialnya.***

Artikel Terkait

Scroll to Top