Profesionalisme BUMN Soal Orang atau Sistem – Oleh Muhammad Ali

Share

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan sebagai raksasa ekonomi yang tangguh. Menguasai sektor-sektor strategis, mengelola aset bernilai ribuan triliun rupiah, dan menyerap jutaan tenaga kerja. Perannya bukan saja dominan dalam struktur ekonomi nasional, tetapi juga menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pembangunan.

Di balik struktur yang kokoh, harus diwaspadai adanya titik-titik rapuh yang perlahan melemahkan daya saing dan kredibilitas korporasi negara. Salah satu kelemahan yang kerap disorot adalah profesionalisme para komisaris.

Komisaris seharusnya melakukan pengawasan strategis untuk menjaga akuntabilitas dan kinerja direksi, tetapi peran ini menjadi tidak efektif jika mereka tampil pasif atau bahkan tidak memahami substansi bisnis yang diawasi.

Fungsi komisaris, yang idealnya sebagai dewan pertimbangan independen, sering kali terjebak dalam posisi seremonial. Berbagai studi dan laporan BPK mencatat lemahnya fungsi pengawasan sebagai salah satu penyebab utama stagnasi reformasi BUMN.

Apakah ini sepenuhnya kesalahan dalam memilih orang? Banyak komisaris diangkat bukan karena kapasitas atau rekam jejaknya, melainkan karena balas jasa politik,

kedekatan personal, atau sekadar “bagi-bagi kursi.” Ataukah persoalannya lebih sistemik, menyangkut tata kelola yang mengabaikan profesionalisme dan mengutamakan patronase di atas meritokrasi?

Balas Jasa Politik
Ketika loyalitas politik mengalahkan kompetensi profesional, tata kelola perusahaan yang sehat pun rusak. Hal ini sering terlihat dalam penunjukan komisaris BUMN, sebuah jabatan strategis yang seharusnya diisi oleh figur berintegritas, berkapasitas, dan memahami industri yang diawasi,

tetapi malah dijadikan arena balas jasa politik atau tempat “parkir sementara” para elite. Komisaris BUMN sejatinya adalah penjaga etika dan pengarah strategis, bukan hanya penonton di jajaran dewan pengawas.

Mereka memegang peran penting untuk memastikan korporasi negara berjalan dengan prinsip kehati-hatian, efisiensi, dan akuntabilitas. Namun, kenyataannya,

Tak sedikit nama yang muncul di kursi komisaris bukan karena kecakapan profesionalnya, melainkan karena kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Banyak tokoh yang melompat dari dunia politik ke posisi komisaris BUMN.

Mulai dari mantan tim sukses, kader partai, hingga tokoh yang baru kalah dalam Pemilu, menjadi komisaris di perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor yang sama sekali asing bagi mereka.

Tanpa rekam jejak pengalaman industri atau pemahaman teknis, komisaris semestinya mampu membaca laporan keuangan, mengevaluasi risiko, menganalisis pasar, dan memberikan arahan strategis.

Dalam kondisi seperti ini, sistem Good Corporate Governance (GCG) berada dalam ancaman. Transparansi dan akuntabilitas hanya menjadi slogan di atas kertas.

BUMN, yang seharusnya menjadi motor pembangunan dan penjaga kepentingan publik, berpotensi berubah menjadi sapi perah atau arena kompromi politik sesaat. Uang negara, yang merupakan modal rakyat, menjadi rawan penyelewengan.

Proyek-proyek strategis bisa tidak optimal akibat minimnya kontrol efektif dari komisaris. Lebih parah lagi, citra BUMN sebagai entitas profesional yang mampu bersaing di tingkat global menjadi suram.

Sistem Yang Rapuh
Kedekatan politik sering kali menjadi jalan utama menuju kursi komisaris BUMN. Apakah ada desain institusional yang memang memungkinkan masuknya figur tak kompeten? Profesionalisme tidak hanya goyah karena individu, tetapi juga karena sistem yang membiarkannya lemah.

Posisi strategis publik harusnya diisi melalui mekanisme yang transparan, akuntabel, dan terbuka untuk partisipasi luas. Namun, dalam pengangkatan komisaris, BUMN, mekanisme itu tampak lebih sebagai “ruang tertutup” daripada “panggung meritokrasi”.

Prosesnya sering kali bersifat elitis dan langsung diumumkan sebagai keputusan final tanpa melibatkan profesional, akademisi independen, atau organisasi masyarakat sipil. Celah ini menjadi ruang kompromi.

Tidak ada keharusan bagi komisaris BUMN untuk memiliki pengalaman industri yang relevan, pemahaman tentang tata kelola perusahaan (GCG), atau sertifikasi tertentu. Jabatan strategis ini bisa diisi oleh siapa saja, bahkan mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia korporasi.

Komisaris berfungsi sebagai pengawas kinerja direksi, tetapi siapa yang mengawasi kinerjaaris? Posisi ini rentan ditempati oleh orang-orang yang lebih melihatnya sebagai sumber penghasilan tambahan daripada tanggung jawab yang memerlukan integritas dan kerja keras.

Passive Board
Budaya “passive board” sudah mengakar dalam struktur yang permisif. Banyak komisaris merasa cukup hanya hadir dalam rapat rutin dan menandatangani laporan, tanpa ada dorongan untuk menjadi pengawas aktif dan kritis.

Publik, sebagai pemilik sejati BUMN, hampir tidak tahu siapa komisaris yang bertanggung jawab atas aset triliunan itu. Apa latar belakang mereka? Apa pengalaman dan kontribusinya? Dalam kondisi seperti ini, akuntabilitas menjadi hal yang sulit dicapai.

Komisaris juga sering dijadikan alat oleh kelompok internal tertentu. Alih-alih menjadi penengah atau penyeimbang, mereka malah terjebak dalam konflik internal yang merusak independensi dan daya pikir strategis.

Praktek rangkap jabatan tetap menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan. Banyak komisaris merangkap jabatan di perusahaan lain, organisasi politik, atau bahkan jabatan publik.

Hal ini membuka pintu konflik kepentingan. Seorang komisaris yang juga anggota kabinet atau pengurus partai lebih mudah tergoda untuk membawa kepentingan sektoralnya ke dalam ruang pengawasan BUMN.

Dampak Jangka Panjang
Kelemahan dalam profesionalisme komisaris BUMN tidak hanya soal kinerja individu, tetapi juga menjadi akar berbagai persoalan struktural yang memengaruhi kinerja BUMN secara keseluruhan.

Sebagai entitas bisnis yang harus untung sekaligus agen pembangunan yang berorientasi pada pelayanan publik, BUMN memiliki mandat ganda. Dalam kondisi ideal, komisaris berperan menjaga keseimbangan antara dua kepentingan tersebut.

Namun, lemahnya profesionalisme komisaris sering menyebabkan pengawasan tidak berjalan efektif, sehingga keputusan bisnis menjadi keliru, timbul inefisiensi, dan moral hazard meningkat karena kurangnya kontrol. Bahkan, komisaris bisa saja terlibat dalam jejaring kompromi yang merugikan.

Profesionalisme dalam pengelolaan sangat penting, terutama dalam iklim bisnis global. Investor, baik lokal maupun internasional, sangat peduli terhadap good governance.

Jika publik melihat bahwa BUMN dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten atau penuh konflik kepentingan, persepsi terhadap keandalan institusi negara akan menurun. Hal ini berdampak buruk pada daya tarik investasi, meningkatkan country risk, dan memengaruhi iklim ekonomi nasional secara negatif.

Ketika BUMN gagal atau merugi akibat pengawasan yang buruk, konsekuensinya tidak hanya berdampak pada neraca keuangan perusahaan, tetapi juga memaksa negara untuk turun tangan melalui dana talangan (bailout), tambahan alokasi APBN, atau bahkan menanggung dampak sosial seperti pengangguran akibat PHK massal.

Solusi sistemik
Ini Sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Mengganti satu-dua nama dalam daftar komisaris tidak cukup. Masalah ini bukan hanya soal mencari “orang yang tepat,” tetapi juga memperbaiki sistem yang memungkinkan individu yang tidak tepat menduduki kursi strategis.

Harus dimulai dengan membongkar sistem seleksi yang masih penuh dengan kepentingan politik. Seleksi komisaris harus didasarkan pada prinsip meritokrasi—memilih berdasarkan kompetensi, bukan koneksi.

Perlu ada mekanisme penyaringan yang ketat, termasuk uji kelayakan publik seperti yang diterapkan pada jabatan strategis lainnya. Komisaris harus memiliki pengalaman dan pemahaman yang cukup tentang industri tempat BUMN beroperasi.

Pemerintah dan Kementerian BUMN bisa mewajibkan adanya kerangka kompetensi standar, termasuk sertifikasi di bidang pengawasan korporasi, tata kelola (GCG), dan manajemen risiko.

Pengawasan terhadap kinerja komisaris tidak boleh dibiarkan mengambang. Harus ada sistem evaluasi berkala oleh auditor independen dengan indikator yang jelas dan objektif. Untuk komisaris yang tidak menjalankan fungsi pengawasannya dengan optimal, perlu diberlakukan sanksi administratif hingga pencopotan.

Budaya pengawasan yang kuat perlu dibangun, di mana komisaris aktif mengawal arah kebijakan korporasi, mempertanyakan penyimpangan, dan mengingatkan manajemen tentang potensi risiko. Komisaris harus menjadi dewan yang kritis.

Salah satu akar masalah lemahnya profesionalisme adalah praktik rangkap jabatan yang masih marak, serta keterlibatan politisi aktif yang memiliki konflik kepentingan. Figur yang masih menjabat di partai politik seharusnya tidak diperbolehkan menjadi komisaris BUMN.

Begitu juga dengan pejabat atau pensiunan pejabat yang memiliki jaringan ekonomi-politik aktif, perlu diatur dengan ketat agar tidak memanfaatkan jabatan komisaris untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Artikel Terkait

Scroll to Top