Sebelum memasuki dunia birokrasi, ia lebih dulu dikukuhkan sebagai guru besar pada usia 45 tahun oleh UGM, almamaternya. Hal ini diambil agar dapat lebih fokus menjalani tugas birokrasi yang sangat menyita waktu.
Latar belakang akademis memberinya kemampuan melihat persoalan secara jernih dan analitis. Langkah awal di birokrasi dimulai ketika Menteri Keuangan Bambang Sudibyo membentuk Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal (TADF), dan Mardiasmo menjadi salah satu anggotanya.
Saat Boediono menjabat Menteri Keuangan, ia dipercaya sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan. Posisi ini dirasa cukup fleksibel karena tetap mempertahankan nuansa teknokratis, meskipun sudah mulai terlibat dalam dunia birokrasi, termasuk berinteraksi dengan DPR.
Di era Menteri Keuangan Sri Mulyani, ia menjabat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan pada periode 2006 hingga 2010. Setelah itu, dipercaya memimpin Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selama 2010 hingga 2014.
Wakil Menteri Keuangan
Pada 2014, atas permintaan Presiden Joko Widodo dalam Kabinet Kerja periode pertama, Mardiasmo diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan mendampingi Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro.
Ketika Sri Mulyani kembali menjabat Menteri Keuangan, ia tetap mendampingi sebagai Wakil Menteri hingga 2019.
“Jadi, saya bersama Bu Sri Mulyani itu dua kali. Pertama saat menjadi Dirjen, dan kedua saat menjabat Wakil Menteri,” ungkapnya.
Terkait pengelolaan keuangan negara, Mardiasmo menjelaskan, pengelolaan ini melibatkan berbagai aspek, terutama dalam menghitung potensi kerugian negara. Meski kondisi dan tren terus berubah seiring waktu, secara umum tata kelola keuangan negara menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh, saat Mardiasmo menjabat sebagai Dirjen Perimbangan Keuangan, alokasi Transfer ke Daerah (TKD) berkisar antara Rp300 hingga Rp350 triliun.
Saat ini, anggaran tersebut telah meningkat menjadi sekitar Rp800 triliun dan diperkirakan akan segera menembus angka Rp1.000 triliun.
“Dengan dana yang besar ini, tata kelola yang baik menjadi sangat penting,” ujarnya.
Menurutnya, pengelolaan keuangan negara harus mengacu pada pedoman yang jelas mengenai batas defisit APBN dan total utang negara. Yang paling penting adalah memastikan kemampuan negara untuk membayar cicilan dan pokok utang, sehingga keuangan negara tetap stabil dan terhindar dari risiko gagal bayar.
Setiap komponen anggaran, mulai dari pendapatan dan belanja hingga defisit, harus dikelola secara cermat agar defisit tidak melampaui batas yang ditetapkan dan utang tetap terkendali.
Pemerintah juga perlu terus mengoptimalkan penerimaan negara melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta penguatan sistem self assessment dan withholding tax.
Di samping itu, sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sumber daya alam harus dikembangkan secara lebih optimal
“PNBP dapat menjadi tambahan penerimaan negara selain pajak dan bea cukai,” tambahnya.
Ladang Amal
Mardiasmo telah menjabat sebagai Komisaris Independen PT TASPEN (Persero) sejak tahun 2020. Dalam pandangannya, posisi ini bukan sekadar jabatan,
melainkan sebuah ladang amal,
mengingat TASPEN mengelola aset yang sangat besar dan memberikan layanan yang sangat berarti bagi pensiunan serta Aparatur Sipil Negara (ASN), baik yang masih aktif maupun pejabat.
“Ini kalau kita melaksanakan dengan hati, dengan dedikasi penuh, balasannya surga,” ujarnya.
Baginya, pensiunan bukan sekadar kelompok yang telah selesai dalam tugas, tetapi bagian penting dari masyarakat yang harus dihargai dengan manajemen
layanan yang baik dan penuh perhatian.
Pensiunan telah memberikan kontribusi besar selama masa jabatan, dan sudah seharusnya menerima perlakuan yang adil dan layak sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi tersebut.
Pensiunan adalah pahlawan devisa negara. Mereka telah menyisihkan sebagian dari penghasilan dalam bentuk premi dan iuran selama bertugas, sehingga hak-haknya menjadi tanggung jawab negara untuk dipenuhi.
Untuk itu, TASPEN berperan penting dalam memberikan layanan kepada pensiunan. Misalnya, bagi ASN yang memasuki masa pensiun, langsung diberikan tunjangan hari tuanya. Selain itu, mengelola pensiun bulanan bagi peserta.
Jika ada yang meninggal, diberikan manfaat asuransi, baik untuk kematian maupun keselamatan kerja, serta layanan lainnya.
Reformasi Kebijakan
Selama menjabat di Kementerian Keuangan, Mardiasmo menyatakan bahwa kebijakan pensiunan ASN perlu segera direformasi. Menurutnya, dana pensiun yang berasal dari kontribusi pegawai selama ini dihitung berdasarkan gaji pokok.
Namun, gaji pokok relatif kecil, sementara para ASN sudah menerima tunjangan kinerja yang seharusnya bisa menjadi komponen utama dalam perhitungan iuran.
Jika iuran dihitung berdasarkan besarnya tunjangan kinerja, maka ketika ASN memasuki masa pensiun, mereka akan menerima manfaat pensiun yang lebih besar. Sayangnya, hal ini belum terlaksana.
Peraturan Pemerintah (PP) hampir diselesaikan, namun terhambat oleh pandemi COVID-19 yang menyebabkan beberapa rencana terhenti.
“Harapannya, PP tersebut bisa segera terbit, sehingga iuran yang diberikan kepada pemerintah akan lebih besar dan manfaat yang diterima nantinya juga akan lebih besar,” ujarnya.
Saat ini tunjangan kinerja bisa mencapai empat kali lipat dari gaji pokok. Jika pensiun dihitung berdasarkan tunjangan tersebut, maka ASN akan merasa lebih
nyaman karena seluruh kebutuhan mereka setelah pensiun dari kepala hingga kaki dibiayai negara dan disertai berbagai fasilitas.
Sebenarnya TASPEN sudah siap dalam hal pengelolaannya dan memang sangat berhati-hati dalam menjalankan fungsinya.
“TASPEN memerlukan perlakuan khusus tidak seperti perusahaan komersial murni karena merupakan badan pengelola dana pensiun,” katanya.
Aset Taspen Rp 400 T Harus Dijaga Hati-hati
Terkait wacana penarikan urusan pensiun dari TASPEN untuk diambil alih oleh Kementerian Keuangan, Mardiasmo menyatakan, saat ini hal itu sudah tidak ada lagi. Menurutnya, pengelolaan pensiun tidak bisa serta-merta dipindahkan karena prosesnya sangat holistik, meliputi seluruh tahapan dari hulu hingga hilir
Sebagai contoh, untuk satu pembayaran saja dibutuhkan pembaruan data. Jika ada peserta yang meninggal dunia atau pensiunan yang perlu diverifikasi apakah masih berhak menerima manfaat, hal tersebut memerlukan pendekatan yang tidak sepenuhnya bisa diselesaikan secara digital. Diperlukan juga pendekatan yang manusiawi.
Ia mempertanyakan apakah Kementerian Keuangan, dengan pengalaman yang ada saat ini, sudah siap menangani seluruh proses tersebut. Karena itu, perlu ada masa transisi, tidak bisa langsung diambil alih begitu saja.
Jika terjadi kesalahan, Kementerian Keuangan juga yang akan menanggung dampaknya, apalagi jika muncul keluhan atau kekurangan dalam pelayanan.
Jajaran TASPEN juga telah mengajak Kementerian Keuangan untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang langkah terbaik ke depan. Menurutnya, TASPEN sudah memiliki akar kuat dalam pengelolaan urusan pensiun.
“Bukan sekadar soal mentransfer dana, tetapi ada proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, monitoring, pemberian umpan balik, terus perencanaan berikutnya,” katanya.
Budaya Integritas
Mardiasmo menegaskan, aset TASPEN yang mencapai hampir Rp 400 triliun harus dijaga dengan sangat hati-hati. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat budaya integritas, pencegahan fraud, adaptasi digital, serta tetap memberikan pelayanan yang humanis.
Digitalisasi memang penting, tetapi harus mempertimbangkan kenyamanan para pensiunan yang sebagian besar adalah senior dan mungkin belum terbiasa dengan teknologi. Jika pendekatan sepenuhnya berbasis digital, mereka mungkin kesulitan mengikutinya.
Penting untuk mengombinasikan teknologi digital dengan pendekatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan, agar mereka merasa dihargai secara psikologis.
Ada dua risiko yang harus dikelola TASPEN. Pertama, risiko pelayanan yang harus cepat dan responsif. Ini benar-benar membutuhkan gerak cepat sesuai dengan prinsip berbasis aturan. Pelayanan harus dioptimalkan untuk mencapai layanan yang excellence.
Selain itu, ada juga yang disebut dengan risiko investasi, yang harus dikelola dengan baik. Risiko investasi sangat besar, mengingat aset yang hampir mencapai Rp400 triliun. Oleh karena itu, jajaran direksi bersama komisaris telah menetapkan berbagai kebijakan dan prosedur yang harus selalu diawasi dengan ketat.
“Kembali lagi pada integritas. Budaya integritas harus terus dikembangkan dan diperkuat,” katanya.