Awalnya orang mengira, Trump hanya mendendangkan lagu Unchained Melody, melodi yang tak terangkai. Trump melukis mozaik dengan goresan warna-warni pucat, kabur. Menyusun puzzle tak berpola, tanpa bentuk. Mereka salah, karena Trump segera memberikan detail, meletakkan konteks. Trump sedang membuat gambar besar: America First. Trump kukuh meneguhkan visi dan misinya untuk mengembalikan kebesaran, keagungan dan kejayaan Amerika (Serikat) mendominasi dunia: Make America Great Again. Visi dan misi yang Trump claim hidup dalam mimpi setiap warga Amerika.
Alih-alih asal membatalkan serangkaian kebijakan kunci pemerintahan sebelumnya oleh Joe Biden dari Partai Demokrat, Trump justru melampaui batas-batas pemikiran dan Tindakan Eksekutif (EA, Executive Actions) sang rival dengan bergerak ke “kanan jauh” secara radikal, terutama pendekatannya terhadap peran Amerika di panggung dunia.
Dalam kebijakan hubungan luar negeri, Trump mengubah total, berbalik 180 derajat dari strategi klasik, “tradisional” yang diterapkan AS selama lebih dari tiga per empat abad sejak pasca Perang Dunia II di era Perang Dingin yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, baik pemerintahan oleh Partai Republik maupun Partai Demokrat.
Pasca Perang Dunia II yang dimenangi AS dan sekutunya, AS mengikatkan diri bahkan menjadi pelopor relasi multilateral dalam kerangka PBB dalam kerjasama pemulihan ekonomi negara-negara bekas (korban) perang, pembangunan, sosial-ekonomi, perdagangan bebas, politik, maupun pertahanan dan keamanan internasional.
Multilateral-Bilateral
Sekarang, di masa presidensi keduanya, Trump dengan cerdik mengubahnya menjadi relasi unilateral, bahkan itu belum cukup, Trump juga ‘memutilasi’ atau mempreteli negara-negara di dunia sebagai entitas atau unit kawasan ekonomi seperti Uni Eropa, ASEAN, dan NAFTA – melainkan sampai pada tingkat bilateral: head to head: satu lawan satu.
Lebih jauh, Trump membawa AS untuk memecah ikatan dan melepaskan diri dari organisasi- organisasi di bawah PBB. Menghadapi lawan maupun sekutu menjadi entitas kawasan: NATO (North Atlantic Treaty Organization, Pakta/Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) dengan 32 negara anggota, dalam konteks kerja sama pertahanan dan keamanan internasional, NAFTA (North America Free Trade Agreement, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara) yang beranggotaan AS, Kanada dan Meksiko, serta Uni Eropa (European Union) yang beranggotakan 27 negara di Eropa, dalam konteks hubungan ekonomi- perdagangan.
Juga, lebih subtile (njlimet, Jawa) memecah dan menghadapi ASEAN (Association of South East Asian Nations, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) yang beranggotakan 10 negara, dengan memecahnya dalam unit- unit bilateral – untuk melemahkan posisi tawar (bargaining position) masing-masing negara terhadap AS.
Sebelumnya, strategi untuk mendapatkan mitra aliansi dan dukungan politik internasional, terutama dari Negara-negara Berkembang, Pemerintah AS menempuhnya dengan cara karitatif melalui partisipasi dalam kerja sama internasional di bawah PBB, kerja sama pembangunan antar-negara, bantuan ekonomi, hingga donasi sosial-kemanusiaan. Juga dengan memproteksi dan memberikan jaminan keamanan kepada sekutu-sekutunya lewat bantuan militer dan kerja sama pertahanan keamanan.
Sekarang, Trump, Presiden AS ke-47 itu mengubahnya menjadi semacam ‘transaksi bisnis’ belaka. Bagi Trump, tidak ada makan siang gratis.
Inilah yang mendasari keputusan Trump, Pemerintah AS keluar dari WHO (World Health Organization, Organisasi Kesehatan Dunia), mundur dari Perjanjian Iklim Paris, dan membubarkan USAID (United States Agency for International Development, Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat). Inilah bencana sesungguhnya bagi dunia.
Nilai WHO Gagal
Orang terkecoh, ketiga Tindakan Eksekutif Pemerintahan Trump itu sekilas tampak terpisah-pisah, namun sejatinya justru menyatu, terintegrasi.
Pemerintah AS keluar dari keanggotaan WHO beralaskan Perintah Eksekutif (EO, Executive Orders) Nomor 14155 tentang “Penarikan AS dari WHO” yang diteken Presiden Trump pada 20 Januari 2025, hanya 10 hari setelah pelantikannya.
Usai penandatanganan EO itu, Presiden Trump menyatakan penilaiannya, bahwa WHO telah gagal menangani Pandemi Covid-19 dan krisis kesehatan dunia lainnya. Juga, Trump menilai, WHO gagal bertindak secara independen dari pengaruh politik yang tidak pantas dari anggota-anggotanya – dengan China sebagai sasaran tembak.
Trump juga menganggap WHO menarik dana yang tidak proporsional, terlalu besar kepada AS, dibanding kepada anggota lainnya yang memiliki populasi lebih besar daripada AS, seperti China. Asal tahu, AS merupakan penyumbang dana terbesar WHO, hingga sekitar 18 persen dari total anggaran WHO. Dalam dua tahun terakhir. Pada 2023 dan 2024, kontribusi AS untuk WHO senilai USD 6,8 miliar.
AS akan melakukan langkah bertahap dengan menetapkan Pemberitahuan (selama) 12 bulan ke depan, sebelum meninggalkan WHO dan menghentikan segala pendanaan.
WHO mengakui, keluarnya AS sebagai pendonor terbesar dari organisasi kesehatan di bawah PBB tersebut, memicu kekhawatiran atas kemampuan WHO dalam memerangi penyakit, merespons keadaan darurat serta krisis kesehatan di seluruh dunia.
Sejumlah pakar kesehatan di Afrika juga memperingatkan, bahwa mundurnya AS dari WHO dapat memutarbalikkan kemajuan signifikan yang telah dicapai dalam memerangi penyakit seperti malaria, tuberkulosis, dan HIV di Afrika. Pun, banyak negara-negara miskin di Afrika dan di seluruh dunia kini masih tergantung hampir sepenuhnya pada WHO untuk bantuan teknis dan vaksinasi.
Sementara, bagi Indonesia, keluarnya AS dari WHO, organisasi yang turut didirikan AS pada tahun 1948, tidak membawa pengaruh atau dampak yang signifikan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, Indonesia relatif tidak terdampak.
“Kita nggak terlalu banyak dapat dari WHO, tapi WHO pasti ada (terdampak),” kata Budi Gunadi Sadikin menanggapi keluarnya AS dari WHO (KompasTV, 29 Januari 2025).
Kehilangan Berarti
Lain WHO, lain pula USAID. Pembubaran USAID didasarkan pada dua EO, yakni EO Nomor 14150 tentang “Arahan Kebijakan America First kepada Menteri Luar Negeri” yang Presiden Donald Trump tandatangani pada 20 Januari 2025 dan EO Nomor 14169 tentang “Mengevaluasi dan Menyelaraskan Kembali Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat” pada tanggal yang sama.
Presiden Trump bilang, pembubaran USAID adalah bagian dari penghentian semua bantuan luar negeri AS. Trump beralasan, USAID telah menghabiskan banyak anggaran negara tanpa memberikan manfaat langsung bagi pembayar pajak AS, sehingga tidak sejalan dengan kebijakan America First. AS total mengeluarkan tak kurang dari USD 68 miliar atau setara Rp. 1.100 triliun, dengan USD 40 miliar atau Rp 665 triliun di antaranya teralokasikan untuk USAID.
Berbeda dengan keluarnya AS dari WHO, pembubaran USAID tampaknya membawa kehilangan yang cukup berarti bagi Indonesia. Organisasi yang menempel pada Kementerian Luar Negeri AS itu memiliki berbagai program bantuan kepada Indonesia, antara lain di sektor pendidikan.
Dikutip dari ForeignAssistance. gov (detik.com, 12 Februari 2925), kepada Indonesia, USAID memberikan bantuan dengan total nilai USD 153,5 juta atau setara Rp 2,4 triliun, tersebar ke berbagai sektor, diantaranya sektor pendidikan. Pada tahun anggaran 2024, bantuan USAID di sektor pendidikan didistribusikan pada berbagai program, antara lain: Pertama, Jakarta Higher Education Partnership Initiative (HEPI) Program, senilai USD 1.853.030 (Rp 30 miliar). Program ini bertujuan mengembangkan kemitraan berkelanjutan dengan lembaga pendidikan tinggi Indonesia serta sektor swasta untuk meningkatkan keterampilan dan kompetensi kritis mahasiswa melalui gelar berkualitas tinggi yang diakui secara internasional dan kredensial industri.
Kedua, Partnership for Productive Workforce senilai USD 1.632.752 setara RP 26 miliar. Tujuan program ini adalah meningkatkan investasi sektor swasta dalam program pelatihan kejuruan melalui kemitraan dengan pelatihan dan pendidikan teknis dan kejuruan.
Ketiga, TEMAN LPDP sebesar USD 1.183.524 (Rp 19 miliar). Berupa dukungan teknis dan manajemen USAID untuk Beasiswa LPDP. Program bantuan USAID untuk Indonesia di sektor pendidikan bukan hanya terbatas pada ketiga program tersebut. USAID banyak memiliki program bantuan. Sebut saja, SHERA (Sustainable Higher Education Research Alliances) pada tahun 2019 dengan nilai USD 3.194.315. SHERA bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penelitian di pendidikan tinggi Indonesia dan kolaborasi antara berbagai lembaga pendidikan tinggi Indonesia dengan AS di bidang sains, teknologi, dan inovasi serta untuk meningkatkan lingkungan yang mendukung penelitian berkualitas.
Sejak 2012 – 2019, setiap tahun anggaran, USAID mendanai program PRIORITAS (Prioritizing Reform, Innovation, Opportunities for Reaching Indonesia’s Teachers). Program ini menyediakan bantuan teknis dan sumberdaya terkait yang dibutuhkan untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran serta manajemen berbasis sekolah di lembaga-lembaga pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SMP) negeri dan swasta, lembaga pendidikan guru, dan Program Studi Pendidikan di universitas- universitas Indonesia.
Satu di antara yang digandeng USAID dalam Program PRIORITAS adalah UNNES (Universitas Negeri Semarang).Program PRIORITAS mendapatkan bantuan terbesar pada tahun anggaran 2015 dan 2016, masing-masing senilai USD 21,6 juta dan USD 21,7 juta. Mengingat konsistensi dan besarnya nilai bantuan USAID di Indonesia, tak terkecuali di sektor pendidikan, maka pembubaran USAID oleh Presiden Trump dalam masa kedua jabatannya, akan menjadi kehilangan yang cukup berarti bagi Indonesia.
Darurat Energi di Amerika Prospek Batubara Indonesia
Mundurnya Pemerintah AS dari Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, paling tidak berlandaskan dua EO yaitu EO Nomor 14154 tentang “Pembebasan Energi Amerika” dan EO Nomor 14156 tentang “Deklarasi Keadaan Darurat Energi Nasional”
Perjanjian Iklim Paris (The Paris Agreement) adalah kesepakatan atau traktat internasional untuk mengatasi perubahan iklim yang bertujuan mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dari tingkat pra-industri, dan upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius. Serta dengan menekankan pentingnya mitigasi, adaptasi, dan dukungan keuangan.
Perjanjian Iklim Paris diadopsi dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ke-21 (COP21) di Paris pada Desember 2015, dan ditandatangani bersama oleh negara-negara anggota UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) pada April 2016.
Alasan penarikan diri AS dari Perjanjian Iklim Paris, dengan singkat dan kuat dikemukakan Presiden Trump, usai menandatangani EO-nya, bahwa Amerika Serikat tidak akan menyabotase industrinya sendiri, sementara China terus melenggang mencemari dunia dengan impunitas (impunity, bebas dari hukuman).
Tuduh China
China disebut Trump sebagai biang penyebab. Baik untuk kasus hengkangnya AS dari WHO maupun Perjanjian Iklim Paris. Perlu diketahui, AS merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen monoksida (N2O) terbesar kedua di dunia, setelah China.
Pasca keluar dari Perjanjian Iklim Paris, AS akan ‘bergabung’ dengan sedikit negara di dunia yang tidak mengikatkan diri padanya, Iran, Libya, dan Yaman.
Publik hanya bisa menduga, bahwa alasan sejati terkait dengan EO Nomor 14154 tentang “Pembebasan Energi Amerika” dan EO Nomor 14156 tentang “Deklarasi Keadaan Darurat Energi Nasional” adalah kehendak Trump untuk memulihkan kembali arah sejarah industrialisasi Amerika yang ditopang sepenuhnya oleh sumber energi berbasis
fosil. Agenda yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat dan tujuan Perjanjian Iklim Paris, dengan tetap mengarahkan perhatian dunia, sekali lagi, pada China yang Trump tuduh sebagai penghasil emisi gas buang terbesar di dunia, tanpa adanya ‘hukuman’ dari masyarakat global.
EO pertama adalah agenda Presiden Trump untuk membebaskan aktivitas pengeboran minyak dan gas, juga penambangan batubara dari regulasi, sehingga dapat memaksimalkan hasil produksi untuk penggunaan domestik dan atau menjualnya ke seluruh dunia.
Sementara EO kedua memperkuat yang pertama, dengan memberikan wewenang kepada Presiden Trump untuk menggunakan energi berbasis fosil, guna mengantisipasi serta melakukan mitigasi atas potensi atau kemungkinan terjadinya krisis energi nasional AS ke depan.
Trump juga mendorong reaktivasi pembangkit energi berbasis fosil untuk industri, yang oleh negara-negara penandatangan Perjanjian Iklim Paris, terutama anggota di Eropa, dan Amerika Utara justru telah dibunuh. Digantikan dengan sumber energi bersih lain yang (lebih) ramah lingkungan, dengan minimal gas buang. Ini juga berarti Trump telah membawa AS melawan perjuangan masyarakat internasional dalam perjuangan semesta menahan laju pemanasan global. Trump tidak peduli.
Energi Fosil
Pada 8 April 2025, Trump kembali menandatangani 4 EO untuk membangkitkan kembali industri batubara AS yang dalam sepuluh tahun terakhir mengalami kemunduran, antara lain oleh pembatasan-pembatasan regulasi.
Seakan melawan siapa saja, apa saja, Trump against everyone, everything, juga menantang kehendak umum masyarakat internasional untuk mereduksi efek rumah kaca dan pemanasan global oleh penggunaan energi berbasis fosil dalam industri, lewat keempat EO itu, Trump justru mengulur umur operasi pembangkit listrik batubara tua yang (oleh regulasi sebelumnya) mestinya sudah harus dipensiunkan.
Dengan berapi-api, Trump mengulang pernyataan yang telah disampaikannya pada WEF (World Economic Forum, Forum Ekonomi Dunia) di Davos, Swiss, Januari 2025 lalu.
“Tidak ada yang bisa menghancurkan batubara. Bukan cuaca. Bukan bom. Tidak ada,” katanya.
Trump mengakhiri perang Joe Biden terhadap batubara yang indah dan bersih. Sekali, untuk selamanya. Dan bukan hanya Biden, tapi juga Obama dan yang lainnya.
“Kami melakukan kebalikannya, semua pembangkit listrik (tenaga batubara) yang telah ditutup akan dibuka kembali,” katanya.
Indonesia Diuntungkan
Keempat EO itu memerintahkan langkah-langkah yang mencakup penundaan penutupan pembangkit listrik tenaga batubara yang sudah tua, percepatan pemberian izin penambangan batubara baru di lahan Federal, pembentukan National Energy Dominance Council (Dewan Dominasi Energi Nasional) untuk menghilangkan hambatan regulasi dalam produksi energi tradisional, termasuk batubara.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengekspor batubara terbesar di dunia, kebijakan, keberpihakan dan pembelaan Trump terhadap batubara sebagai sumber energi termal termurah hingga saat ini, sangat menguntungkan. Bisa dipastikan, bahwa akan ada lebih banyak negara di dunia, terutama di Asia yang akan mengekor AS. Dan itu berarti akan makin besar permintaan batubara di pasar global. Itu juga berarti prospek batubara RI akan semakin cerah.
Belum-belum, harga batubara dunia, menurut Refinitiv, penyedia data pasar finansial dan infrastruktur terpercaya, pada hari yang sama sesaat Trump menandatangani EO untuk menghidupkan kembali industri batubara, spontan harganya terkerek naik dari USD 98,9/ton pada 7 April 2025 menjadi USD 100,25/ton pada 8 April 2025. Pada saat yang sama, batubara menjadi satu-satunya sumber energi yang menguat saat ini, di tengah perang dagang AS vs China yang melebar ke mana-mana, yang memanas akibat kebijakan tarif resiprokal (reciprocalTrump. Harga minyak tumbang 6%, sedangkan harga gas alam anjlok 5%.
Kembali pada posisi Indonesia sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia, yang berkontribusi sebesar 16% dari total nilai ekspor Indonesia, maka kita bisa berharap bahwa prospek batubara Indonesia akan semakin terbuka perkembangannya.
Mulai Ragukan Peran NATO Rangkul Rusia, Tekan China
Inisiatif Presiden Trump untuk menarik diri dari NATO, mengusir Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dari Oval Room Gedung Putih, dan mengambil opsi untuk lebih ‘berpihak’ kepada Rusia dalam perang Rusia versus Ukraina, serta serangan agresif Trump terhadap Tiongkok dalam kebijakan tarif resiprokal, tampaknya memang memiliki alasan yang berbeda, namun sesungguhnya memiliki akar tujuan yang sama, yakni agenda America First dan Make America Great Again.
Jauh hari, Elon Musk, bos Tesla auh hari, Elon Musk, bos Tesla yang memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE, Department of Government Efficiency) menyatakan, para politisi Partai Republik, partainya Trump, mengklaim bahwa NATO tidak sejalan dengan agenda America First pemerintahan Trump.
Momen pemicunya adalah saat terjadi ketegangan hubungan AS – Ukraina dalam perundingan perdamaian yang terhenti, dan keputusan Trump untuk memangkas bantuan militer ke Ukraina. Menyusul cekcok dan berujung dengan pengusiran Zelensky dari Oval Room Gedung Putih.
Saat itu Zelensky menginginkan jaminan keamanan bagi setiap kesepakatan perdamaian Rusia – Ukraina. Sementara AS menginginkan (konsesi) mineral tanah jarang (rare earth), namun enggan menyusun rencana pertahanan (bagi Ukraina) jika Rusia melakukan pelanggaran gencatan senjata.
Ragukan NATO
Skeptisme Trump atas NATO, telah diungkap oleh Business Insider, situs berita bisnis, keuangan dan teknologi berbasis di AS, bahwa NATO, khususnya klausul Pasal 5, bahwa semua negara NATO akan terlibat perang jika satu negara anggota NATO diserang oleh negara lain. Hal ini akan bisa membawa AS ke dalam Perang. AS, kata Trump, akan meninggalkan NATO jika negara- negara di Eropa, apalagi negara yang tidak menghabiskan banyak uang untuk pertahanan mereka sendiri.
Sementara, kepada AFP (7 April 2025), Trump bilang, bahwa negara-negara NATO yang tidak cukup mengeluarkan dana untuk militernya sendiri, dan terlalu bergantung pada AS, tidak akan dia bela. Hanya negara yang akan membayar lebih, yang akan mendapat perlindungan.
Peran Trump sebagai mediator perdamaian Rusia – Ukraina cukup efektif, paling tidak menurunkan eskalasi perang dengan jeda dan gencatan senjata sementara atau temporer – yang di sana-sini masih diwarnai pelanggaran-pelanggaran “kecil” dari kedua belah pihak yang berseteru.
Namun, ternyata ada udang di balik batu, motif Trump menjadi mediator perdamaian, yakni ternyata AS ingin mengambil alih dan mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Nulir (PLTN) terbesar Eropa di Ukraina, yang sekarang ini diduduki Rusia. Presiden Trump menyampaikan gagasannya itu dalam percakapan telepon dengan Presiden Zelensky (19 Maret 2025). Menurut Zelinsky, Trump mengungkapkan idenya, saat Zelensky berbicara mengenai penghentian serangan Rusia terhadap infrastruktur jaringan energi Ukraina.
Aliansi China – Rusia
Dalam konteks kebijakan tarif resiprokal, terbukti kontras perlakuan Trump terhadap China dibandingkan kepada Rusia. Terhadap China, di mana AS menderita defisit neraca perdagangan terbesar, Trump yang memandang China yang terus melawan dengan terus saling melipatgandakan besaran tarif balasan, Trump, terakhir kali mengenakan tarif sebesar 125% kepada China, menanggapi balasan China yang mematok tarif 84% untuk AS. China juga telah mengadukan AS ke WTO untuk melakukan penyelidikan dampak tarif Trump terhadap perdagangan global, dan melaporkan hasilnya kepada seluruh anggota WTO.
Lain kepada China, lain pula perlakuan Trump kepada Rusia. Rusia bersama beberapa negara lain, musuh Amerika seperti Belarusia, Kuba dan Korea Utara, tidak dikenai tarif resiprokal. Khusus untuk Rusia, ada beberapa yang tersurat, eksplisit yang disampaikan.
Pertama, agar tidak membahayakan perundingan yang sedang berlangsung untuk menyelesaikan perang Rusia vs Ukraina, seperti yang disampaikan Direktur Dewan Ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett kepada ABC, 7 April 2025.
“Gedung Putih tidak akan mencampuradukkan kedua isu tersebut,” kata Kevin Hassett.
Kedua, AS tidak berdagang secara signifikan dengan Rusia. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan kepada Fox News, bahwa keputusan Washington untuk tidak memasukkan Rusia dalam Daftar Tarif, karena memang Washington tidak berdagang secara signifikan dengan Moskwa. Dan sanksi ekonomi AS terhadap Rusia sejak invasi Rusia terhadap Ukraina, sudah melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh tarif. Sedikit gambaran, nilai impor AS dari Rusia pada tahun 2024 hanya sebesar USD 3 miliar, turun 34,2% dari tahun sebelumnya.
Ketiga, karena kedua negara AS dan Rusia hari-hari ini, sejak Trump menapaki presidensi kedua, sedang menjalin pencairan hubungan diplomatik.
Keempat, ini dugaan para pengamat, bahwa Trump dengan cerdas merangkul Rusia untuk mencegah kemungkinan terjadinya aliansi antara Moskow dan Beijing. Dan menjadikan AS sebagai musuh bersama – terutama dalam perang dagang AS China sekarang ini dan di masa depan.
Hal ini relevan, mengingat China dan Rusia – bersama dengan 8 (delapan) negara lainnya termasuk Indonesia, kini telah solid tergabung dalam BRICS – aliansi ekonomi yang semakin kuat, dengan agenda utama antara lain “membuang dolar Amerika” dalam transaksi perdagangan antar-anggota.
Bukan Pemimpi
Trump bukanlah seorang pemimpi. Mungkin juga bukan orang yang romantis, tapi orang yang realistis. Trump juga, seperti pengakuannya sendiri, adalah orang yang fleksibel, luwes, lentur.
Mimpi Trump tentang America First dan Make America Great Again mungkin telah dia gambar adegan yang sedikit aneh, tapi mungkin saja indah: Elang Botak (Haliaeetus leucocephalus), lambang nasional AS menyambar Naga (makhluk mitologi), lambang nasional Tiongkok, sambil merangkul Elang Berkepala Dua, lambang nasional Rusia.
Mimpi Trump tentang America First dan Make America Great Again, bukan mimpi di siang bolong. Dengannya, Trump bersumpah untuk akan mengembalikan keunggulan, keadikuasaan, dominasi, kebesaran, keagungan dan kejayaan Amerika.
Bukan hanya warga AS, dunia kini menahan napas: apa yang terjadi di ujung lidah dan jari Trump yang siap melawan siapa saja, apa saja – untuk mewujudkan mimpinya, yang katanya juga hidup di malam-malam redup setiap warga Amerika, hari-hari ini.