Prof. Dr. Nugroho SBM, M.Si - Guru Besar Ekonomi pad Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip

Potensi, Manfaat, dan Masalah Danantara – Oleh Prof. Dr. Nugroho SBM, M.Si

Share

Dalam hal korupsi dan penyalahgunaan dana karena lemahnya pengawasan ini kita bisa belajar dari kasus lembaga yang mirip dengan Danantara yaitu “1Malaysia Development Berhad (1MDB)”. 1MDB adalah perusahaan investasi milik negara yang didirikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 2009, tak lama setelah ia menjabat.

Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara telah diresmikan oleh Presiden Prabowo pada Senin (24/2/2025). Danantara sebagai holding company akan mengelola aset dari 7 (tujuh) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) besar, yaitu: Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Nasional Indonesia, Pertamina, PLN, Telkom dan MIND ID.

Total aset tujuh BUMN tersebutyang akan dikelola oleh Danantara diperkirakan mencapai Rp 1.400 triliun. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat besar yaitu 4 (empat) kali dari besarnya APBN 2025 yang hanya sekitar Rp 3.621 triliun. Danantara akan mengelola antara lain dividen atau bagian laba BUMN yang biasanya disetor ke kas negara untuk diinvestasikan di berbagai hal antara lain di berbagai bidang usaha.

Dana besar yang dikelola oleh Danantara akan mempunyai potensi manfaat yang besar pula. Ada beberapa potensi manfaat.

Pertama, Danantara bisa menginvestasikan dananya untuk sektor-sektor yang berdampak besar dan berkelanjutan seperti energi terbarukan, industri yang menghasilkan produk-produk dengan teknologi tinggi, indutri hilir yang menghasilkan bahan baku serta mesin yang selama ini diimpor, sektor pangan, industri pengolahan hasil tambang, dan lain-lain. Proyek dan bidang-bidang usaha tersebut sangat penting dan berdampak besar serta positif bagi masyaraakat tetapi tidak ada perusahaan swasta yang mau berinvestasi di sana karena dana yang dibutuhkan besar tetapi keuntungannya tidak segera dapat dinikmati.

Kedua, Danantara dapat berperan dengan berinvestasi pada pembangunan infrastruktur dengan bekerjasama  dengan swasta (dalam bentuk public-private partnership) yang menghasilkan balikan (return). Infrastruktur yang dimaksud misalnya jalan tol, pelabuhan, gudang, pasar dan yang lainnya yang biaya pembangunannya besar dan balikan (return)nya tak cepat dinikmati. Pembangunan infrastruktur ini sekaligus akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Ketiga, Danantara dapat berperan pula dalam kerjasama dengan investor-investor besar dari luar negeri yang selama ini kesulitan mencari partner karena keterbatasan dan yang dimiliki oleh investor domestik. Investasi dalam projek besar tersebut tentu akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja.

Potensi Masalah
Namun di samping potensi manfaat seperti telah disebutkan di atas, ada pula sejumlah potensi masalah. Pertama, Danantara ini tidak di bawah pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Undang-Undang BUMN yang baru. Hal ini tentu menimbulkan potensi masalah berupa korupsi atau penyalahgunaan dana yang begitu besar oleh Danantara. Selama ini banyak dana misalnya dari APBN yang tidak sebesar dana yang dikelola Danantara dan sudah diawasi ketat oleh lembaga pengawasan seperti KPK dan BPK, masih bisa dikorupsi.

Dalam hal korupsi dan penyalahgunaan dana karena lemahnya pengawasan ini kita bisa belajar dari kasus lembaga yang mirip dengan Danantara yaitu “1Malaysia Development Berhad (1MDB)”.
1MDB adalah perusahaan investasi milik negara yang didirikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 2009, tak lama setelah ia menjabat. Pada 2015, terjadilah skandal pencucian uang dan korupsi terbesar dalam sejarah Malaysia yang dikenal dengan nama “skandal 1MDB”. Dalam skandal tersebut, Perdana Menteri Najib Razak dan para pejabat tinggi Malaysia dituduh mencuri uang negara sebesar 4,5 dollar AS dari 1MDB selama 2009-2015. Hasil uang korupsi dari 1MDB tersebut digunakan oleh Najib Razak dan pejabat tinggi Malaysia lain beserta keluarganya untuk berwisata ke seluruh dunia, membiayai film blockbuster Hollywood The Wolf of Wall Street, serta memberi berbagai barang mewah mulai dari kapal pesiar hingga lukisan Van Gogh.

Pengalaman Indonesia sendiri ada kasus BUMN besar yaitu PT Jiwasraya yang kemudian runtuh karena kasus korupsi para pejabat dan pengelolanya. Tentu jangan sampai Danantara ini seperti 1MDB dan PT Jiwasraya

Kedua, pengangkatan mantan-mantan presiden sebagai penasehat juga menyimpan 2 (dua) potensi masalah yaitu kapasitas mantan presiden yang tidak punya keahlian dalam pengelolaan perusahaan dan juga mungkin ada penyalahgunaan untuk kepentingan partainya.

Ketiga, ternyata pembentukan Danantara ini hasil dari efisiensi anggaran. Ini sebetulnya mengejutkan banyak pihak karena sebagian besar masyarakat mengira bahwa efisiensi anggaran hanya untuk membiayai Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi ternyata pembentukan Danantara dan modal awalnya dibiayai dari APBN sebagai hasil efisiensi memotong anggaran untuk sektor tertentu. Dampaknya mungkin pelayanan publik banyak yang menurun sebagai hasil efisiensi anggaran yang sebagian untuk modal Danantara. Jika sebagian keuntungan Danantara tidak dikembalikan untuk peningkatan pelayanan publik maka akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.

Keempat, masalah dualisme pengelolaan BUMN. Danantara hanya mengelola tujuh BUMN sementara sisanya tetap dikelola oleh Kementerian BUMN. Hanya masalahnya yang tujuh BUMN yang dikelola oleh Danantara itu asetnya sudah mencapai sekitar 80 persen dari total aset BUMN Indonesia, sehingga sekarang Kementrian BUMN hanya mengelola 20 BUMN-BUMN kelas teri yang tidak seberapa besarnya. Lalu menjadi masalah apakah Kementerian BUMN masih efisien dipertahankan di tengah isu efisiensi anggaran sekarang ini.

Mengatasi Masalah
Beberapa langkah bisa dilakukan untuk mengatasi potensi masalah seperti telah disebutkan. Pertama, Danantara harus dikelola secara profesional. Oleh karena itu manajer-manajer pada tingkat operasional mestinya diserahkan kepada orang yang benar-benar profesional.

Kedua, harus dipastikan betul bahwa pengelolaan Danantara bebas dari intervensi politik. Dalam hal ini fungsi kontrol dari DPR sangat penting terutama dari partai yang tidak bergabung dalam Koalisi Besar.

Ketiga, tetap perlu dilibatkan pihak eksternal seperti KPK dan BPK untuk melakukan pengawasan. Jika hal itu tidak memungkinkan karena Danantara dibentuk berdasarkan UU tentang BUMN yang baru maka mungkin bisa ditempuh dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang*undang (Perpu) yang bisa diterbitkan oleh Presiden tanpa persetujuan DPR.

Keempat, perlu koordinasi antara Danantara dengan Kementerian BUMN dalam hal pengelolaan BUMN. Jika memang tidak lagi efisien karena hanya mengelola BUMN kecil-kecil mungkin perlu dipertimbangkan apakah Kementerian BUMN masih perlu dipertahankan.

 

Artikel Terkait

Scroll to Top