Upaya penguatan ekonomi desa menjadi sebuah keniscayaan. Pemerintah telah mengalokasikan dana desa sejak 2015, namun belum sepenuhnya menjadi penggerak kemandirian secara optimal. Banyak desa masih bergantung pada bantuan dan belum memiliki ekosistem usaha yang kuat.
Menjawab tantangan ini, Presiden Prabowo menggagas Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, sebuah inisiatif progresif yang tidak hanya membentuk koperasi secara konvensional, tetapi juga menghadirkan pendekatan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Kopdes Merah Putih menjadi simbol semangat gotong royong dan dirancang sebagai gerakan nasional untuk mengatasi persoalan struktural di tingkat desa. Tidak hanya sebagai koperasi simpan pinjam, model koperasi modern ini mengintegrasikan layanan keuangan, produksi, distribusi, dan teknologi dalam satu ekosistem.
KMP didorong oleh kebijakan strategis dala Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Pemerintah menempatkan sektor pedesaan sebagai poros baru pembangunan nasional, dengan menekankan pentingnya kemandirian desa secara ekonomi, sosial, dan ekologi.
Pangkas Rantai Distribusi
KMP bertujuan untuk menciptakan inklusi keuangan yang merata di seluruh desa, terutama bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro yang sulit mengakses layanan perbankan formal. Melalui koperasi, mereka dapat memperoleh pembiayaan, dukungan pengelolaan usaha, distribusi produk, hingga pemasaran digital.
Gerakan ini juga berupaya memotong rantai distribusi pangan dan hasil pertanian agar petani tidak dirugikan. Dengan pendekatan koperasi terintegrasi dari hulu ke hilir, produk desa bisa langsung dijual ke konsumen dengan harga yang lebih adil bagi produsen dan pembeli.
KMP mengadopsi teknologi sebagai bagian dari transformasi layanan koperasi, mendorong koperasi desa memiliki sistem informasi digital, dompet elektronik lokal, hingga platform perdagangan daring yang terhubung secara nasional.
Program ini resmi diluncurkan pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025, dengan target membentuk 80.000 koperasi desa di seluruh Indonesia.
Berbasis Teknologi
Salah satu keunggulan KMP adalah sistem digitalnya yang modern dan ramah, sesuai kebutuhan masyarakat desa, memfasilitasi tiap unit koperasi dalam jaringan KMP. dengan sistem manajemen keuangan dan keanggotaan yang sudah mengacu pada standar SAK-EP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat).
Akses ke layanan koperasi kini semakin mudah. Dengan aplikasi ponsel atau bantuan petugas lapangan, warga dapat mengecek saldo simpanan, melakukan pembayaran, mengakses bantuan logistik, hingga mendaftar layanan BPJS Kesehatan.
KMP hadir sebagai one stop service untuk kebutuhan harian warga. Di berbagai desa perintis, gerai Kopdes telah mengintegrasikan layanan toko sembako, apotek, jasa transportasi lokal, logistik desa, hingga pembayaran digital.
Warga dapat belanja beras, isi ulang LPG, membeli obat generik, memesan kendaraan antar-jemput, sekaligus membayar tagihan listrik di satu tempat. Distribusi pangan pun tidak lagi bergantung pada tengkulak.
Obat dan sembako tersedia lebih cepat karena sistem logistik koperasi terhubung langsung dengan distributor nasional seperti Bulog dan Kimia Farma.
Kader muda desa juga dilibatkan sebagai operator digital dan agen transformasi, menciptakan pemberdayaan sekaligus lapangan kerja baru. KMP merupakan hasil kolaborasi antar sektor, dengan BPJS untuk layanan jaminan sosial,
Bulog sebagai mitra distribusi pangan, serta BUMN seperti PT Pos Indonesia, Telkom, dan BRI untuk layanan logistik dan keuangan. Bahkan, mitra swasta di bidang e-commerce, fintech, dan agritech turut bergabung dalam ekosistem ini.
Ketahanan Pangan
Di tengah tantangan fluktuasi harga pangan global dan kerentanan distribusi nasional, pemerintah Indonesia merancang strategi baru untuk memperkuat ketahanan pangan dari hulu ke hilir. Salah satu elemen strategis dalam upaya ini adalah pemanfaatan koperasi desa sebagai simpul distribusi pangan, terutama
beras.
Pemerintah, melalui Bapanas dan Perum BULOG, menargetkan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebanyak 1,3 juta ton ke seluruh pelosok negeri. Jaringan Kopdes menjadi tulang punggung distribusi di tingkat akar rumput.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga menciptakan lompatan dalam pemberdayaan desa. Harga jual beras kepada masyarakat lebih terkendali,
keuntungan dapat kembali ke koperasi untuk memperkuat modal sosial, dan masyarakat desa kini menjadi pelaku utama dalam pengelolaan pangan, bukan sekadar penerima kebijakan.
Bagi banyak desa, ini adalah momentum untuk memulihkan kedaulatan pangan yang pernah hilang. Fokusnya bukan hanya pada pasokan, tetapi juga pada keadilan harga dan penguatan kontrol lokal atas kebutuhan dasar.
KMP telah menjadi simpul penting antara kebijakan negara dan kehidupan sehari-hari rakyat desa. Dengan dukungan sistem dan teknologi yang tepat guna, KMP menjadi jembatan antara strategi makro dan kebutuhan mikro yang konkret.
Kelembagaan Adaptif
Salah satu keunggulan KMP adalah fleksibilitas dan kesederhanaan prosedurnya. Pemerintah menyadari bahwa setiap desa memiliki kondisi awal yang berbeda, sehingga pendekatan kelembagaan Kopdes dirancang adaptif namun tetap terukur.
Ada tiga jalur utama dalam pembentukan Kopdes. Pertama, pendirian baru untuk desa yang belum memiliki koperasi, yang dilakukan dengan panduan standar dari Kementerian Koperasi dan UKM serta difasilitasi oleh tim pendamping provinsi dan kabupaten.
Kedua, pengembangan koperasi eksisting dengan mendorong peningkatan kapasitas dan ekspansi layanan melalui digitalisasi, pelatihan keuangan berbasis SAKEP, dan akses ke kemitraan strategis nasional.
Ketiga, revitalisasi koperasi tidak aktif, mengatasi masalah laten koperasi yang secara hukum ada tetapi tidak aktif.
Struktur kelembagaan Kopdes bersifat partisipatif dan terbuka. Pengurus dipilih dari warga desa, sementara pengawasan berada langsung di bawah kepala desa sebagai pengayom dan fasilitator.
Tata kelola koperasi dijalankan secara demokratis, dengan prinsip satu anggota, satu suara, tanpa dominasi tokoh atau elite desa. Keberhasilan Kopdes sangat bergantung pada keterlibatan dan rasa kepemilikan warga desa.
Melalui model kelembagaan ini, KMP tidak hanya membangun struktur ekonomi desa, tetapi juga menghidupkan kembali semangat kolektivitas yang menjadi fondasi kuat masyarakat Indonesia sejak dulu.
Potensi dan Peluang
struktur koperasi yang demokratis, Kopdes menjadi wahana kolektif pemberdayaan petani, nelayan, peternak, perajin, dan pelaku UMKM lainnya. Mereka tak lagi bergerak sendiri-sendiri dalam pasar yang tak adil, tapi = bersatu dalam kekuatan tawar bersama—dari pembelian bahan baku hingga distribusi hasil produksi. Dalam banyak studi pembangunan desa, kolaborasi kolektif semacam ini terbukti lebih tahan terhadap guncangan pasar.
Di era digital, koperasi desa tidak lagi identik dengan pembukuan manual dan rapat yang melelahkan. Aplikasi koperasi digital yang dikembangkan oleh pemerintah dan mitra swasta memungkinkan pengelolaan keuangan, inventaris, dan anggota secara transparan, cepat, dan akuntabel.
Bahkan, digitalisasi ini memungkinkan warga desa memantau kinerja koperasi langsung dari ponsel mereka. KMP membuka peluang kolaborasi baru. Pemerintah desa, kabupaten, dan pusat dapat bermitra dengan BUMN, perusahaan swasta, dan lembaga keuangan untuk memperluas jangkauan program.
Salah satu faktor pendorong utama KMP adalah fleksibilitas Dana Desa. Regulasi terbaru memungkinkan Dana Desa digunakan untuk memperkuat koperasi sebagai lembaga ekonomi lokal, baik melalui modal awal, pelatihan, pendampingan, maupun penguatan kapasitas kelembagaan.
Dengan potensi ini, KMP tidak hanya menjawab kebutuhan jangka pendek desa, tetapi juga membangun fondasi ekonomi gotong royong untuk masa depan.
Tantangan dan kendala
Meski menjadi terobosan yang menjanjikan bagi pembangunan desa, implementasi Kopdes Merah Putih tetap menghadapi berbagai tantangan. Beberapa kendala teknis dan struktural perlu diatasi untuk memastikan program ini berjalan efektif.
Pertama, kapasitas sumber daya manusia (SDM) desa dalam mengelola koperasi modern masih beragam. Banyak pengurus koperasi belum terbiasa dengan sistem akuntansi digital, tata kelola transparan, atau konsep koperasi multipihak yang lebih kompleks dibandingkan model konvensional.
Kedua, literasi keuangan dan digital masyarakat desa juga menjadi tantangan. Pemahaman tentang koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat belum merata, dan kepercayaan terhadap sistem digital masih dibangun secara bertahap.
Ketiga, perlu diantisipasi risiko ketimpangan antar wilayah. Tidak semua desa memiliki infrastruktur yang memadai, seperti akses internet, transportasi logistik, dan kemudahan perizinan, yang berbeda antara desa di Jawa dan luar Jawa.
Keempat, pada tahap awal, koperasi desa sangat bergantung pada pendampingan eksternal dari kementerian, mitra teknis, atau lembaga keuangan.
Ketergantungan ini bisa menjadi beban jika tidak diarahkan menuju kemandirian kelembagaan dan peningkatan kapasitas internal.
Kelima, pengawasan dan keberlanjutan program harus dipastikan sejak awal agar berjalan sesuai harapan. Tanpa sistem pengawasan yang , KMP bisa kehilangan arah dan kembali pada pola koperasi semu yang hanya hidup di atas kertas.
Refleksi dan Harapan
KMP diharapkan menjadi ruang sosial tempat warga berbagi, belajar, dan tumbuh bersama. Ini memberi peluang bagi petani kecil, perajin lokal, pelaku UMKM, hingga ibu rumah tangga untuk terlibat dalam aktivitas produktif yang adil.
Harapan lainnya adalah desa dapat menjadi pelaku utama pembangunan. Kini saatnya desa menjadi subjek yang menentukan kebutuhannya sendiri, mengelola sumber dayanya, dan merancang jalannya menuju kesejahteraan.
KMP membantu menciptakan wajah baru desa Indonesia yang mandiri secara ekonomi, kuat secara sosial, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
KMP diharapkan menjadi gerakan yang mengakar, membangkitkan semangat gotong royong, kemandirian, dan martabat warga desa sebagai penjaga negeri dari lapisan terdalam.
KMP bisa menjadi landasan strategis untuk pembangunan nasional yang dimulai dari bawah. Ketika desa diberi ruang untuk tumbuh dan menentukan nasibnya, kekuatan bangsa tidak lagi bertumpu di pusat, melainkan tersebar merata dari pinggiran hingga jantung republik.
Diperlukan keterlibatan aktif berbagai pihak, seperti kepala desa, perangkat lokal, penggerak koperasi, tokoh masyarakat, akademisi, hingga warga biasa. Jika koperasi dapat menjadi alat pembebasan ekonomi dan desa menjadi pusat peradaban lokal yang hidup, cita-cita Indonesia maju dan merata akan memnemukan akarnya yang paling kokoh. ***