PT Sritex Tbk (Radar Solo)

Nanang Setyono SH MH – Kasus PHK Sritex Group Terjadi sejak Tahun 2020

Share

Nanang Setyono SH MH memiliki jejak karir panjang yang penuh perjuangan dan tantangan sebelum mencapai posisinya yang sekarang, yaitu Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Jawa Tengah.

Mengawali karir pada tahun 1992, Nanang bekerja di perusahaan swasta yang akhirnya menjadi bagian dari grup Sritex, yaitu PT Bitratex.

Sampai ketika perusahaan ini dinyatakan pailit Pengadilan Niaga Semarang. dia tidak berhenti berjuang dan memilih terlibat dalam kegiatan advokasi terkait masalah hubungan industrial.

Melalui advokasi inlah Nanang terpilih menjadi Ketua KSPN Jawa Tengah. Nanang memang kerap terlibat dalam penyelesaian masalah terkait kasus pailit beberapa perusahaan yang ada di bawah naungan Sritex.

Selain PT Bitratex, ada beberapa perusahaan lain yang juga terdampak, yaitu PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Jaya Mandiri di Boyolali, dan Sinar Panca Jaya di Kota Semarang. Semua perusahaan ini tergabung dalam satu grup besar, yaitu PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex.

“Jumlah karyawan yang terdampak tidak sebanyak yang diberitakan. Di Sritex Sukoharjo ada sekitar 9.600 karyawan, di Primayudha Boyolali sekitar 980, di Sinar Panca Jaya ada 1.165, dan di PT Bitratex ada sekitar 2.600 karyawan,” katanya.

Mulai Tahun 2020
Nanang mengungkapkan meski Sritex dikenal sebagai raksasa tekstil, namun karyawan sudah mulai merasakan tandatanda ketidakberesan sejak 2020. Dia
menyebutkan pada tahun itu perusahaan sudah mulai merumahkan karyawan secara bertahap, dan bahkan banyak yang di-Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa mendapatkan kompensasi yang seharusnya.

“Kami sudah merasakan bahwa Sritex tidak baik-baik saja sejak 2020,” ungkapnya.

Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam grup Sritex juga sudah mulai mengurangi jumlah karyawan, bahkan beberapa karyawan sampai dirumahkan tanpa gaji pada tahun 2021, angkanya sampai menyentuh 60%.

“Pada September 2021, karyawan dirumahkan tanpa diberikan uang tunggu,” katanya.

Menurut Nanang, pada akhir 2021 Stitex juga sempat digugat pailit oleh salah satu mitra kerja kontraktor yang berakhir dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Hingga akhirnya, pada awal tahun 2024 perusahaan menerapkan kebijakan “no work, no pay”. Kebijakan ini mengharuskan karyawan untuk menerima keputusan sepihak dari manajemen, tanpa adanya negosiasi terlebih dulu.

“ami sudah mulai mendengar informasi mengenai utang yang sangat besar dan ketidakmampuan perusahaan dalam membayar kewajiban,” katanya.

Nanang mengungkapkan ketika tahun 2024 Sritex digugat pembatalan holomogasi oleh PT Indo Barat Rayon, sebenarnya sebagian karyawan tidak kaget. Meskipun situasi semakin sulit, banyak karyawan yang terus menunggu panggilan untuk kembali bekerja.

Namun, PHK terus dilakukan secara bertahap setiap tahun sampai dengan tahun 2024 sebelum akhirnya Sritex dinyatakan pailit. Jumlah karyawan semakin menyusut.

PT Sritex Sukoharjo yang sebelumnya memiliki lebih dari 15.000 karyawan tinggal sekitar 9.600 orang saja. Di PT Primayudha, jumlah karyawan yang tersisa hanya sekitar 980 orang, padahal sebelumnya ada lebih dari 1.800 karyawan.

Hak Karyawan Dikurangi
Menurut Nanang, di empat perusahaan dalam grup Sritex, di awalnya, saat PHK pertama kali tahun 2020 dan 2021, banyak karyawan yang masih menerima hak pesangon sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Namun, pada tahun 2022, perusahaan mulai mengurangi jumlah pesangon yang seharusnya diterima buruh. Seperti tawaran hanya memberikan 60% atau bahkan 50% dari jumlah pesangon yang seharusnya, dan beberapa bahkan mengajukan pembayaran secara angsuran selama 12 bulan.

Dari sini, Nanang melihat bahwa sejak 2022 hak-hak buruh semakin tidak diperhatikan dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saat perusahaan dinyatakan pailit, karyawan semakin merasa khawatir dengan nasib mereka.

Namun, Nanang menyampaikan bahwa di sisi lain ada juga masih harapan di kalangan buruh. Setelah mengalami pemotongan kesejahteraan yang besar sejak 2018, banyak karyawan yang merasa bahwa kebangkrutan Sritex bisa jadi adalah sebuah peluang.

Nanang mengungkapkan bahwa sesungguhnya karyawan Bitratex sudah tidak nyaman dengan kesejahteraan yang didapat, karena banyak kesejahteraan yang
dipangkas sejak Bitratex diakuisisi Sritex tahun 2018.

Sinar Panca Jaya dan Primayudha awalnya pemiliknya sama dengan Bitratex, memberikan kesejahteraannya komplit, seperti gaji di atas UMK, kenaikan-gaji berkala, berbagai insentif termausk uang transport dan premi-premi serta extra fooding, dan THR dua kali gaji.

Namun, saat dipegang Sritex, semua kesejahteraan dipangkas mulai 2019. Ketika tahun 2024 Sritex dinyatakan pailit, gaji karyawan Bitratex, Primayudha, dan Sinar Panca Jaya tinggal gaji pokok.

“Di kalangan kami sampai ada anggapan mungkin ini adalah jalan dari Allah untuk memperbaiki nasib kami,” ujarnya. Terkait dengan penanganan PHK yang terjadi, Nanang menyampaikan pandangannya tentang peran pemerintah.

Menurutnya, meskipun pemerintah memiliki niat baik untuk membantu buruh yang terkena PHK, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar bantuan tersebut tepat sasaran.

“Kami sangat berharap ada investor yang masuk dan membuka lapangan pekerjaan lagi, tetapi kami juga harus realistis,” ujarnya.

Beberapa pihak, termasuk pemerintah, sempat mengungkapkan bahwa perusahaanperusahaan yang mengalami pailit seperti Sritex kemungkinan akan
dikelola oleh pemerintah atau bahkan dibantu dengan pembiayaan dari dana negara. Namun, Nanang merasa hal tersebut tidak sepenuhnya adil.

“Jika pemerintah mengeluarkan uang negara untuk menyelamatkan Sritex, itu tidak adil. Banyak perusahaan lain di Indonesia yang mengalami hal serupa, “ ujarnya.

Dia menilai penanganan PHK ini perlu dilakukan lebih merata dan tidak hanya berfokus pada perusahaan besar seperti Sritex. Banyak perusahaan lain di Indonesia yang juga mengalami pailit.

Lebih Efektif
Nanang melihat banyak statemen pemerintah pusat yang blunder terkait kasus Sritex. Dia mencontohkan di awal-awal pemerintah menyatakan tidak akan ada PHK di Sritex. Bahkan, ada pejabat yang mengatakan akan mengundurkan diri kalau sampai ada PHK.

Ada juga yang menyatakan Sritex akan kembali beroperasi 2 minggu setelah dinyatakan pailit, dan karyawan yang di PHK bisa bekerja kembali. Menurut Nanang, cara penanganan seperti itu merupakan lip service yang hanya memberikan gambaran kesenangan untuk karyawan yang sesungguhnya itu tidak realistis.

“Kami lebih setuju dengan yang dilakukan Pemprov Jateng yang memulai penanganan dengan komunikasi dan diskusi dengan kami di KSPN. Nah, akhirnya bisa ditemukan metode penanganan yang tepat,” ujarnya.

Pemprov Jateng mengambil pendekatan yang lebih konkrit dan langsung membantu buruh yang terkena PHK. Salah satu langkah yang diambil adalah memfasilitasi akses untuk mencairkan jaminan hari tua buruh yang terkena PHK yang disimpan dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Selain itu, pemerintah juga membantu buruh dengan memfasilitasi akses ke program jaminan kehilangan pekerjaan dari Kementerian Ketenagakerjaan. Langkah ini memberikan harapan bagi buruh untuk bisa bertahan hidup setelah ter PHK.

Tak hanya itu, Pemprov Jateng juga bekerja sama dengan pengusaha di sekitar Semarang dan Solo untuk mencari peluang kerja baru bagi buruh yang ter PHK.

“Sekitar 22.000 lowongan pekerjaan berhasil dibuka dan disalurkan kepada buruh yang  terdampak PHK. Ini memberi kesempatan mereka yang terkena PHK untuk bekerja kembali,” ujar Pak Nanang.

Bantu Pekerja untuk Urus Hak-haknya Setelah Pailit

Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh pekerja yang terdampak PHK adalah pemenuhan hakhak mereka, seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Menurut Nanang, pencairan JHT saat ini sedang berjalan. Bahkan untuk PT Bitratex JHT dan JKP sudah diterima seluruh karyawan. Namun, tidak semua pekerja memiliki akses untuk melakukan pencairan, karena proses menggunakan sistem online,

sehingga perlu ada bantuan dari serikat pekerja untuk menjadi pendamping dan mentor dalam proses ini terutama untuk pekerja yang gaptek.

Dalam pandangan Nanang, pemerintah juga harus membantu penyelesaian pencairan JHT dan JKP. Di Sritex Solo, kata dia, sekarang ini pencairan untuk 8.600 orang didampingi oleh Dinas Tenaga Kerja, BPJS Ketenagakerjaan, dan Serikat pekerja untuk proses administrasinya.

Masalah JKT dan JKP, kata Nanang, mungkin akan segera beres. Namun, masih ada masalah, yaitu mengenai pesangon. Memang pesangon diprioritaskan menurut undang-undang.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2025, dalam kasus kepailitan, hak-hak pekerja harus lebih didahulukan daripada hutang negara.

Namun, lanjut dia, tetap ada kekhawatiran bahwa proses pelelangan aset perusahaan untuk memenuhi kewajiban ini mungkin tidak cukup untuk membayar seluruh hak pekerja, termasuk pesangon mereka.

Karena itu, menurut Nanang, serikat pekerja terus mengawal dan memastikan hak-hak pekerja bisa dipenuhi.

Perbedaan Pendapat
Salah satu tantangan lain dalam menangani kasus PHK ini adalah adanya perbedaan pendapat antara berbagai serikat pekerja yang terlibat. Beberapa serikat buruh menganggap bahwa PHK yang dilakukan tidak sah, sementara yang lain melihat PHK ini sebagai bagian dari proses kepailitan yang sah menurut hukum.

Menurut Nanang, sepanjang yang dilakukan KSPN selama ini adalah komunikasi kami dengan Serikat Pekerja PT Sritex, Serikat Pekerja PT Primayuda, Bitratex. Sementara untuk PT Panca Tunggal tidak karena perusahaan itu sudah ditutup sebelum pailit.

Tiga serikat itu menurut saya satu suara. Namun, terdapat pula perbedaan pandangan dengan serikat pekerja lainnya, seperti yang bergabung dalam partai buruh atau KSPI, yang berfokus pada protes dan tindakan demonstrasi untuk menggugat keputusan perusahaan.

Meskipun pendekatan ini dapat dianggap sebagai bentuk solidaritas, terkadang hal ini bisa menambah kebingungan di kalangan pekerja. Mereka merasa bahwa
pendekatan yang lebih terstruktur dan sistematis untuk memperjuangkan hak-hak buruh jauh lebih efektif daripada sekadar menggelar aksi di jalanan.

Nanang meminta pihak mana pun yang ingin mempolitisasi kasus pailitnya PT Sritex agar menghentikan rencananya. Sebab, karyawan PT Sritex grup yang terdampak PHK berharap segera mendapatkan haknya, mulai jaminan sosial, pesangon, kemudian investor baru sehingga mereka dapat bekerja kembali.

“Tapi dengan keributan ini, entah dari aktivis, Serikat Pekerja, politisi bahkan para menteri yang ngomongnya tidak pakai data, saya khawatir tidak ada investor yang masuk,” katanya.

Artikel Terkait

Scroll to Top