Mentan Ungkap 212 Merek Beras Diduga Oplosan, Ini Daftar dan Modusnya

Share

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap temuan mencengangkan. Sebanyak 212 merek beras diduga melakukan pengoplosan dan pelanggaran standar mutu.

Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan bersama Satgas Pangan Polri dan tim Kementerian Pertanian.

Modus yang digunakan tidak hanya merugikan konsumen secara kualitas, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp99 triliun per tahun.

“Ini seperti menjual emas 18 karat tapi dibilang 24 karat. Padahal harganya jelas beda. Konsumen kita dirugikan hampir Rp100 triliun,” kata Amran, yang dikutip Senin, 14 Juli 2025.

Menurut Amran, berbagai merek tersebut tidak memenuhi standar berat kemasan, komposisi, dan labelisasi yang seharusnya. Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan 5 kilogram (kg) padahal isinya hanya 4,5 kg.

Lalu banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa saja atau medium.

Ungkap Merk
Mentan sendiri telah berhasil mengungkap beberapa merk beras yang terbukti melalukan pengoplosan, beberapa merek yang disebut Mentan dalam konferensi pers di antaranya:

  • Sania, Sovia, Fortune, dan Siip –  diproduksi oleh Wilmar Group.
  • Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Setra Pulen – milik Food Station Tjipinang Jaya.
  • Raja Platinum, Raja Ultima – milik PT Belitang Panen Raya.
  • Ayana – diproduksi oleh PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).

Merek-merek ini disebut sebagai contoh dari 212 merek beras yang akan diumumkan secara resmi dan bertahap kepada publik. Beberapa di antaranya bahkan sudah ditarik dari peredaran oleh sejumlah ritel modern karena viral di media sosial.

Perlu Tindakan Tegas
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menyatakan perlunya tindak tegas dari pemerintah terhadap pelaku beras oplosan yang merugikan konsumen.

“Selama ini pemerintah kurang menindak tegas pelaku penyimpangan dan kurangnya transparansi data terkait pendistribusian beras. Barang-barang strategis apalagi beras semestinya bisa terlacak stoknya dari mulai hulu-distribusi-konsumen,” ucap Eliza saat dihubungi, dikutip Selasa, 8 Juli 2025.

Ia menambahkan, temuan 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu.

Selain itu, praktik oplosan yang dianggap ‘biasa’ di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. “Jadi memang perlu efek jera misal mencabut izin usaha atau denda berkali kali lipat,” tegas Eliza.

Beras oplosan ini, sambung Eliza, merupakan persoalan fundamental yang telah lama terjadi. Pasalnya, Indonesia telah memiliki regulasi terkait standarisasi beras, akan tetapi hal itu justru diikuti dengan implementasi dan pengawasan yang lemah.

Ditambah lagi, tidak ada regulasi ketat untuk distributor yang harus mengedarkan beras sudah diverifikasi atau distandarisasi oleh jasa pemastian.

Picu Keresahan Sosial
Selain itu, Eliza menilai penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang disubsidi pemerintah disalurkan lewat pengecer ritel membuka peluang besar beras SPHP dioplos jadi premium.

“Makanya harusnya penyaluran SPHP sama seperti bantuan pangan langsung ke KPM (keluarga penerima manfaat). Jika bantuan pangan untuk kalangan miskin, SPHP itu untuk kelas rentan miskin dan calon kelas menengah.

Jadi data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dan data kesejahteraan sosial ini harus digabungkan agar penyalurannya optimal,” beber dia.

Praktik beras oplosan yang marak, lanjutnya, dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas yang dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang begitu sensitif, bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

Oleh karena itu, Eliza memberikan solusi kepada pemerintah agar menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera, melakukan reformasi rantai pasok dengan cara memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.

“Jadi petani ini di koperasi atau gapoktan memiliki RMU (rice milling unit) agar petani menjual dalam bentuk beras, bukan lagi gabah. Untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan,” ucap dia.

“Adanya sertifikasi ini akan meningkatkan traceability sehingga konsumen tahu beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya,” jelas Eliza menambahkan.

Sumber : Metrotv News

Artikel Terkait

Scroll to Top