LCT Sebagai Alternatif Kurangi Peran Dolar AS – Oleh Nugroho SBM

Share

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan yang juga Ketua Satuan Tugas Nasional Local Currency Transaction (LCT) mendorong BUMN untuk menggunakan mekanisme LCT dalam penyelesaian atau pembayaran trnsaksi ekonomi internasional (cnbcindonesia.com, 30/7/2025).

LCT adalah mekanisme penyelesaian transaksi bilateral antara dua pihak dari negara berbeda dengan menggunakan mata uang salah satu negara. Tujuan utama LCT adalah mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, yang selama ini menjadi kendala dalam pembayaran.

Bagi Indonesia, ketergantungan pada dolar AS menjadi masalah ketika dolar terus menguat atau mengalami apresiasi terhadap Rupiah, yang berarti Rupiah melemah atau terdepresiasi.

Hal ini membuat pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri menjadi lebih besar tanpa adanya utang baru, sehingga menambah beban pengeluaran dalam APBN.

Selain itu, depresiasi Rupiah terhadap dolar AS menyebabkan kenaikan harga barang impor. Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap barang impor, baik bahan baku, barang modal, maupun barang konsumsi, kenaikan harga ini berdampak pada inflasi domestik dengan segala konsekuensi negatifnya.

Hingga semester 1 tahun 2025, LCT yang diinisiasi oleh Bank Indonesia telah mencapai nilai 11,7 miliar dolar AS atau Rp 189 triliun (asumsi 1 dolar AS = Rp 16.200), meningkat dari semester 1 tahun 2024 sebesar 4,702 miliar dolar AS.

Indonesia telah menjalin kesepakatan bilateral terkait LCT dengan beberapa negara, seperti Malaysia, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.

Kendala
Perkembangan LCT di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, menandakan semakin banyak pihak yang merasakan manfaatnya. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi sejumlah kendala.

Pertama, LCT belum menjadi suatu keharusan dan hanya bersifat pilihan. Kedua, Dolar AS selain digunakan sebagai alat pembayaran juga sering dimanfaatkan untuk spekulasi, di mana tujuannya adalah memperoleh keuntungan dari selisih harga jual dan beli.

Penggunaan Dolar AS untuk spekulasi ini lebih besar dibandingkan sebagai alat pembayaran, sehingga ketergantungan terhadap Dolar AS tetap ada.

Ketiga, adanya hambatan dari pihak AS yang tentu tidak senang melihat banyak negara mengadopsi LCT karena hal ini mengurangi ketergantungan pada Dolar AS, yang dapat diartikan sebagai upaya mengurangi dominasi AS dalam ekonomi internasional.

Dalam situasi kebijakan luar negeri AS yang berfokus pada “America First”, seperti penerapan tarif impor tinggi terhadap beberapa negara termasuk Indonesia,

tentu hal ini akan menyulut ketidaksenangan AS yang lebih besar yang bisa berdampak pada kebijakan-kebijakan ekonomi AS yang akan lebih merugikan Indonesia.

Peluang
Meskipun terdapat kendala yang telah disebutkan, peluang pelaksanaan LCT di Indonesia tetap ada. Salah satunya adalah dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Indonesia, yang terlihat dari pembentukan Satuan Tugas Nasional LCT.

Satgasnas LCT terus mendorong penerapan LCT oleh berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomi internasional di Indonesia. Baru-baru ini, Satgasnas LCT menghimbau BUMN untuk menerapkan mekanisme LCT dalam transaksi internasionalnya.

Mengingat nilai transaksi BUMN dalam ekspor-impor sumber daya alam cukup besar, partisipasi BUMN dalam LCT dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS.

Peluang lain datang dari keikutsertaan Indonesia dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). BRICS memiliki bank pembangunan bernama

New Development Bank (NDB), yang mendukung proyek infrastruktur, energi, dan pembangunan berkelanjutan dengan mendorong penggunaan mata uang lokal dalam kredit dan pembayaran.

Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan ini melalui kesepakatan bilateral dengan negara anggota BRICS untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan ekonomi internasional.

Namun, pelaksanaannya tidak mudah. China masih mendominasi transaksi dan inisiatif kebijakan di BRICS, sementara hubungan China dengan AS sering diwarnai konfrontasi,

seperti penerapan tarif impor resiprokal oleh Presiden Trump. Hal ini memperkuat kesan bahwa BRICS sering dianggap berseberangan dengan AS.

India meskipun anggota yang cukup aktif tampaknya juga masih menjaga kedekatannya dengan AS. Sedangkan Rusia sampai saat ini masih juga masih berhadapan dengan AS. Sehingga BRICS sendiri sebenarnya belum solid.

Indonesia- dengan demikian – harus pandaipandai memanfaatkan peluang LCT ini jangan sampai terkesan anti AS dengan penerapan LCT di BRICS.***

Artikel Terkait

Scroll to Top