Menurutnya, tugas direktur pada dasarnya ada dua, yaitu menjalankan bisnis yang sudah ada dan membawa perusahaan ke arah yang lebih maju. Di PT Antam, sistem tata kelola yang baik sudah tersedia, tinggal bagaimana pelaksanaannya dan pengembangannya.
Rauf mendorong pembangunan pabrik baru untuk memproduksi stainless steel, mengingat bahan bakunya, yaitu nikel dan besi, tersedia di dalam negeri. Nikel adalah komoditas unggulan PT Antam sekaligus andalan Indonesia.
“Antam memiliki tambang nikel besar, jadi seharusnya bisa mengembangkan industri stainless steel,” ujarnya.
Nilai nikel mentah akan meningkat drastis setelah diolah menjadi stainless steel, yang digunakan dalam berbagai produk seperti peralatan rumah tangga. (sendok, garpu), peralatan medis (jarum suntik), velg kendaraan, pipa industri antikarat, dan lainnya.
“Kita punya nikel, tapi belum punya pabrik stainless steel. Padahal kuncinya ada di nikel. Kalau besi, itu banyak dan murah,” tegasnya.
Proyeksi ke Depan
Menurut Rauf, PT Antam memiliki banyak peluang. Saat ini, sudah ada program yang berjalan, bahkan terdapat rencana kerja sama dengan Inalum melalui joint venture untuk memproduksi aluminium. Produk utama Antam, yaitu nikel, juga memiliki potensi besar bagi industri mobil listrik, khususnya dalam pembuatan baterai. Rauf mendukung pengembangan mobil listrik, tetapi dengan syarat sumber listriknya berasal dari energi terbarukan, bukan dari gas alam, batu bara, atau minyak. Jika listrik masih bergantung pada energi fosil, mobil listrik tidak akan membantu mengurangi pemanasan global.
“Target mobil listrik seharusnya adalah mengurangi pemanasan global,” ujarnya. Penggunaan energi terbarukan dapat berdampak besar pada penurunan pemanasan global, terutama mengingat kondisi iklim dunia saat ini. Contohnya, temperatur ekstrem di Amerika dan Tiongkok telah memicu banjir serta kerusakan di berbagai wilayah. Kerusakan ini wajar terjadi secara alami akibat emisi karbon yang masif. Sebagai gambaran, kapasitas kilang minyak di Amerika mencapai 18 juta barel per hari, Tiongkok 16 juta barel per hari, Indonesia 1 juta barel per hari, Jepang 1,4 juta barel per hari, dan Korea 1 juta barel per hari. “Berapa juta ton CO₂ yang masuk ke atmosfer kalau itu semua dibakar,” katanya.
Belum Ada Rumus
Indonesia, menurut Rauf, adalah negeri yang diberkahi kekayaan alam luar biasa. Minyak, gas, batu bara, nikel, tembaga, perak, emas, hingga aluminium, hampir semuanya tersedia. Kekayaan alam dan sektor pertambangan seharusnya berada di bawah kendali penuh negara, bukan swasta atau pihak asing.
Hal ini sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Karena itu, peran swasta idealnya hanya sebagai kontraktor yang mengerjakan proyek, bukan sebagai pemilik aset strategis. Rauf mencontohkan, Tiongkok,
Malaysia, dan Iran justru menjalankan Pasal 33 dengan konsisten.
Di Tiongkok, misalnya, ketika ada modal asing yang ingin membangun pabrik di daerah yang memiliki sumber minyak atau mineral strategis, izin membangun kilang tidak mudah diberikan. Semua diatur melalui tahapan yang jelas.
Ia menjelaskan bahwa industri terbagi menjadi tiga, yaitu hulu, antara, dan hilir. Untuk sektor hilir, swasta diperbolehkan berperan, sedangkan sektor hulu dan antara harus sepenuhnya dikelola oleh negara.
“Di Indonesia belum ada rumusnya. Saya akan usulkan nanti,” ujarnya.
Rauf menceritakan pengalamannya saat bekerja di PT Petrokimia Gresik sebagai salah satu contoh. Ketika itu, pupuk fosfat diimpor dari Yordania. Negara tersebut bersedia memasok bahan baku,
tetapi dengan syarat memiliki saham di perusahaan yang memanfaatkan bahan tersebut. Baginya, ini adalah salah satu bentuk penerapan Pasal 33 yang tegas.
“Sayangnya, di Indonesia, Pasal 33 UUD 1945 ini agak diabaikan,” katanya.
Implementasi Praktis
Menurut Rauf, penerapan praktis Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya sederhana. Di sektor hulu, jika ada pihak asing yang ingin membangun pabrik tembaga atau nikel, kepemilikan dan pengelolaannya harus sepenuhnya berada di tangan negara.
Sementara itu, sektor hilir, seperti pembuatan sendok, peralatan rumah tangga, atau produk turunan lainnya, baru dapat melibatkan swasta maupun pihak asing.
Ia menilai praktik yang ada saat ini masih belum sesuai dengan ketentuan tersebut. Salah satu contohnya adalah pabrik tembaga yang pernah ia bangun, yang seharusnya sebagian kepemilikan sahamnya dimiliki oleh negara, namun kenyataannya tidak demikian.
Terkait perkembangan industri pupuk di Indonesia yang sering menjadi keluhan petani, Rauf menjelaskan bahwa dahulu pupuk tunggal seperti urea banyak digunakan,
Saat ini penggunaan telah beralih ke pupuk majemuk yang mengandung tiga komponen utama, yaitu nitrogen, fosfat, dan kalium (NPK). Ia mengibaratkan bahwa seperti manusia membutuhkan karbohidrat, lemak, dan protein, tanaman juga memerlukan ketiga unsur tersebut.
“Industri tambang dan pupuk harus diarahkan untuk mengurangi impor. Jika dapat diproduksi di dalam negeri, maka jangan bergantung pada impor,” tegasnya.
Awal Karier
Setelah lulus dari ITB dan sempat bekerja di sektor swasta, Rauf Purnama, M.Si., IPU., bergabung dengan BUMN. Ia pertama kali masuk ke Pupuk Kujang dan ditunjuk sebagai ketua tim perekrutan untuk mengoperasikan tiga unit pabrik, yaitu urea, amonia, dan utilitas.
Rauf menjalani pelatihan di Jepang untuk mengoperasikan pabrik urea. Sekembalinya, ia menjabat sebagai Kepala Bagian Pabrik Urea, lalu pindah ke Pabrik Amonia. Di posisi ini, ia berhasil meningkatkan kapasitas pabrik menjadi 107%, sebuah pencapaian pertama di Indonesia.
Keberhasilan tersebut sempat menuai protes karena dianggap melebihi kapasitas maksimal 100% yang dikhawatirkan mempercepat kerusakan. Rauf menjelaskan bahwa peningkatan itu didasarkan pada desain pabrik dan standar operasi yang ditetapkan kontraktor.
Pabrik urea didesain oleh perusahaan dari Tokyo, Jepang, sedangkan pabrik amonia oleh perusahaan Amerika. Menurutnya, semua desain tersebut tidak dilanggar.
“Saya tidak menyalahi aturan karena mengikuti desain yang ada. Hasilnya, bisa menjual amonia, bahkan sekarang sudah ada pabrik amonia PT Kaltim Parna Industri (KPI) di Bontang, Kalimantan Timur,” ujarnya.
Sukses di Pabrik Pupuk Diminta untuk Tembaga
Saat bekerja di Pupuk Kujang, direksi dipanggil oleh Menteri Perindustrian, Hartarto Sastrosoenarto, yang memerintahkan pembangunan dua pabrik, yaitu bahan peledak dan katalis. Surat Keputusan (SK) pembangunan bahan peledak diberikan kepada Rauf, sementara katalis kepada seniornya.
Setelah mempelajari lebih lanjut, Rauf menemukan peluang untuk membangun pabrik asam formiat dan hidrogen peroksida. Ia mengusulkan penambahan proyek sehingga jumlah SK-nya bertambah menjadi tiga.
Dalam perjalanannya, proyek katalis yang awalnya dipegang oleh seniornya tidak menunjukkan perkembangan, sehingga dialihkan kepadanya. Dengan demikian, ia kini memegang empat SK, yaitu bahan peledak, katalis, asam formiat, dan hidrogen peroksida.
“Alhamdulillah, semua berhasil dibangun tanpa sepeser pun uang negara. Saya mencari dana, teknologi, kontraktor, dan bahan bakunya sendiri,” ujarnya.
Tantangan terbesar muncul saat proyek hidrogen peroksida. Awalnya direncanakan bermitra dengan Jepang dan sudah hampir final, namun pihak Jepang tiba-tiba mengundurkan diri. Rauf lalu mendapat perintah mencari mitra ke Rusia dan Cina.
Timnya pergi ke Rusia, sementara ia sendiri ke Cina. Teknologi dan bahan baku dari Rusia dinilai terlalu mahal, sedangkan Cina juga tidak memungkinkan. Akhirnya, Jepang kembali datang karena mereka memang mengekspor sekitar 4 juta ton produk tersebut ke Indonesia.
Semua pabrik berhasil dibangun dengan lisensi teknologi terbaik, seperti asam formiat menggunakan teknologi dari Canberra, bahan peledak memadukan teknologi Amerika dan Norwegia, katalis dari Jepang dan Amerika, serta hidrogen peroksida dari Jepang.
Pabrik Tembaga
Rauf kemudian ditunjuk sebagai Direktur Litbang Petrokimia Gresik. Belum tiga bulan menjabat, ia dipanggil Menteri Perindustrian dan diberi tugas menghubungi Freeport untuk membangun pabrik tembaga.
Awalnya proyek ini direncanakan bekerja sama dengan Metallgesellschaft dari Jerman. Negosiasi hampir selesai dan laporan telah disampaikan kepada menteri, tetapi tiba-tiba dibatalkan karena perusahaan Jerman tersebut mengalami kerugian 2,5 miliar dolar akibat bisnis minyak dan gas.
Sekitar tahun 1990-an, Rauf diminta tetap memimpin proyek tersebut. Ia menjalin pembicaraan dengan Mitsubishi Materials Corporation dari Jepang. Dalam diskusi panjang,
ia mengusulkan agar selain pabrik tembaga, juga dibangun fasilitas asam sulfat untuk bahan memproduksi pupuk NPK, sejalan dengan rencana pembangunan pabrik amonia untuk pupuk urea.
Pabrik tembaga akhirnya disepakati untuk dibangun di Petrokimia Gresik. Ada usulan dari anggota DPR asal Papua agar pabrik didirikan di Papua, tetapi Rauf menjelaskan bahwa secara teknis dan ekonomis lebih menguntungkan di Gresik.
Kandungan belerang dari tambang Freeport saat itu mencapai 30%, sementara tembaganya 25%. Belerang tersebut diolah menjadi asam sulfat, yang dimanfaatkan untuk memproduksi pupuk NPK. “Waktu itu, saya bisa membeli asam sulfat dari Freeport dengan harga paling murah di dunia,” kenangnya.
Perhitungan Matang
Menurut Rauf, membangun pabrik memerlukan perhitungan matang sejak awal. Langkah pertama adalah simulasi dan kalkulasi terkait kapasitas produksi, harga, dan potensi keuntungan. Jika hasilnya layak, tetap diperlukan dukungan konsultan terpercaya agar bank yakin memberikan pembiayaan.
“Asal layak, pasar jelas, dan bahan baku tersedia, mencari pinjaman modal itu gampang,” ujarnya.
Saat menjabat Direktur Utama PT Petrokimia Gresik, Rauf bekerja sama dengan Departemen Pertanian untuk melakukan percobaan NPK di berbagai daerah seperti Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, hingga Sumatera.
Hasilnya, produksi pertanian meningkat rata-rata 2,44 ton per hektare, capaian yang cukup signifikan. Kapasitas produksi NPK yang awalnya hanya 300 ribu ton per tahun kini meningkat menjadi 3 juta ton.
Rauf membandingkan, pada masa itu produksi NPK Jepang mencapai 2,4 juta ton, Korea 2,2 juta ton, Thailand 2,3 juta ton, dan Malaysia 900 ribu ton.
“Masa Indonesia, yang wilayahnya paling luas, justru nol. Alhamdulillah sekarang kita sudah bisa produksi 3 juta ton,” tegasnya.