Ketua Umum Perpadi – Untuk Dukung Swasembada Pangan Sistem Perberasan Harus Kompak

Share

Dalam pidato di depan sidang MPR, DPR, dan DPD RI, 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto membanggakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah. Per 13 Mei 2025, tercatat 3,7 juta ton, dan bahkan di akhir bulan sudah menembus 4 juta ton. Angka ini menjadi simbol kuat kesiapan Indonesia menghadapi gejolak global yang kerap memicu kekhawatiran terhadap ketersediaan pangan.

Produksi beras nasional menunjukkan tren yang positif. Pada periode Januari hingga April 2025, Indonesia berhasil menghasilkan 13,95 juta ton beras, menciptakan surplus hingga 2,5 juta ton—yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.

Dengan proyeksi total produksi 2025 mencapai 32,8 juta ton, lebih tinggi dibandingkan 30,34 juta ton pada 2024, Indonesia berada di jalur yang lebih kokoh untuk memperkuat ketahanan pangan.

Pemerintah juga mengambil langkah berani dengan menghentikan impor beras pada 2025. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memutuskan tidak melakukan impor, kecuali untuk jenis khusus seperti beras basmati.

Keputusan ini mencerminkan keyakinan pemerintah terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menjadi indikator penting bahwa kebutuhan pangan pokok dapat dipenuhi dari hasil panen petani sendiri.

Berbagai kebijakan pun diterapkan untuk menjaga kesejahteraan petani. Harga beli gabah dinaikkan menjadi Rp6.500 per kilogram sejak Januari 2025, dan pemerintah menargetkan penyerapan tambahan beras lokal hingga 1 juta ton untuk memperkuat cadangan dan menstabilkan harga.

Data akhir 2024 menunjukkan stok Bulog sekitar 2 juta ton, sementara stok nasional—termasuk yang dimiliki pedagang dan rumah tangga—mencapai 8 juta ton.

Dari sisi makro ekonomi, inflasi 2024 tercatat hanya 1,57%, salah satu yang terendah, terutama karena pasokan beras yang stabil. Namun, tantangan tetap ada, seperti harga beras di pasaran yang masih lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Beras medium berkisar Rp15.000 per kilogram, sementara HET Rp12.500, dan beras premium sekitar Rp18.000 per kilogram, sedangkan HET Rp14.900.

Meskipun Indonesia mencatat surplus dan cadangan beras historis, masalah distribusi, disparitas harga, serta keseimbangan antara kepentingan petani, pengusaha penggilingan, dan konsumen masih perlu diatasi.

Oleh karena itu, pandangan tokoh seperti Ir. Sutarto Alimoeso, M.M., mantan Direktur Utama Perum Bulog (2009-2014) yang berpengalaman di bidang pangan, sangat relevan untuk memberikan perspektif, penjelasan, dan arahan kebijakan yang lebih jelas.

Ketersediaan Beras
Saat ini, Sutarto Alimoeso kembali terpilih sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) untuk masa bakti 2025-2030.

Menanggapi pernyataan Presiden Prabowo, ia menekankan pentingnya ketersediaan stok beras sebagai faktor strategis mengingat Indonesia adalah negara agraris dan tidak semua daerah mampu memproduksi beras dalam jumlah cukup.

Beberapa wilayah mengalami kekurangan pasokan, sementara fluktuasi produksi beras masih terjadi hingga saat ini. Pola fluktuasi yang sebelumnya empat bulan defisit dan delapan bulan surplus kini bergeser menjadi empat bulan surplus dan delapan bulan defisit.

Meski demikian, dengan program pemerintah saat ini, diharapkan pola tersebut dapat kembali seimbang, yakni enam bulan surplus dan enam bulan defisit.

Pengalaman menunjukkan bahwa jika stok sepenuhnya dikuasai pelaku bisnis, potensi gejolak harga akan sangat besar. Oleh karena itu, peran Bulog sebagai penyangga menjadi sangat strategis. Sutarto menekankan pentingnya stok yang diperoleh dari produksi dalam negeri, tetapi tetap tidak mengganggu pasar.

“Dalam praktiknya, lebih dari 90 persen distribusi beras dilakukan oleh pengusaha, sedangkan pemerintah cukup menguasai 10 hingga 15 persen sebagai cadangan penyeimbang,” ujarnya.

Sutarto juga menyoroti pentingnya pengelolaan stok yang tepat. Ada lima faktor yang menurutnya harus diperhatikan: waktu, tempat, cara, jumlah, dan harga. Pengadaan dalam negeri sebaiknya dilakukan saat surplus, sedangkan saat minus fokus pada pelepasan stok.

Distribusi harus mempertimbangkan lokasi, memastikan daerah defisit mendapat suplai sesuai kebutuhan, sementara daerah surplus tidak perlu.  Jumlah stok yang diserap harus sesuai dengan surplus yang ada, dan pelepasan stok harus berdasarkan tingkat kekurangan untuk mencegah kelangkaan.

Faktor harga juga krusial—harga yang terlalu rendah atau jauh dari harga pasar justru dapat menimbulkan masalah baru. Swasembada beras tetap menjadi program penting pemerintah, dan ia mendukung penuh inisiatif ini.

Menurutnya, keberhasilan swasembada akan memberikan ketenangan bagi penggilingan padi karena bahan baku terjamin, konsumen tersedia, dan pasar lebih stabil. Ia menegaskan bahwa peluang mencapai swasembada masih ada.

Caranya adalah dengan meningkatkan indeks pertanaman yang saat ini rata-rata baru 1,5 hingga 1,8 kali per tahun. Jika indeks tersebut bisa mencapai dua kali, maka luas panen 13 hingga 14 juta hektar sudah cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor beras.

Produktivitas padi juga masih bisa ditingkatkan karena saat ini masih jauh di bawah potensi varietas yang dimiliki. Perluasan lahan menjadi opsi berikutnya, meskipun ia menekankan bahwa pemerintah harus serius mengendalikan konversi lahan pertanian. 

“Penurunan luas panen dari lebih dari 11 juta hektar pada 2018 menjadi sekitar 10,04 juta hektar pada 2024 harus menjadi perhatian bersama,” katanya. 

Penggilingan padi
Sutarto Alimoeso menekankan bahwa persoalan beras di Indonesia tidak bisa dilihat secara parsial. Menurutnya, hingga kini pendekatan yang dilakukan masih belum menyeluruh. Ia berpendapat bahwa idealnya persoalan beras ditangani secara holistik, integral, dan berlandaskan pada ekosistem pangan yang utuh.

Ekosistem ini mencakup seluruh rantai, mulai dari produksi di tingkat petani, subsistem penggilingan, distribusi, hingga konsumen. Semua tahapan itu, menurutnya, seharusnya dibangun sebagai satu kesatuan yang seimbang, adil, dan berkelanjutan.

Hanya dengan cara itu, cita-cita menuju swasembada beras dapat terwujud. Posisi penggilingan p selama ini kurang mendapat perhatian, padahal data BPS tahun 2020 menunjukkan jumlah penggilingan padi di Indonesia mencapai lebih dari 169.000 unit.

Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.000 yang masuk kategori besar, sekitar 7.000 unit berkapasitas menengah, dan sisanya, lebih dari 161.000 unit, adalah penggilingan kecil.

Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan karena kapasitas produksi penggilingan sudah tiga hingga empat kali lipat lebih besar dibandingkan produksi gabah nasional. 

“Kondisi ini sering membuat tata niaga perberasan menjadi ruwet,” ujar Sutarto.

Sejak menjabat sebagai Ketua Umum Perpadi, ia langsung melihat kenyataan bahwa kelebihan penggilingan padi menjadi masalah serius. Anehnya, pemerintah masih mendorong pembangunan penggilingan baru dengan alasan investasi, alih-alih memperhatikan penggilingan kecil.

Padahal, menurut Sutarto, penggilingan skala kecil adalah tulang punggung ekonomi pedesaan. Sayangnya, mereka sering dianggap tidak efisien sehingga kalah pamor dibandingkan penggilingan baru. 

“Seharusnya penggilingan kecil ini bukan ditinggalkan, tetapi diberi kesempatan untuk merevitalisasi, memodernisasi, dan memperbaiki alat-alatnya agar lebih efisien,” tegasnya. 

Mengenai klasifikasi penggilingan padi, Sutarto menjelaskan bahwa ukuran besar, menengah, dan kecil merujuk pada kapasitas produksi per jam.

Berdasarkan klasifikasi BPS, penggilingan kecil berkapasitas 1,5 ton per jam, menengah berkisar antara 1,5 hingga 3 ton per jam, sedangkan kategori besar lebih dari 3 ton per jam. Saat ini, bahkan ada penggilingan besar yang mampu memproses lebih dari 100 ton per jam. 

Persoalan utama penggilingan kecil, lanjutnya, bukan pada kemampuan teknis, melainkan pada modal dan manajemen. Untuk itu, Perpadi membuat proyek percontohan di lima kabupaten, yaitu Ngawi, Madiun, Sragen, Boyolali, dan Klaten, dengan dukungan anggaran dari Swissaid Asia dan Uni Eropa.

Proyek ini pada dasarnya berfokus pada low carbon rice, namun salah satu aspek terpenting adalah mendorong penggilingan kecil beralih dari mesin diesel ke tenaga listrik.

Mayoritas penggilingan kecil masih mengandalkan mesin diesel yang tidak hanya boros biaya dan sulit mendapatkan bahan bakarnya, tetapi juga menghasilkan emisi karbon tinggi. 

Dari 150 penggilingan kecil yang didampingi selama dua tahun, lebih dari 50 unit kini telah beralih menggunakan listrik. Hasilnya luar biasa, biaya produksi bisa ditekan hingga 40 persen sekaligus menurunkan jejak karbon secara signifikan

. “Kami sampai heran, kenapa hal seperti ini tidak pernah disentuh sebelumnya. Padahal manfaatnya jelas, baik dari sisi efisiensi maupun lingkungan,” ungkapnya. 

Sutarto berulang kali mengusulkan agar pemerintah memberikan kemudahan akses bagi penggilingan kecil untuk memperbarui peralatan mereka. Banyak penggilingan di desa masih menggunakan mesin tua berusia puluhan tahun, bahkan ada yang mengandalkan teknologi lama.

Baginya, inilah titik penting yang harus dibenahi jika Indonesia ingin sistem perberasan yang modern, efisien, dan berkelanjutan.

Praktek Beras Oplosan Jangan Manipulasi Harga

Menurut Sutarto, persoalan beras oplosan seringkali disalahartikan karena istilah yang digunakan memang rancu. Ia menjelaskan, dalam dunia perberasan, praktik pencampuran atau yang sering disebut oplosan, sebenarnya bukan hal baru dan tidak selalu bernilai negatif.

Ada oplosan yang sifatnya positif, yaitu mencampur beras sesuai permintaan konsumen. Misalnya, mencampur beras wangi dengan beras biasa atau beras pulen dengan beras pera. Campuran seperti ini dilakukan untuk menyesuaikan preferensi pasar dan kebutuhan konsumen, dan hal tersebut sah-sah saja.

Sutarto membedakan dengan praktik yang berkembang belakangan ini, yaitu oplosan dalam arti negatif. Oplosan negatif, jelasnya, terjadi ketika standar mutu diturunkan tanpa disesuaikan dengan keterangan pada kemasan.

Contohnya, beras premium seharusnya memiliki kadar broken maksimal 15 persen, tetapi ada praktik oplosan yang membuat kadar broken meningkat menjadi 20, 25, bahkan 30 persen, yang jelas melanggar aturan.

Praktik lain yang meresahkan adalah mencampur beras subsidi dengan beras biasa, lalu menjualnya dengan harga lebih tinggi. Padahal, beras subsidi seharusnya ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu dengan harga lebih rendah. Jika beras subsidi dioplos dan dijual lebih mahal, itu adalah bentuk kecurangan.

Sutarto menegaskan bahwa rantai pasok beras sangat panjang, mulai dari petani penghasil gabah, penggilingan padi, distributor, hingga ritel. Pengoplosan bisa terjadi di setiap mata rantai tersebut, tidak hanya di penggilingan besar.

Bahkan distributor yang memiliki wewenang melakukan repacking pun berpotensi melakukan praktik curang. Karena itu, ia selalu mengingatkan para anggota Perpadi agar tidak sekali-kali terlibat.

“Kita ini berbisnis di barang yang strategis dan selalu diatur oleh negara,” ujarnya.

Jika melanggar aturan mutu atau mempermainkan barang strategis, konsekuensinya berat. Hal itu bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga melanggar aturan negara.

Dalam setiap kesempatan, Sutarto selalu menghadirkan perwakilan pemerintah untuk memberikan penjelasan langsung kepada para anggota, seperti dari Kementerian Perdagangan misalnya, hadir pejabat metrologi untuk menjelaskan kewajiban tera timbangan.

Dari Kementerian Pertanian, hadir pejabat yang membahas regulasi produksi gabah dan beras. Dari Bappenas hingga Kemenko Pangan, mereka hadir memberi arahan. Bahkan Ombudsman dan KPPU pun dilibatkan.

Semua ini dilakukan agar pengusaha penggilingan benarbenarmemahami aturan main yang berlaku, serta tidak lagi mencari jalan pintas melalui praktik yang merugikan.

Sutarto tidak menutup mata terhadap dampak isu beras oplosan terhadap para pengusaha penggilingan padi. Menurutnya,
Kecurangan yang dilakukan oleh segelintir pelaku dapat berdampak pada yang lain.

Salah satunya adalah pengawasan yang awalnya longgar menjadi lebih ketat, bahkan terkadang terkesan berlebihan. Situasi ini membuat beberapa pengusaha memilih untuk menghentikan aktivitas mereka sementara.

“Daripada terus diperiksa dan didatangi, lebih baik berhenti dulu,” kata Sutarto. Padahal, meskipun tidak curang, saat pemeriksaan bisa saja ditemukan hal-hal lain yang dianggap bermasalah, sehingga justru menambah beban.

Gabah Kurang
Ada Masalah lain yang lebih mendasar dihadapi perusahaan penggilingan adalah keterbatasan ketersediaan gabah. Dari akhir Mei hingga awal Agustus, surplus beras Indonesia sebenarnya menurun, bahkan cenderung di bawah kebutuhan nasional.

Pemerintah sempat mengumumkan keberhasilan pengadaan dalam negeri sebesar 2,7 juta ton. Namun, menurut Sutarto, surplus total hanya sekitar 3,6 juta ton.

Artinya, setelah dikurangi kebutuhan pengadaan, yang tersisa hanya sekitar 900 ribu ton. Jumlah ini sangat kecil, terlebih harus diperebutkan oleh lebih dari 169 ribu unit penggilingan padi di seluruh Indonesia, meskipun tidak semuanya beroperasi penuh.

Akibatnya, harga gabah bergejolak. Lonjakan harga ini membuat banyak penggilingan kecil tidak mampu menjual beras sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET). Beberapa akhirnya memilih bermitra dengan Bulog,

karena dengan cara ini mereka tidak perlu memikirkan harga jual, cukup mendapatkan ongkos giling dari Bulog. Langkah ini menjadi solusi sementara. Namun, Sutarto menekankan bahwa pemerintah seharusnya lebih proaktif.

“Kalau memang situasi gabah sedang terbatas, seharusnya Bulog tidak terus membeli hingga akhir Agustus. Biarkan Bulog berhenti sebentar, karena pada akhir Agustus produksi kita akan naik kembali,” jelasnya.

Produksi & Distribusi
Isu kelangkaan beras di sejumlah ritel modern menarik perhatian Sutarto Alimoeso. Menurutnya, pasokan beras di ritel modern umumnya berasal dari penggilingan menengah dan besar yang menggunakan teknologi modern dan beroperasi dalam skala luas.

Penyelidikan terkait manipulasi kualitas dan harga beras premium dalam kemasan memberikan dampak psikologis besar bagi pelaku usaha, khususnya penggilingan skala menengah dan besar, yang akhirnya lebih berhati-hati atau bahkan mengurangi pasokan untuk menghindari risiko pemeriksaan atau masalah hukum.

Sutarto menilai situasi ini semakin rumit karena harga gabah yang bisa mencapai lebih dari Rp7.000 per kilogram, membuat penggilingan sulit menjual beras sesuai HET Rp14.900 per kilogram.

Selisih tersebut mempersulit pengusaha. “Apalagi masuk ke ritel modern ada fee yang harus dibayar, bisa mencapai 8-11 persen,” katanya. I

Ia menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap biaya produksi dan beban distribusi agar pasokan ke ritel tidak terganggu, yang dapat menyebabkan rak-rak kosong.

Sutarto juga mengingatkan bahwa gejolak harga gabah dan beras saling memengaruhi,  Jika harga gabah melonjak, maka Harga beras otomatis terpengaruh, begitu pula sebaliknya. Ketika harga beras tidak terkendali, harga gabah pun ikut berfluktuasi.

“Ini selalu berkaitan,” tegasnya. Oleh karena itu, sejak Mei lalu Sutarto sudah menyarankan agar pemerintah segera melepas sebagian cadangan beras yang mencapai sekitar 4 juta ton.

Dengan melepas cadangan tersebut ke pasar, tekanan terhadap harga gabah bisa berkurang, distribusi lebih stabil, dan pasokan di tingkat konsumen tetap terjaga.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top