Saat ini sebagai ketua umum Persatuan Perusahaan Periklanan (P3I). Hingga kini, ia tetap mendukung dunia jurnalistik dengan berperan sebagai penasihat di The Conversation dalam hal Keberlanjutan Bisnis.
Janoe Arijanto mengawali kariernya di dunia jurnalistik pada era reformasi. Kariernya di industri kreatif dimulai di Grey Worldwide, saat itu dikenal sebagai Grey Rama in Grey. Ia kemudian bergabung dengan Dentsu, salah satu jaringan agensi periklanan terbesar di dunia, dan mencapai posisi Creative Director.
Namun, di tengah perjalanannya, ia memutuskan untuk beralih ke bidang perencanaan strategis (strategic planning), yang menurutnya lebih luas dalam hal wawasan dan cakupan kerja.
Transformasi ini membawanya ke posisi Strategic Planning Director, hingga akhirnya beralih ke manajemen pada tahun 2006- 2007 dengan menjabat sebagai CEO Dentsu Strat. Kariernya terus menanjak, dan pada 2013 ia dipercaya memimpin Dentsu One sebagai CEO.
Setelah hampir dua dekade berkiprah di industri periklanan, Janoe memutuskan mengundurkan diri dari Dentsu One pada 2022. Meski demikian, ia tetap aktif dalam dunia periklanan, mengurus berbagai aspek industri dan membangun beberapa agensi kecil bersama rekan-rekannya.
Platform Digital
Industri periklanan di Indonesia telah mengalami perubahan besar dalam dua dekade terakhir. Jika dahulu agensi-agensi lokal dan multinasional mendominasi
dunia periklanan melalui media konvensional, kini lanskap industri telah bergeser drastis ke ranah digital.
Menurutnya, hampir semua agensi besar, baik lokal maupun multinasional, pernah tergabung dalam Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
Perubahan terbesar dalam industri periklanan terjadi setelah 2010, ketika ekosistem digital mulai mendominasi.
Perpindahan audiens dari media konvensional ke platform digital telah mengubah cara kerja industri secara fundamental. Janoe menjelaskan bahwa dominasi saat ini dipegang oleh ekosistem besar seperti Google (dengan berbagai platform di dalamnya) dan Meta (yang mencakup Facebook, Instagram, dan WhatsApp).
Belakangan, TikTok juga turut mengambil peran signifikan dalam dunia periklanan digital. Dampak dari perubahan ini tidak hanya dirasakan oleh industri periklanan, tetapi juga oleh media pers.
Kini, perusahaan media harus beradaptasi dengan aturan dan algoritma yang ditetapkan oleh platform digital untuk meningkatkan visibilitas dan keterjangkauan mereka. \
Selain itu, ketergantungan terhadap platform – platform besar ini membuat banyak media bergantung pada model bisnis yang baru, termasuk pendapatan dari iklan digital.
Menurut Janoe, perubahan ini memiliki sisi positif dan negatif. Bagi industri periklanan, digitalisasi membuka peluang baru dengan jangkauan yang lebih luas dan lebih terukur. Namun, bagi dunia jurnalistik, perpindahan ke platform digital justru menimbulkan tantangan besar, terutama dalam hal pendapatan dan independensi media.
Belanja Iklan
Industri periklanan Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam satu dekade terakhir. Jika sebelumnya iklan televisi mendominasi belanja iklan nasional, kini iklan digital telah mengambil alih posisi tersebut.
Tren belanja iklan (advertising expenditure) secara keseluruhan terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata kenaikan tahunan berkisar antara 8 hingga 12 persen. Meskipun sempat mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19 dan resesi ekonomi, tren kenaikan belanja iklan kembali berlanjut.
Pada tahun 2024, total belanja iklan di Indonesia diperkirakan mencapai Rp275–278 triliun. Yang menarik, tahun ini menjadi momen bersejarah ketika untuk pertama kalinya belanja iklan digital melampaui belanja iklan televisi.
Sebelumnya, iklan televisi selalu mendominasi dengan porsi anggaran hingga 58–62 persen dari total belanja iklan nasional. “Namun, tren terbaru menunjukkan bahwa iklan televisi mulai turun hingga hanya menyumbang sekitar 48–49 persen, sementara iklan digital semakin mendominasi,” katanya.
Sayangnya, mayoritas pendapatan iklan digital ini tidak mengalir ke media lokal, melainkan terserap oleh tiga raksasa teknologi global: Google, Meta, serta TikTok. Diperkirakan sekitar 75–80 persen dari total belanja iklan digital dikuasai oleh ekosistem tiga platform besar ini.
Sementara itu, sisa 20–25 persen harus dibagibagi di antara media konvensional, termasuk surat kabar, majalah, dan portal berita daring. Fenomena ini berdampak signifikan terhadap industri media.
Jika dulu media memiliki kendali penuh atas audien mereka, kini telah berpindah ke platform digital, yang pada akhirnya mengubah pola pendapatan media. Iklan yang sebelumnya datang langsung dari brand atau agensi ke media, kini lebih banyak disalurkan melalui iklan di mesin pencari (search engine ads), media sosial, serta iklan berbasis data (programmatic advertising).
Lebih dari sekadar pergeseran pendapatan, perubahan ini juga berimbas pada kepemilikan data audiens. Kini, semua data perilaku, preferensi, dan kecenderungan publik dikendalikan oleh platform digital, bukan lagi oleh media konvensional. Ketergantungan media terhadap analitik dan algoritma yang dimiliki oleh raksasa teknologi pun semakin meningkat.
Google Terbesar
Menurut Janoe, sekitar 60 persen dari total belanja iklan nasional masih berasal dari korporasi multinasional seperti Unilever, Procter & Gamble (P&G), dan Danone. Sisanya, 40 persen, berasal dari perusahaan nasional, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang semakin aktif beriklan secara digital.
‘Meskipun jumlah iklan dari UKM meningkat, sebagian besar anggaran mereka tersedot ke platform digital global yang menawarkan keunggulan analitik data yang jauh lebih akurat dibandingkan media konvensional,”katanya.
Dalam peta persaingan iklan digital, Google masih menjadi pemimpin utama dengan menguasai lebih dari 50 persen belanja iklan digital. Sisanya dibagi antara Meta dan TikTok.
Keunggulan platform ini tidak hanya dalam menarik iklan berbasis kesadaran merek (awareness), tetapi juga dalam mengintegrasikan fitur transaksi langsung, memungkinkan audien untuk berbelanja langsung setelah melihat iklan.
Fenomena ini semakin memperkuat ketergantungan pengiklan pada platform digital. Berbeda dengan metode konvensional yang mengandalkan survei pasar, kini pengiklan memanfaatkan real-time data analytics untuk menargetkan audiens secara lebih spesifik.
Platform digital memiliki kemampuan untuk melacak kebiasaan pengguna, mulai dari lokasi, preferensi, hingga pola pembelian, sehingga mempermudah perusahaan dalam menjangkau konsumen yang lebih relevan.
Iklan Konvensional
Media konvensional semakin kehilangan pangsa pasar. Dari total belanja iklan nasional, sekitar 45–48 persen masih masuk ke
media tradisional, dengan televisi sebagai penerima terbesar.
Meski mengalami penurunan dibandingkan era sebelumnya, TV masih menyerap sekitar 35 persen dari total belanja iklan nasional. Di sisi lain, media cetak mengalami kemunduran yang lebih drastis. Saat ini, hanya sekitar 5 persen dari total belanja iklan yang masih dialokasikan ke media cetak, termasuk koran dan majalah.
Radio dan Billboard juga mengalami stagnasi, dengan pertumbuhan yang minim atau bahkan cenderung menurun. Selain media konvensional dan platform digital besar, ada segmen lain yang terus berkembang tetapi sulit untuk diukur secara pasti yaitu media digital independen.
Platform seperti podcast, akun Instagram pribadi, serta kanal YouTube dan TikTok milik individu semakin diminati pengiklan. Meski sulit untuk menghitung total belanja iklan yang masuk ke sektor ini, dampaknya terhadap industri periklanan tidak bisa diabaikan.
Menurut Janoe Arijanto, tren ke depan menunjukkan bahwa digital akan terus naik, sementara televisi tetap bertahan meskipun tidak akan mengalami pertumbuhan signifikan.
Sementara itu, media cetak dan radio semakin terpuruk, mengalami penurunan yang kemungkinan besar akan terus berlanjut. Meskipun demikian, jurnalisme dan media tetap akan dibutuhkan.
Namun, bisnis media harus bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan ekosistem digital yang kini dikuasai oleh platform besar seperti Google, Meta, dan TikTok.
“Media tidak lagi bisa berdiri sendiri, tetapi harus bernegosiasi dan bertransaksi dengan platformplatform ini agar tetap relevan dalam lanskap digital yang semakin kompetitif,” katanya.