Jamaluddin Alkatiri
Jamaluddin Alkatiri

Jamaludin Alkatiri: Daya Beli Masyarakat Turun, Berharap Pemihakan Pemerintah

Share

Owner PT Asaputex Jaya yang bergerak di bidang usaha sarung dan batik, Jamaludin Alkatiri, mengamati daya beli masyarakat, khususnya untuk produk tekstil, telah menurun drastis bahkan menghilang.

Beberapa tahun terakhir ini, momen seperti Pilkada, Pilpres, dan Idul Fitri seharusnya menjadi peluang emas bagi UKM untuk memasarkan produk. Namun, tren ini mengalami kemunduran sejak 2023.

Biasanya setiap pesta demokrasi, banyak calon yang membeli produk lokal sebagai souvenir atau hadiah untuk konstituennya.

“Tahun ini, hampir tidak ada permintaan. Bahkan di Pilkada serentak kemarin pasar benar-benar mati,” ujarnya.

Menurut Jamaludin, penurunan daya beli masyarakat ada juga kaitannya dengan praktek judi online dan kebiasaan top-up game, yang dilakukan tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa.

Tekanan Bisnis
Selain daya beli yang menurun, tekanan dari kreditur dan perbankan pasca Covid-19 pada 2020-2021 berimbas hingga 2022-2023. Banyak pengusaha terpaksa menjual aset untuk memenuhi kewajiban, tetapi sebagian besar gagal bertahan. Akibatnya, sejumlah perusahaan di berbagai daerah, mulai dari Tegal, Pekalongan, Batang, Solo, hingga Bandung, dipailitkan oleh bank.

Perbankan yang sebelumnya menawarkan opsi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kini langsung mengambil langkah pailit tanpa negosiasi, memberikan trauma besar bagi industri di Pantura.

“Dulu saat Covid-19 perbankan bilang bisa nego, tapi kenyataannya baik Bank Negara maupun Bank Swasta tidak memberikan kelonggaran. Mereka lebih fokus pada prinsip bisnis, tanpa ada kebijaksanaan,” ungkapnya.

Tekanan lain dari perpajakan yang kini rutin melakukan pemeriksaan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) setiap bulannya. Tagihan pajak yang tinggi membebani para pelaku usaha kecil, sehingga banyak yang memutuskan untuk menutup usahanya.

Barang Selundupan
Tekanan lain bagi UKM, tidak hanya di bidang tekstil, harus bersaing dengan barang selundupan asal China yang dijual di bawah harga pasar. Kondisi ini semakin menyulitkan pengusaha untuk bertahan di tengah membanjirnya produk impor. Tanpa kebijakan yang mendukung dari pemerintah, banyak pengusaha tekstil dan batik di Pantura terancam gulung tikar.

“Misalnya sajadah kami yang modalnya Rp 90 ribu dijual dengan untung kecil menjadi Rp 110 ribu, tetapi mereka muncul menjual produk serupa seharga Rp 60 ribu,” katanya.

Ancaman terhadap keberlangsungan industri tekstil tidak hanya dirasakan oleh usaha kecil menengah (UKM), tetapi juga oleh perusahaan besar. Meskipun masih beroperasi dengan ribuan karyawan, banyak perusahaan yang bisa dipailitkan karena masalah kecil, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.

Komitmen pemerintah untuk membantu industri memang ada, tetapi hingga kini realisasinya masih sebatas wacana. Kondisi ini semakin diperburuk oleh biaya logistik yang melonjak, termasuk tarif kontainer yang meningkat hingga enam kali lipat. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi keberlangsungan industri di kawasan tersebut.

“Ada perusahaan yang masih aktif tiba-tiba diputuskan pailit hanya karena mem-PHK sekitar 2-5 karyawannya, itu kan tidak masuk akal. Situasi ini sangat berbahaya bagi industri tekstil di wilayah Pantura,” tambahnya.

Cari Pasar Baru
Melihat kondisi pasar lokal yang lesu, para pelaku industri tekstil mulai mengalihkan fokus mereka ke pasar ekspor. Asosiasi tekstil telah menyusun strategi untuk menjangkau pasar baru melalui tur dunia, terutama ke negara-negara konsumen potensial.

Pasar luar negeri, khususnya Timur Tengah dan Afrika, dinilai masih stabil dengan daya beli yang tinggi. Bahkan, Jamaludin mengungkapkan mereka telah memiliki kantor di Timur Tengah dan berencana akan membuka kantor di Kenya untuk mempermudah distribusi. Produk seperti sarung dan batik memiliki potensi besar di kedua wilayah ini, terutama menjelang momen Idul Fitri, yang biasanya meningkatkan permintaan.

“Insyaallah paling tidak menggantikan sekitar 50 persen dari pasar dalam negeri yang hilang,” jelasnya.

Sebab, menjelang Idul Fitri 2025 ini bahkan belum terlihat tanda-tanda lonjakan permintaan signifikan, berbeda dengan pola tahun sebelumnya. Meskipun demikian, pelaku usaha tetap optimis bahwa Januari dan Februari nanti akan menjadi periode terbaik untuk pasar sarung dan batik, mengingat tingginya kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia.

Saat ini, industri tekstil berfokus menjual stok yang sudah ada. Sebagai langkah efisiensi, beberapa pabrik mengurangi hari kerja menjadi 6 hari seminggu. Upaya tersebut bertujuan untuk mengurangi stok yang menumpuk sebelum kembali meningkatkan produksi jika permintaan bertambah.

“Puncak pasar Januari dan Februari, tetapi hingga kini kendala kita bukan masalah produksi, melainkan bagaimana mengurangi stok produk yang masih belum terjual,” ungkapnya.

Harapan Baru
Jamaludin memandang perekonomian Indonesia di tahun 2025 penuh tantangan, namun juga diiringi dengan optimisme dari pemerintahan baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo yang memiliki jiwa pengusaha, ia yakin berbagai masalah industri dalam negeri dapat teratasi. Kebijakan penghapusan kredit macet 6 juta lebih UKM yang sebelumnya tersandera menjadi salah satu langkah yang membangkitkan harapan pelaku usaha.

Daya beli masyarakat yang sempat lesu kini mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Jamaludin berharap pemerintahan baru dapat mengambil kebijakan strategis dalam mendorong penggunaan produk lokal, misalnya menetapkan hari khusus untuk mengenakan batik.

Asosiasi tekstil juga aktif melobi berbagai pihak, mulai dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), perindustrian, hingga perdagangan, untuk memperbaiki sektor tekstil di daerah. Harapannya, pemerintah mendengar aspirasi industri tekstil dan mengambil langkah konkret untuk mendukung keberlanjutan sektor ini.

“Mudah-mudahan Pak Prabowo mendengar keluhan-keluhan dari sektor tekstil dan bisa memberikan solusi untuk memajukan industri di daerah,” ujarnya.

Prioritas Produk Lokal
Selama 10 tahun terakhir, pemerintah tidak lagi membeli produk lokal, seperti tekstil atau makanan, untuk hadiah lebaran, yang sebelumnya menjadi tradisi di berbagai daerah. Jamaludin berharap kebijakan tersebut dapat dihidupkan kembali, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap perekonomian lokal.

Ia optimis terhadap target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintahan Prabowo dan berharap ada perlindungan nyata terhadap UKM, khususnya di wilayah Pantura yang melibatkan ratusan ribu pelaku usaha tekstil. Jamaludin mendorong pemerintah daerah, mulai dari kota hingga provinsi, untuk lebih memprioritaskan pembelian produk lokal demi keberlanjutan UKM.

“Harapan kita, gubernur, walikota, atau bupati terpilih dapat melindungi UKM yang ada di daerah masing-masing,” katanya.

Jamaludin menyampaikan dua harapan utama untuk mendukung sektor tekstil. Pertama, pemerintah diminta mengambil langkah tegas untuk menghentikan masuknya barang selundupan, terutama dari China, yang merugikan industri lokal. Kedua, perbankan diharapkan dapat memberikan dukungan lebih besar terutama untuk pengusaha kecil, mengingat banyak bank yang saat ini cenderung menutup diri setelah krisis restrukturisasi pada 2021. (*) Fatiha Asti Amalia

Artikel Terkait

Scroll to Top