Indonesia Harus Perbaiki Masalah Non-Tarrif Barriers – Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D

Share

Selain persoalan tarif, Amerika Serikat juga menyoroti 16 poin non-tariff barriers (NTBs) dari Indonesia, termasuk birokrasi yang tidak efisien, korupsi, perizinan impor yang rumit, dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang terlalu tinggi.

Hambatan-hambatan ini membuat produk Indonesia jadi kurang kompetitif di pasar global, karena biaya produksi menjadi lebih tinggi.

Dalam hal ini, pengurangan TKDN menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri Indonesia.

Indonesia harus memperbaiki masalah hambatan non-tarif (Non-Tariff Barriers/NTB) untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan kemudahan akses pasar bagi pelaku bisnis. 

NTB yang kompleks dan sulit diprediksi menghambat perdagangan internasional, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. 

Penyederhanaan regulasi, transparansi, dan konsistensi dalam penerapan NTB sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan melindungi industri nasional. 

Lebih Transparan
Fithra juga mengungkapkan kritik terhadap kebijakan kuota impor, yang dalam ekonomi internasional dianggap memicu
rent-seeking behavior yang sering kali berujung pada korupsi.

Maka, menghapus atau membuat kuota impor lebih transparan dapat membantu memperbaiki perekonomian Indonesia secara signifikan.

Situasi ini dapat dianalogikan dengan Perjanjian Hudaibiyah, yang awalnya tampak merugikan, namun akhirnya membawa keuntungan besar.

Fithra menekankan bahwa hubungan perdagangan dan investasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi seperti GDP per capita atau jarak geografis,

tetapi juga oleh kedekatan budaya, bahasa, dan komunikasi. Oleh karena itu, Indonesia harus memanfaatkan momen ini untuk mempererat hubungan ekonomi dan meningkatkan kerja sama dengan Amerika Serikat.

“Harapannya kita bisa semakin konvergen dengan Amerika Serikat, saling mengerti, dan semakin mendekatkan hubungan ekonomi, seperti halnya teori gravitasi ekonomi,” katanya.

Meskipun Donald Trump sering dianggap menciptakan kekacauan dalam sistem perdagangan internasional yang berbasis aturan (rule-based),

Fithra melihat bahwa kekacauan tersebut justru bisa saja membuka jalan menuju tatanan ekonomi global yang lebih dinamis dan tidak hegemonik.

Menurutnya, selama ini World Trade Organization (WTO) hanya memihak negara-negara besar dan tidak memberi banyak peluang bagi negara berkembang.

Dengan melemahnya peran WTO dan munculnya pendekatan bilateral Trump menjadi dinamika baru yang membuka peluang bagi negara seperti Indonesia untuk ikut menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D sendiri berhasil menyelesaikan S1 di Universitas Indonesia, S2 di Keio University, dan S3 di Waseda University, Jepang.

Berkarier sebagai dosen Universitas Indonesia (UI sejak 2005 dengan keahlian di bidang Ekonomi Internasional, Kebijakan Perdagangan, dan Pembangunan Ekonomi. Menjadi penasihat ekonomi di beberapa perusahaan.

Artikel Terkait

Scroll to Top