Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D menjelaskan bahwa angka ini berasal dari rumus yang menggabungkan defisit perdagangan, elastisitas harga impor, dan efek pass-through tarif.
Defisit perdagangan, selisih antara ekspor dan impor Amerika Serikat (AS) dari Indonesia sebesar 18 miliar USD, dibagi dengan total impor AS dari Indonesia sebesar 28 miliar USD, menghasilkan nilai 0,64 atau 64%.
Angka tersebut kemudian dikalikan dengan koefisien price elasticity of import (4) dan pass- through effect of tarif (0,25), yang hasilnya 1. Artinya, efek tarif terhadap harga impor dianggap penuh (100%), sehingga angka hasil pembagian (64%) dianggap mewakili seberapa besar tarif ideal yang bisa dikenakan.
Namun, Trump kemudian menyebutkan adanya skema discounted reciprocal tarif, sehingga tarif terhadap Indonesia menjadi 32%. Padahal tarif resiprokal Indonesia terhadap AS sebenarnya hanya sekitar 5% berdasarkan weighted average tariff, jauh dari klaim 64% yang dijadikan dasar oleh AS.
“Tarif resiprokal ini artinya saya jual anda beli. Jadi, anda menerapkan berapa, saya akan menerapkan hal yang sama,” ujarnya.
Meskipun secara matematis dapat dijelaskan, banyak ekonom mempertanyakan validitas akademis rumus ini. Fithra bahkan menyebutnya sebagai “hitungan bodoh” karena tidak sesuai dengan teori ekonomi internasional yang baku.
Strategi Negosiasi
Menghadapi kebijakan tarif yang dinilai tidak objektif, Fithra menelaah bagaimana cara mengurangi tarif mengikuti logika dan perhitungan Trump. Dalam hal
ini, Vietnam menjadi contoh negara yang merespons paling cepat dan proaktif dengan strategi diplomatik, hingga mampu menurunkan tarif secara signifikan bahkan sampai 0%.
Meskipun penasihat Trump, Peter Navarro, tidak menyetujui tarif nol, strategi utama Trump sebenarnya adalah mendorong negara lain mendekat dan bernegosiasi, bukan konfrontasi atau retaliasi.
Fithra menyarankan agar Indonesia berkoalisi dengan negara-negara ASEAN yang memiliki produk ekspor serupa. Mengingat gaya negosiasi Trump yang lebih memilih pendekatan bilateral daripada multilateral,
ASEAN sebaiknya diposisikan sebagai satu entitas agar bisa lebih efektif dalam bernegosiasi yang dikemas dalam format dialog bilateral, seperti USASEAN Dialogue.
Pendekatan ini dinilai lebih strategis dalam memperjuangkan kepentingan bersama di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan global.
“Koordinasi antarnegara ASEAN ini sudah mulai dilakukan secara informal melalui komunikasi langsung antar pemimpin negara,” ungkapnya.
Act First, Then Think
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian seperti ini, Fithra menegaskan bahwa Indonesia sebaiknya mengambil langkah negosiasi dengan Amerika Serikat. Meskipun ada pandangan bahwa kebijakan tarif Trump bisa berubah karena tekanan internal. Menurutnya, hal yang dapat dikendalikan harus segera dilakukan.
Sebagai orang yang memahami dinamika pasar, Fithra menilai bahwa respons pasar sangat cepat. Jika pemerintah bersikap pasif, dampaknya langsung terlihat seperti melemahnya nilai tukar rupiah.
Ia mencontohkan Vietnam yang berhasil meraih keuntungan besar dari kebijakan Trump di periode sebelumnya karena mereka sigap mengambil peluang, menggantikan posisi China dalam rantai pasok global, dan menarik investasi besar dari AS.
Strategi Vietnam yang mengedepankan prinsip “Act first, then think” terbukti efektif. Fithra juga menyoroti bahwa Indonesia kini sudah tertinggal dari beberapa negara ASEAN dalam hal daya saing. Oleh karena itu momen perubahan kebijakan global seperti saat ini justru menjadi peluang besar yang tidak boleh dilewatkan.
“Ketika pemerintah tidak melakukan apa-apa, tidak bernegosiasi, market akan langsung merah dan rupiah langsung terpuruk. Jadi saya melihat kalau kita menunggu terlalu lama, justru kita akan tertinggal dan kehilangan banyak peluang,” katanya.
Realokasi Impor
Menurut Fithra, Indonesia bisa menerapkan strategi trade concession, yakni mengalihkan sebagian impor dari negara lain ke Amerika Serikat sebagai upaya
mengurangi defisit perdagangan dan menurunkan potensi tarif tinggi.
Strategi ini dilakukan tanpa menambah total volume impor nasional, melainkan hanya merelokasinya, sehingga tidak berdampak signifikan pada postur defisit perdagangan Indonesia.
Produk ekspor utama Indonesia seperti furniture, CPO (minyak sawit), dan karet sebenarnya tidak bersaing langsung dengan Amerika Serikat (AS), tetapi dibutuhkan untuk industri mereka.
Ini membuka peluang besar untuk memperluas akses pasar Indonesia ke AS, terlebih karena Trump tidak terlalu peduli terhadap isu lingkungan (green issues) seperti negara-negara Uni Eropa.
Fithra menilai bahwa rencana Indonesia untuk meningkatkan impor dari Amerika Serikat, termasuk senjata atau alutsista (alat utama sistem senjata), bisa menjadi strategi efektif untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Menurutnya, Trump tidak terlalu mempermasalahkan jenis barang yang diimpor, asalkan volume impor meningkat. Dengan demikian, Indonesia bisa mendapatkan barangbarang berkualitas dari AS yang sebelumnya sulit diakses, sekaligus mengurangi defisit perdagangan.
Di sisi lain, Fithra melihat kebijakan perdagangan Trump yang cenderung konfrontatif terhadap China justru dapat memicu penurunan tarif global secara resiprokal dan bisa menciptakan race to the bottom, sebuah ekuilibrium baru menuju perdagangan bebas tarif.
Meski paradoksal, langkah Trump bisa membuat tarif global semakin rendah ke arah nol, sebagaimana diidealkan oleh para ekonom perdagangan.
“Ini karena adanya prinsip resiprokal, jika satu negara menurunkan tarif, negara lain cenderung ikut menurunkan juga,” ujarnya.
Dampak Tarif Trump
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa dampak tarif dari kebijakan Amerika terhadap Indonesia tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 10%. Namun, menurut Fithra, dampak sebenarnya bisa bervariasi tergantung pada cara menghitungnya dan jenis produk yang terkena tarif.
Untuk produk jadi (end product), tarif yang dirasakan mungkin lebih rendah. Namun, jika tarif dikenakan pada bahan baku atau komponen (intermediate goods), dampaknya bisa jauh lebih besar karena akan meningkatkan biaya produksi dari barang jadi secara keseluruhan.
Dalam istilah ekonomi, ini disebut sebagai real effective tariff rate, yang bisa melebihi estimasi awal karena efek berantai dari tarif terhadap input produksi. Ini
bisa membuat harga produk naik hingga dua kali lipat.
Akibatnya, bukan hanya negara mitra dagang seperti Indonesia yang terdampak, tetapi justru industri dalam negeri Amerika Serikat sendiri yang ikut tertekan karena biaya produksi meningkat.
Dengan kata lain, kebijakan tarif Trump bisa berbalik merugikan AS sendiri, terutama dalam jangka menengah. Meskipun kebijakan tarif Trump dimaksudkan untuk menjaga dukungan dari wilayah industri seperti Detroit dan daerah industrial belt (yang menjadi kunci kemenangan Trump),
tarif tersebut berisiko menaikkan biaya produksi, memicu inflasi, dan bisa menyebabkan PHK massal, diperkirakan antara 3 hingga 6 juta pekerja. Sebab, banyak bahan baku yang dikenakan tarif merupakan input penting bagi sektor industri AS.
“Tarif ini bisa menghambat industri AS, karena pada akhirnya ada produk-produk tertentu yang akan sulit masuk, seperti barangbarang China yang menjadi lebih mahal. Dampak intermediatenya justru dirasakan oleh industri AS itu sendiri,” ujar Fithra.