Esther Sri Astuti, SE, M.Si, Ph.D - Dosen FIB Undip

Esther Sri Astuti, SE, M.Si, Ph.D – Walau Sekarang Ditangguhkan Perang Dagang Akan Panjang

Share

Esther Sri Astuti, SE, M.Si, Ph.D menyebutkan kebijakan tarif yang saling balas antara Amerika Serikat (AS) dan negara lain, termasuk Indonesia, bukanlah hal yang mengejutkan

Sejak masa kampanye, Presiden Donald Trump telah menyatakan niatnya memperbaiki defisit perdagangan AS, sehingga kenaikan tarif sudah bisa diprediksi.Esther menyoroti Vietnam sebagai contoh sukses dalam memanfaatkan perang dagang pertama antara AS dan China.

Menurutnya, keberhasilan Vietnam didorong beberapa faktor, seperti posisi geografis yang dekat dengan China memungkinkan produk impor dari China masuk ke Vietnam terlebih dahulu untuk kemudian diekspor ke AS dengan label “Made in Vietnam”, sehingga terhindar dari tarif tinggi yang dikenakan oleh AS.

Vietnam memiliki banyak perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral dengan negara besar, termasuk AS dan negara-egara Eropa, yang memperkuat posisinya di pasar global. Investasi di Vietnam juga sangat berkembang karena kemudahannya dalam berbisnis yang menjadi daya tarik besar bagi investor, termasuk perusahaan – perusahaan AS yang keluar dari China akibat kebijakan tarif.

Esther menyarankan Indonesia untuk meniru pendekatan Vietnam dalam memperbaiki iklim investasi dan memperluas kerja sama perdagangan internasional.

“Memperbanyak perjanjian bilateral dan multilateral, serta membuat regulasi yang mendukung investasi ini perlu kita contoh,” jelasnya.

Diversifikasi Pasar
Di tengah berbagai pandangan para ahli dalam menghadapi kebijakan tarif Trump, Esther lebih menyarankan pada pendekatan antisipatif. Meskipun tarif baru saat ini ditangguhkan selama 3 bulan dan dikembalikan ke level 10%, ia menilai upaya Trump untuk melakukan proteksi dan menekan defisit perdagangan masih akan berlanjut.

Oleh karena itu, Indonesia perlu menyiapkan berbagai skenario kebijakan (plan A, B, dan C). Salah satu langkah penting yang bisa dilakukan adalah mengurangi ketergantungan terhadap AS, baik dari sisi ekspor maupun impor.

Hal ini dapat dilakukan dengan diversifikasi pasar tujuan ekspor dan sumber impor dengan negara-negara lain, terutama untuk produk-produk seperti kedelai dan pakan ternak yang selama ini sangat bergantung pada AS.

Esther juga mengingatkan risiko ketergantungan pada dolar AS (USD) dalam transaksi internasional, yang membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.

“Menurut saya lebih baik sedia payung sebelum hujan,” katanya.

Meskipun pemerintah Indonesia berencana meningkatkan impor dari AS sebagai upaya menyeimbangkan neraca perdagangan, Esther mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan terhadap impor bisa merugikan.

Dalam 10 tahun terakhir, tren impor Indonesia terus meningkat, yang berisiko menggerus cadangan devisa negara. Karena dalam perdagangan internasional, negara yang mengdapatkan banyak keuntungan adalah negara yang mampu mengekspor lebih banyak, bukan yang hanya mengandalkan impor

Kebijakan seperti penghapusan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kuota impor perlu dilakukan secara selektif. TKDN tetap penting untuk produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri guna mendorong integrasi industri lokal ke dalam rantai pasok global, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan pajak.

Untuk produk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri, penghapusan TKDN bisa dipertimbangkan, namun harus disertai dengan insentif bagi perusahaan asing agar melakukan transfer teknologi dan pengetahuan kepada industri lokal sehingga mampu memproduksi barang jadi.

“Kalau terintegrasi artinya industri kita berkembang dan mereka bisa bayar pajak. Itu juga keuntungan bagi negara,” jelasnya.

Menurut Esther, penting untuk membuat kebijakan yang tidak memperparah ketergantungan pada impor, dan menyarankan Indonesia meniru strategi negara- negara seperti Malaysia, Thailand, Cina, dan Vietnam yang berhasil mengembangkan industri dalam negeri melalui pendekatan yang lebih terintegrasi dan berpihak pada penguatan sektor lokal.

Sektor Pertanian
Pertanian menjadi salah satu sektor penting dalam menghadapi ketegangan perdagangan, terutama terkait ketergantungan Indonesia pada impor kedelai dari AS yang digunakan untuk produksi tempe dan tahu. Menurut Esther, masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan produksi, melainkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian.

Pemerintah terlalu fokus pada sektor manufaktur, padahal negara-negara maju seperti Belanda, Jerman, Jepang, AS, di samping industrialisasi, tetap memperhatikan sektor pertanian demi menjaga ketahanan pangan.

Ia menilai Indonesia sebenarnya mampu menanam kedelai, namun terkendala oleh rendahnya produktivitas per hektar, infrastruktur pertanian yang belum memadai, sarana prasarana yang harus diperbaiki, minimnya tenaga penyuluh, dan rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani karena citra profesi yang identik dengan kemiskinan.

Esther menekankan perlunya perbaikan menyeluruh di sektor pertanian agar Indonesia tidak terus bergantung pada impor bahan pangan, dan mengajak agar pertanian dijadikan sektor yang lebih menarik dan menjanjikan.

“Jadi bukan karena kita tidak mampu, tetapi kita tidak fokus ke sana,” tegasnya.

Solusi Hadapi Trump
Menanggapi kebijakan tarif Trump, Esther menekankan pentingnya negosiasi dua arah. Indonesia bisa membeli produk dari AS, tetapi AS juga harus membeli produk dari Indonesia.

Ia menyoroti Indonesia yang bisa melakukan negosiasi dengan memanfaatkan perusahaanperusahaan AS seperti Freeport dan Nike yang beroperasi di Indonesia, serta komoditas penting seperti tembaga dan emas yang dibutuhkan AS.

Pendekatan saling menguntungkan ini, sebagaimana dilakukan Vietnam, menurutnya bisa mengurangi kerugian besar dalam perdagangan internasional. Esther memprediksi ketegangan dagang ini bisa berlangsung cukup lama, merujuk pada pengalaman perang dagang antara AS dan China pada 2019.

Oleh karena itu, ia mendorong Indonesia untuk bersiap dengan berbagai strategi. Selain negosiasi, Indonesia perlu memperbaiki iklim investasi, mempermudah perizinan usaha agar investor asing tertarik membuka pabrik di dalam negeri, dan mengatasi masalah sosial seperti aksi blokade oleh ormas, yang menurutnya tidak terjadi di Vietnam.

Diversifikasi pasar ekspor dan impor serta peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral juga dianggap penting. Selain itu, Indonesia perlu menghidupkan kembali sektor industri yang mulai meredup seperti tekstil, dan tidak melupakan sektor pertanian.

Esther menekankan pentingnya swasembada pangan, terutama dalam menghadapi krisis global, sebagaimana Indonesia pernah mencapainya pada 1984. Menurutnya, semua ini bisa dicapai jika ada kemauan kuat dan pikiran terbuka dari semua pihak.

Tim Pemerintah Mampu
Esther percaya bahwa tim ekonomi pemerintah Indonesia memiliki kemampuan yang mumpuni karena terdiri dari para pakar ekonomi dengan latar belakang yang kuat.

Namun, keberhasilan mereka dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini sangat bergantung pada kemauan politik dan komitmen untuk membuat kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

“It’s a matter of willingness, apakah kebijakan yang diambil memang based on public interest atau private interest, itu saja,” ujarnya.

Meskipun tantangan yang dihadapi Indonesia besar, Esther tetap optimis bahwa Indonesia bisa meniru kesuksesan Vietnam meskipun memerlukan proses yang panjang.

Vietnam yang dulunya terdampak perang kini bisa maju pesat setelah pemerintahnya mendorong investasi asing, menjaga upah tenaga kerja tetap terkendali, dan aktif menarik investor.

Dengan kebijakan yang tepat dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah strategis, Indonesia bisa keluar dari ketergantungan yang ada dan menjadi kekuatan ekonomi baru di kancah global.

Artikel Terkait

Scroll to Top