Sasongko Tedjo - Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat

Ekonomi Pasca Lebaran – Oleh Sasongko Tedjo

Share

Peristiwa ritual mudik menyambut Lebaran terjadi setiap tahun dan itu selalu menjadi berita besar. Pergerakan puluhan juta orang membawa dampak ekonomi besar di daerah. Namun ada yang berbeda di tahun ini.

Perayaan Idul Fitri 1446 H tak seramai tahun tahun sebelumnya. Seminggu sebelum lebaran H-7 biasanya
tiket KA, bus dan kapal ludes terjual. Kali ini relatif sepi. Jalan tol yang biasanya macet parah sekarang tak banyak cerita cerita dramatis karena relatif lebih lancar.

Terasa ada pengurangan aktivitas dan termasuk di pusat perbelanjaan sehingga lebaran tidak begitu menjadi peak time. Tampaknya ekonomi sedang tidak baik baik saja. Penurunan ini dirasakan oleh banyak sektor.

Selain itu yang ramai terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana mana. Gerakan menghemat mau tak mau harus dilakukan dan akhirnya tercermin dari menurunnya geliat ekonomi selama lebaran.

Memang belum ada laporan resmi termasuk angka angka namun suasana dan situasi itu dirasakan bersama. Sebelum lebaran dan pasca lebaran situasi kegerahan ekonomi masih akan terjadi.

Walaupun sebenarnya fundamenal ekonomi kita masih kuat. Lihatlah nilai kurs Rupiah yang menurun hingga Rp 16.600 per dolar AS. Bahkan sempat menyentuh Rp 16.741 atau terendah sejak Tahun 2020. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG ) terus melemah hingga ke 6.223. Terendah sejak tahun 2021.

Jangan main main dengan pasar yang selalu sensitif namun jujur. Artinya mekanisme pasar itu hanya bisa sedikit diintervensi oleh otoritas moneter namun tak bisa diatur atur. Dan faktor utamanya adalah kepercayaan investor.

Pak Prabowo sebagai presiden tentu paham soal ini namun pengalaman pertama menjadi nahkoda kapal besar akan makin memberi pelajaran tentang pentingnya menjaga kepercayaan pasar.  Geliat ekonomi di Lebaran tahun ini mungkin baru menjadi indikator awal sehingga perlu dikaji lebih mendalam.

Teori ekonomi makro yang diajarkan sejak masa Dornbusch dan Fischer tahun 1980 an melihat volume ekonomi sebuah negara (baca: pendapatan nasional) ditentukan oleh tingkat konsumsi masyarakat (C), pengeluaran pemerintah (G), Investasi ( I) dan selisih ekspor dan impor.

Maka ketika sekarang daya beli masyarakat sedang menurun dan pengeluaran pemerintah sedang dipangkas besar besaran, mudah dirasakan pengaruhnya. Walaupun tidak sampai drastis namun akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi sehingga tahun 2025 ini tak akan bisa mencapai  5 persen.

Selain itu ekonomi pascalebaran juga masih dibayangi bayangi instability pasar baik pasar modal maupun pasar uang. Hati hati kalau tidak segera diatasi bisa berdampak pada kegiatan investasi. Padahal pada saat yang sama kepercayaan dunia usaha dan masyarakat belum pulih.

Kebijakan pemerintah yang seperti main yoyo yakni maju mundur juga kurang terkomunikasikan dengan baik. Awal pemerintahan Prabowo ternyata justru memunculkan berbagai masalah yang bisa mengikis kepercayaan karena serba instan dan serba belum jelas.

Ada program Makan Bergizi Gratis yang terkendala teknis maupun anggarannya. Ada lagi kemunculan mendadak “Danantara” yang menimbulkan waswas di dalam maupun luar negeri dan masih banyak lagi.

Jangan lupa, kestabilan ekonomi itu ditentukan oleh kepercayaan yang dicerminkan oleh pergerakan kurs mata uang maupun indeks harga saham gabungan. Dan perlun dibuat perasaan tenang.

Jangan sampai ibarat naik bus penumpangnya mulai gelisah karena sopirnya ngebut tapi agak oleng.***

Artikel Terkait

Scroll to Top