Dr. Fuad Bawazier, MA - Komisaris Utama MIND ID

Dr. Fuad Bawazier, MA – Perang Tarif AS-China Picu Tatanan Baru Dunia

Share

Saat ini banyak negara disibukkan oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump. Padahal, menurut Komisaris Utama MIND.ID, Dr. Fuad Bawazier, MA, gagasan tentang globalisasi dalam perdagangan dunia justru pertama kali diluncurkan oleh Amerika Serikat lebih dari 50 tahun lalu.

Mereka mendorong perdagangan dan investasi bebas, membentuk WTO, serta menjadikan Bank Dunia dan IMF sebagai corong utama kampanye globalisasi. Negara – negara lain, termasuk Indonesia, tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti arus tersebut.

Presiden Soeharto pun waktu itu menyatakan, suka tidak suka, mau tidak mau, Indonesia harus menerima globalisasi. Meskipun pada saat itu belum tentu menguntungkan, tekanan internasional membuat Indonesia tetap bergabung karena tren dunia sedang mengarah ke sana.

Negara Barat, terutama Amerika, awalnya percaya bahwa globalisasi akan menguntungkan mereka. China, yang saat itu masih dianggap sebagai negara
berkembang dengan keterbatasan ekonomi dan teknologi, dilihat sebagai pasar besar yang murah untuk investasi.

Namun, China justru menyerap teknologi dengan serius dan tumbuh pesat menjadi produsen global yang kompetitif. Barangbarangnya mampu menembus
pasar Barat dengan harga murah dan kualitas yang bersaing.

Perkembangan ini membuat Barat terkejut. Negara yang tadinya dirancang hanya sebagai konsumen, kini menjadi kekuatan ekonomi yang dominan. China tidak hanya unggul dalam perdagangan, tetapi juga memperluas pengaruh politik dan militernya.

Melihat kondisi tersebut, negara-negara Barat mulai mengubah arah kebijakan mereka. Globalisasi yang dahulu mereka pelopori kini digantikan oleh semangat proteksionisme atau deglobalisasi.

“Mungkin memang harus seperti ini. Segala sesuatu itu dipergilirkan. Siapa yang di atas bisa berganti” katanya.

Perang Tarif
Menurut Fuad, jika tujuan dari penerapan tarif tinggi ini untuk mempertahankan supremasi Barat, maka hal itu sudah tidak relevan lagi. Dunia sedang bergerak menuju keseimbangan baru antara kekuatan Barat dan Timur,

yang berpotensi berkembang menjadi semacam perang dingin, mirip dengan yang terjadi antara blok Barat dan Soviet di masa lalu. Namun, situasi saat ini jauh berbeda.

Bahkan, dunia Barat mulai terpecah. Eropa kini berada dalam kebingungan, karena ketika mereka mencoba mendekat ke Amerika, mereka justru merasa
ditinggalkan, sementara Amerika terus memberikan tekanan.

Kondisi ini diuntungkan oleh kehadiran China. Saat ini, dunia sedang terjebak dalam perang tarif. Beberapa pihak mengusulkan untuk mengakhiri perang tarif
dengan cara menghapus tarif impor barang dari Amerika.

Namun, Fuad berpendapat bahwa Amerika tidak akan setuju dengan hal ini, karena jika tarif impor dibatalkan, defisit perdagangan mereka akan semakin membesar.

Padahal, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi defisit tersebut. Fuad menyarankan agar Indonesia mengambil langkah strategis dengan menawarkan sesuatu kepada Amerika.

Indonesia perlu menjaga keseimbangan hubungan antara China dan Amerika, karena keduanya merupakan mitra dagang utama. Dengan Amerika, Indonesia mencatat surplus perdagangan, sementara dengan China justru mengalami defisit.

Oleh karena itu, Fuad mengusulkan agar sebagian impor, seperti impor bahan bakar minyak dari negara yang tidak jelas asalnya, dapat dialihkan ke Amerika.
Dengan demikian, Amerika akan merasa diuntungkan karena defisit perdagangannya bisa ditekan, bahkan berpotensi berubah menjadi surplus.

Tatanan Baru
Fuad mengatakan, impor alutsista dari Amerika memang agak sulit dan menghadirkan beberapa tantangan. Setelah membeli alutsista, Indonesia seharusnya memiliki kendali penuh atas penggunaannya.

Namun, Amerika sering kali ingin mengatur pemanfaatan barang yang sudah dibeli, yang seharusnya bukan urusannya, dengan mencampuradukkan kebijakan
ekonomi dan politik.

Dulu, ketika Amerika adalah kekuatan dominan, hal ini mungkin bisa diterima. Namun, situasi kini berbeda, mereka menghadapi banyak pesaing dalam alutsista, seperti Prancis, Inggris, dan China, yang tidak memberlakukan kontrol ketat atau syarat berlebihan.

Jika Amerika terus mengatur alutsista setelah penjualan, negara pembeli bisa beralih ke negara lain yang menawarkan fleksibilitas lebih. Perubahan ini menunjukkan pergeseran kekuatan global.

Dulu, sanksi atau embargo dari Amerika sangat efektif, terutama bagi negara-negara seperti Iran. Namun kini pengaruh tersebut mulai berkurang, dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu semakin banyak pesaing yang menawarkan alternatif dan berkurangnya pengaruh sistem pembayaran global.

China, misalnya, telah mengembangkan sistem pembayarannya sendiri yang memungkinkan negara-negara lain melakukan transaksi tanpa bergantung pada Amerika.

Selain itu, penggunaan dolar sebagai mata uang global juga semakin menurun, dengan sekitar 50% transaksi global kini menggunakan mata uang lain. Amerika mungkin berusaha menunjukkan bahwa mereka tidak khawatir, namun kenyataannya mulai merasakan dampaknya.

Ketika dolar tidak lagi dominan dalam transaksi internasional, mereka akan kesulitan menggunakan sanksi dan embargo. Hal ini terlihat dalam perang dagang dengan China, di mana tarif yang dikenakan oleh Amerika tidak membuat China mundur, malah mereka merespons dengan menambah tarif balasan.

“China tidak akan mudah menyerah. Mereka akan terus bertahan dan tidak tunduk pada tekanan Amerika. China sudah cukup kuat dan akan mampu mengimbanginya,” katanya.

Kebijakan tarif tinggi Amerika memang mengguncang pasar global. Pasar modal dunia sempat jatuh, namun ketika tarif dibatalkan, pasar pulih kembali. Selama periode ketidakstabilan tersebut, pihak-pihak tertentu mendapat keuntungan dengan membeli saham yang harganya anjlok.

Setelah pasar pulih, sahamsaham tersebut dijual kembali dengan keuntungan signifikan. Pada akhirnya, meskipun dunia mengalami ketidakstabilan, perubahan ini akan membawa keseimbangan baru.

Pasar dan kekuatan global akan menyesuaikan diri, dan kondisi akan kembali stabil seiring waktu. Tidak perlu panik atau terburu-buru dalam menghadapi perubahan ini.

“Dunia akan menemukan tatanan baru yang lebih seimbang, dan setiap negara harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut,” ujarnya.

Tidak Terpengaruh
Sebagai Komisaris Utama MIND ID, Fuad menjelaskan bahwa perang tarif tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor pertambangan Indonesia, meskipun
secara umum tetap membawa dampak positif. Ia mencatat, harga emas saat ini telah mencapai 3.200 dolar per troy ons, angka tertinggi yang pernah tercatat.

Kenaikan ini menunjukkan lonjakan signifikan, mengingat dua dekade lalu harga emas hanya sekitar 300 dolar. Terkait dengan pengaruh bank emas, Fuad menyebutkan dampaknya memang ada, namun masih dalam skala kecil.

Menurutnya, faktor global lebih dominan karena semakin banyak orang kini memilih emas sebagai instrumen penyimpanan kekayaan yang aman. Mengenai potensi perusahaanperusahaan dalam grup MIND ID.

Saat ini, Freeport menjadi penyumbang keuntungan terbesar, diikuti oleh Antam. Di sektor batubara, kontribusinya masih sangat besar terhadap perekonomian nasional, meskipun banyak perusahaan swasta turut berperan selain Bukit Asam.

Ia meyakini prospek sektor pertambangan ke depan akan semakin besar dan strategis. Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk tumbuh melalui sektor ini karena kekayaan sumber daya alamnya yang sangat melimpah.

Namun, pengelolaannya tidak bisa lagi hanya berfokus pada pengambilan dan penjualan bahan mentah seperti yang terjadi sejak masa penjajahan. Harus ada upaya serius untuk menciptakan nilai tambah.

Program hilirisasi, menurut Fuad, merupakan langkah yang tepat. Namun, tidak boleh berhenti hanya pada pembangunan smelter. Smelter memang penting dan menjadi tahap awal yang krusial, tetapi harus dilanjutkan dengan pengembangan industri lanjutan agar manfaat ekonominya lebih optimal.

“Selama ini, Indonesia terlalu lama bergantung pada ekspor bahan mentah dengan harga murah. Banyak pelaku industri, khususnya swasta, hanya mengejar keuntungan cepat tanpa berpikir jangka panjang,” katanya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top