Satgas Deregulasi harus menjadi benteng, bukan sekadar jembatan. Membuka investasi, tapi jangan sampai menyerahkan kedaulatan sumber daya dan nasib buruh kepada mekanisme pasar yang tak berjiwa.
Dalam penilaiannya, sektor strategis seperti energi, mineral, lingkungan, dan tenaga kerja harus mendapatkan perhatian khusus.
Ia mengingatkan bahwa nikel,yang menyumbang hampir 50% pasokan dunia, bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi alat geopolitik dalam diplomasi global.
“Jangan anggap remeh nikel. Ia bukan hanya logam, tapi instrumen politik masa depan. Kehilangan kendali atas nikel berarti menggadaikan posisi tawar Indonesia di percaturan dunia,” ujarnya
Perlindungan terhadap sektor padat karya, seperti tekstil dan manufaktur yang menyumbang 15% PDB nasional, harus menjadi prioritas dalam skema deregulasi.
Menurutnya, eksploitasi buruh bukan hanya soal moral, tetapi juga soal menjaga stabilitas ekonomi.
Membiarkan buruh diperas dalam nama investasi, bukan hanya kehilangan martabat, kita menciptakan bom waktu sosial ekonomi .
“Transparansi bukan pelengkap, itu nyawa deregulasi. Tanpa indikator dampak ekonomi yang jelas dan audit publik rutin, kita hanya berpindah dari birokrasi korup ke deregulator korup,” katanya.
Tumbal Globalisasi
Dalam skema negosiasi global, Edhie memperingatkan ancaman skenario terburuk. Indonesia memberikan konsesi berlebihan tanpa imbal balik sepadan dari
negara mitra, khususnya Amerika Serikat.
“Kalau kita menyerah pada tekanan tarif AS tanpa mengamankan timbal balik yang adil, kita sedang menulis resep untuk deindustrialisasi,” ungkapnya.
Menggunakan analogi Prisoner’s Dilemma dalam teori permainan, Edhie menilai strategi menyerah tanpa kalkulasi matang akan membuat Indonesia menanggung defisit perdagangan membengkak, pengangguran naik, dan sektor industri hancur.
Sebagai gantinya, ia mengusulkan strategi tit-for-tat, mengaitkan setiap konsesi dengan komitmen konkret dari AS, seperti penghapusan tarif tekstil atau
investasi di hilirisasi nikel.
Setiap konsesi harus berbanding lurus dengan imbal balik nyata. Jangan pernah berasumsi goodwill itu gratis di meja negosiasi global.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya diversifikasi mitra dagang, mengurangi ketergantungan berlebih pada AS.
Pemimpin Regional
Edhie juga melihat peluang besar. Jika negosiasi dijalankan dengan cerdas dan presisi, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai pemimpin ekonomi regional.
Dengan kekuatan nikel dan pasar domestik, Indonesia bisa mendikte langkah pertama.
“Kita harus memaksa AS memberikan konsesi strategis,” ujarnya.
Ia memuji inisiatif pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto yang telah mengupayakan negosiasi ekonomi strategis, termasuk potensi investasi baterai kendaraan listrik senilai USD 10 miliar dan transfer teknologi.
Namun, Edhie mengingatkan, langkah ini harus disertai dengan reformasi domestik: penyederhanaan izin investasi, pembangunan infrastruktur 5G, serta investasi pada pusat inovasi energi hijau.
“Jangan hanya berharap dari negosiasi luar negeri. Tanpa perbaikan internal, kita hanya membangun istana pasir,” katanya.
Ia menekankan bahwa akses ke CPTPP dan penguatan posisi di BRICS adalah langkah kunci untuk memperluas jaringan perdagangan Indonesia.
Dengan strategi ini, menurut Edhie, Indonesia bisa menciptakan pertumbuhan inklusif, menjaga kedaulatan sumber daya, sekaligus mempercepat transformasi menuju ekonomi digital dan hijau.
Muhammad Edhie Purnawan, SE, MA, PhD sendiri berhasil menyelesaikan S1 di UGM, S2 di Monash University, dan S3 di The University of Melbourne. Menjadi pengajar di FEB UGM sejak 1992.
Dia pernah menjadi Wakil Dekan FEB UGM. Selain mengajar, ia saat ini juga menjadi Anggota Badan Supervisi OJK, Dewan Penasihat KADIN Indonesia,
Ketua PP Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Bidang International Affairs. Sebelumnya ia adalah Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia.