Danantara sebagai SWF di Indonesia (img: tutorbisnis.com)

Danantara : Bisa Sukses Besar atau Sebaliknya

Share

Bisnis lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) di banyak negara yang dikelola dengan hati-hati dan transparan terbukti memberikan hasil positif. Ada juga yang bubar dan berakhir di ranah hukum akibat penyelewengan.

Sebagai sebuah institusi keuangan yang hidupnya mengandalkan keuntungan investasi, lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) banyak yangmenuai sukses, tapi juga tak sedikit yang ambruk. Keberadaan institusi keuangan ini sering kali menjadi indikator kekuatan ekonomi suatu negara, dengan kapasitas untuk mendanai proyek infrastruktur, menyelamatkan perekonomian dari krisis, hingga memberikan stabilitas keuangan jangka panjang.

SWF mengelola dana investasi yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara. Sumber dana SWF biasanya berasal dari surplus neraca perdagangan, pendapatan hasil eksploitasi sumber daya alam, atau cadangan devisa yang melimpah. Misalnya, negara-negara produsen minyak seperti Norwegia dan Uni Emirat Arab menggunakan pendapatan dari ekspor minyak dan gas sebagai sumber dana utama bagi SWF mereka.

Di sisi lain, negara seperti Singapura membangun SWF dari surplus anggaran dan cadangan devisa yang dihasilkan dari sektor perdagangan dan jasa. SWF bekerja dengan menginvestasikan dana yang dikelola ke berbagai instrumen keuangan, mulai dari saham, obligasi, properti, hingga investasi langsung ke sektor riil. Strategi ini bertujuan untuk menghasilkan return on investment (ROI) yang stabil dan berkelanjutan.

Keuntungan diperoleh dari dividen, capital gain, serta pendapatan sewa dari aset properti yang dimiliki. Selain itu, SWF sering kali berperan sebagai investor jangka panjang yang tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga mendukung pembangunan infrastruktur atau sektor strategis di dalam dan luar negeri.

Contoh sukses dari perjalanan perusahaan sejenis SWF ini bisa dilihat dari perjalanan SWF di Norwegia, Government Pension Fund Global (GPFG), yang merupakan SWF terbesar di dunia dengan aset lebih dari USD1,8 triliun per November 2024. Dana ini dikelola oleh Norges Bank Investment Management (NBIM) dan berasal dari pendapatan minyak serta gas.

Keuntungan utama dari GPFG didatangkan dari investasi di  lebih dari 9.000 perusahaan di seluruh dunia. Perusahaan ini juga melakukan transparansi dan tata kelola yang baik serta fokus pada investasi berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak. Pendekatan tata-kelola kelembagaan dan investasi yang mandiri, transparan dan prinsipiil di atas dalam banyak hal, merupakan aspek penting dibalik kesuksesan SWF Norwegia. GPFG merupakan satu di antara sedikit model tata-kelola SWF yang menginspirasi banyak negara.

Tetapi, kunci sukses SWF Norwegia tidak berhenti di situ. Lebih spesifik lagi, ada aspek yang memainkan peranan kunci di balik kesuksesan SWF Norwegia sejauh ini. Yaitu komitmen kuat pemerintah yang berkelanjutan dan strategi investasi yang bijaksana. Komitmen pemerintah Norwegia terlihat dari konsistensi alokasi surplus dana minyak kepada GPFG yang jumlahnya mencapai 100 persen, dari total pendapatan minyak negeri itu. Alokasi dana tersebut juga sudah secara spesifik dimandatkan untuk diinvestasikan di luar negeri, agar secara fundamental berbeda dari ekonomi domestik Norwegia.

Harapannya, sumber dana GPFG akan terus bisa berlanjut meskipun perekonomian dalam negeri Norwegia mengalami ketidakstabilan. Tidak hanya itu, jumlah alokasi yang besar tidak lantas berujung pada keleluasan penarikan dana pada setiap tahunnya. Pemerintah Norwegia menyadari kondisi ketika satu sektor perekonomian tumbuh sangat pesat sehingga membuat sektor ekonomi yang lain tidak berkembang.

Karenanya, dibuatlah aturan agar setiap tahunnya total dana yang diambil dari GPFG bagi ekonomi Norwegia tidak lebih dari 4 persen. Komitmen berkelanjutan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan strategi investasi yang prudent dan bijaksana. Ini terlihat dari proporsi alokasinya yang terdiri dari 72 persen ekuitas, 25 persen fixed income dan 2,5 persen properti.

Strategi ini menarik, karena memungkin GPFG mendapatkan pendapatan pasti dari sektor fixed income setiap tahunnya. Investasi surat berharga pemerintah secara umum lebih rendah resiko dan lebih stabil dibandingkan investasi ekuitas.

Pengalaman Singapura
Tak jauh dari Indonesia, negeri tetangga Singapura juga sukses dengan SWF versi mereka.  Disana ada Temasek yang berjaya menjadi perusahaan investasi kelas dunia, yang bahkan bisa menjadi menjadi pemain utama di tingkat global. Temasek dengan dana kelolaan sekitar $560 miliar, perusahaan ini berfokus pada investasi strategis di sektor teknologi, keuangan, dan kesehatan, baik di Singapura maupun global.

Selain Temasek, negara kota ini juga memiliki Government of Singapore Investment Corporation (GIC) yang berinvestasi dalam obligasi, ekuitas, dan real estate global dengan aset lebih dari USD 800,8 miliar. Keberhasilan Singapura dalam mengelola SWF bisa dilihat dari beberapa aspek, seperti pengelolaan dana yang profesional dan transparan; fokus pada inovasi dan sektor masa depan; serta investasi di sektor teknologi dan sustainability.

Masih dari negeri tetangga, ada juga kisah kebangkrutan institusi SWF yang bahkan berdampak pada lengsernya kepala negara. Ya, di Malaysia pernah terjadi skandal keuangan besar, yaitu kasus 1Malaysia Development Berhad atau 1MDB di Malaysia. 1MDB didirikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 2009.

Kasus korupsi ini melibatkan penyalahgunaan dana investasi negara hingga miliaran dolar Amerika Serikat melalui transaksi tidak transparan dan pencucian uang lintas negara. Saat itu, dilaporkan banyak kasus korupsi yang dilakukan Najib Razak bersama kroni-kroninya yang bersumber dari 1MDB. Lembaga ini awalnya dibentuk untuk membiayai infrastruktur dan transaksi terkait ekonomi lainnya di Malaysia itu.

Namun duit yang seharusnya diinvestasikan secara hati-hati itu dialihkan untuk pengeluaran gaya hidup mewah. Termasuk membiayai film seperti The Wolf of Wall Street dan membeli Dustheads, sebuah lukisan karya seniman AS Jean-Michel Basquiat.

Penyidik kasus ini menyebutkan ada dana sekitar US$700 juta atau sekitar Rp. 10.2 triliun yang diselewengkan hingga membuat kerugian negara. Salah satu yang diminta pertanggunjawabannya adalah Perdana Menteri Najib Razak. Ia mendapat 32 dakwaan dalam kasus ini dengan ancaman penjara 20 tahun. Najib juga menghadapi tuntutan lain yaitu menerima uang dari perusahaan SRC International, yang merupakan anak perusahaan 1MDB. Ancamannya juga mencapai 20 tahun.

Independensi
Dengan berbagai contoh kasus itu, anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto mengingatkan pentingnya agar BPI Danantara dikelola dengan penuh independensi, jauh dari pengaruh politik sehingga tidak mengalami nasib buruk seperti yang menimpa 1MDB. “Makanya, nanti intervensi politik ini enggak boleh ada lagi dalam Danantara ,” ungkapnya.

Bagi Indonesia pelajaran yang bisa diambil dari berbagai kisah sukses dan kisah tragis SWF ini adalah bahwa dalam tatakelolanya, prinsip keberlanjutan dan disiplin penggunaan aset harus menjadi asas yang mendasar. Tidak hanya itu, dalam pengelolaannya lembaga SWF juga diharuskan memiliki strategi investasi yang bijaksana guna dapat memenuhi mandat keberlanjutan tersebut.

Artikel Terkait

Scroll to Top