Arifin Asydhad - Pemimpin Redaksi Kumparan.com (image: Kumparan)

Arifin Asydhad – Membangun dan Membina Media Lokal

Share

Arifin Asydhad, setelah mencapai karier di Detik. com sebagai pemimpin redaksi dalam rentang masa pengabdian 16 tahun 9 bulan, akhirnya memutuskan mengundurkan diri. Pada 2017, bersama Hugo Diba, Yusuf Arifin, dan Ine Yordenaya mendirikan Kumparan.com.

Ketua Dewan Pengurus Forum Pemred periode 2021-2024 itu pernah bergabung di Harian Politik Monitor (1999). Tertarik pada media penerbitan sejak di SMP dan SMA. Saat kuliah mengontribusikan tulisannya di Bandung Pos, Pikiran Rakyat, dan Republika.

Penerimaan publik terhadap Kumparan.com, menurut Arifin Asydhad sebagai pemimpin redaksi, dalam kisaran tujuh hingga delapan tahun belakangan, sebagai media digital yang relatif diperhitungkan.

Jika dilihat secara multichannel, jumlah pembacanya tertinggi. Kalau dilihat dari website dan atau aplikasinya, dari sisi unit visitor, berada di peringkat kedua setelah Detik.com.

Menurut Arifin, konsep jurnalisme yang ditawarkan pun beda. Kumparan itu sebenarnya akronim dari kumpulan pemikiran. Dahulu konsep jurnalisme ditopang peran news room (ruang redaksi) dan jurnalis sebagai satu-satunya penentu konten dan arah kebijakan media.

“Dengan konsep jurnalisme yang sedikit lain, kami melibatkan pembaca. Dengan demikian, produknya bukan hanya pemikiran redaktur dan jurnalis. Melainkan juga hasil curahan pikir pembaca,” katanya.

Dengan demikian ada kolaborasi dengan pikiran para pembaca. Dan, di antara pembaca itu, ada yang merupakan pakar atau ahli di bidang masing-masing. Ada pula yang datang dari kalangan akademisi dengan disiplin keilmuan masingmasing.

4.500 Penulis
Dari sisi lain, kata Arifin, ingin melakukan sejumlah perubahan di media arus utama (mainstream).Pertama, ingin membangun media digital dengan keunggulan jurnalisme (excellent in journalism). Jurnalisme tetap dibutuhkan, dilakukan dengan baik dan berbasis etika.

Kedua, media digital itu dilengkapi dengan keunggulan teknologi (excellent in technology). Misalnya strategi agar iklan tidak menutupi konten. Dengan
demikian, pembaca dapat nyaman mengaksesnya. Termasuk bagaimana membangun big data.

Kalau biasanya di media digital, yang biasa ditampilkan adalah berdasarkan waktu terbaru. Di Kumparan.com, hal itu juga dilakukan, namun bisa juga disesuaikan dengan selera pembaca. Sebab, pihaknya sudah memiliki perangkat teknologi untuk mendeteksi tentang konten yang lebih disukai para pembaca.

Ketiga, membangun kolaborasi, agar ada keseimbangan antara keunggulan jurnalisme dan teknologi dengan komunitas yang
mendukungnya. Saat ini, memiliki 45.000-an penulis yang menyumbangkan karyanya.

Dalam sehari, pernah datang hingga sekitar 500 tulisan. Tapi lebih sering di kisaran 150 hingga 200 tulisan. Tidak semua dapat di-upload. Karena itu, diseleksi atas dasar kualitas layak muatnya. Kebanyakan penulis dari kalangan akademisi dan peneliti. Kemudian para mahasiswa yang menjadikan Kumparan.com sebagai wahana untuk belajar menulis.

“Sebagai pelaku industri media, dari sisi pendapatan perusahaan tetap menjadi perhatian pula,” katanya.

Akuisisi Djarum Group
Mulai awal tahun 2025, menurut Arifin, mayoritas saham kepemilikan atas Kumparan.com telah berada di tangan Djarum Group. Meski demikian, dia dan para pendiri media digital tersebut masih teta berada di dalamnya.

Pada mulanya, Kumparan.com dibangun dengan model start up. Diawali dengan investasi yang tidak besar. Meski demikian, ada investor
yang percaya. Lalu dilakukan fundraising, penggalangan dana dan sumber daya lain dari masyarakat.

Hingga kemudian, tuturnya, masuk beberapa investor. Semula dari perseorangan, terus masuk sejumlah perusahaan besar. Salah satunya P.T. GDP Venture. Lalu masuk lagi Gojek lewat Goventure untuk investasi start up.

“Di situlah Kumparan.com berkembang. Berkat investasi yang lumayan, bisa menambah orang, meningkatkan teknologi, dan cara marketing. Sebelum pada  akhirnya P.T. GDP Venture mengakuisisi,” katanya.

Ekosistem Industri Media
Ekosistem industri media di Indonesia, sampai sekarang memang masih fokus pada iklan. Dahulu sebelum ada media digital, pelanggan menjadi tumpuan utama pendapatan perusahaan media. Setelah masuk dekade akhir 1990-an dan masuk ke era 2000, masyarakat lebih mudah mengakses informasi gratis.

Ditambah lagi dengan pemunculan media sosial (medsos). Akibatnya, jumlah pelanggan media, sangat terasakan pada media cetak, kian hari kian turun. Dan, tumpuan prinsip yang masih menjadi pegangan utama para pelaku industri media, harus ada iklan yang masuk jika ingin tetap eksis.

Sebetulnya di Kumparan.com pun iklan masih menjadi perhitungan. Hanya, dia berpandangan, pendapatan perusahaan media digital secara ideal seharusnya dari para subscriber. Hanya disadari, saat ini waktunya memang belum memungkinkan. Terus berupaya menuju ke sana.

Misalnya ada produk bernama Kumparan Plus. Di sini tersedia konten-konten investigatif, opini-opini yang inspiratif. “Ini tidak gratis. Ada upaya meraih pendapatan dari subscriber,” katanya.

Kegiatan Luring
Menurut Arifin, perkembangannya memang belum menggembirakan. Intinya, ada market tetapi tidak bisa besar. Bila ditanya model bisnisnya diperoleh pendapatan dari mana. Maka, yang pertama sudah pasti dari iklan. Lalu kedua, upaya-upaya pencerahan publik lewat jalur lain di luar pemberian informasi.

Termasuk dengan melakukan banyak kegiatan luring (offline activity). Pada 2024 lalu, digelar Green Initiative Kumparan. Memberikan dorongan kepada masyarakat untuk memanfaatkan energi bersih.

Kumparan.com juga membuat Program Artificial Intelligence (AI) for Indonesia. Ada pembahasan soal bagaimana upaya implementatif kecerdasan buatan di banyak pihak termasuk media.

“Media mau tidak mau sekarang ini juga sudah terpapar AI. Bagaimana media itu memanfaatkan AI untuk kepentingan jurnalistiknya? Kemudian, baru ada pelanggan subscriber,” katanya.

Iklan Tak Mengganggu Terkait dengan konsep iklan yang tidak mengganggu, dia menjelaskan, pada kisaran tahun 2000-2015, iklan media digital di website atau application selalu memakai banner.

Ternyata semakin banyak pembaca yang menyatakan bahwa pemakaian banner itu sangat mengganggu. Apalagi kalau penampilan iklannya dengan cara pop up. Begitu pembaca mengeklik www.Kumparan.com akan ada iklan yang muncul. Ini mengganggu.

Selain itu, ada juga iklan yang tidak sesuai dengan isi media. Ini semua tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian memprioritaskan iklan-iklan yang mempunyai sedikit banner. Namun, dengan tarif standar. Iklan dikaitkan dengan preferensi para pembaca.Dengan demikian, sangat tidak mengganggu kenyamanan mereka dalam mengakses berita yang tersaji.

“Ini tidak mudah. Perlu investasi dan teknologi yang memadai. Tapi ada keyakinan. Strategi ini akan sangat nyaman dirasakan para pembaca,” tegasnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top