Arif Zulkifli - Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk (image: Tempo)

Arif Zulkifli – Tetap Punya Keyakinan Media Berkualitas Bertahan

Share

Sebagai Direktur Utama PT Tempo Inti Media tbk, Arif Zulkifli bertanggung jawab membawa perusahaannya melewati perkembangan media saat ini.

Terutama saat media mainstream cetak mulai menyurut, sementara media cyber belum sepenuhnya stabil. Tempo, termasuk media yang paling awal masuk memanfaatkan teknologi digital.

“Tempo sebetulnya sudah masuk ke ranah digital tidak lama setelah dibredel, 21 Juni 1994 sampai dengan Oktober 1998, kemudian terbit kembali,” katanya.

Dalam empat tahun masa sulit, cerita Arif, awak Tempo melahirkan Tempo Interaktif.com. Itu sejatinya bukan semata-mata bisnis pemberitaan lewat jalur digital.

Saat itu orientasinya bukan bisnis, melainkan perjuangan. Karena majalahnya tidak ada, kemudian dibuat digital. Pada akhirnya Tempo Interaktif adalah wujud lain dari majalah Tempo.

“Cara menulisnya, masih sangat majalah. Jadi kita belum berpikir tentang mesin pencari ya, saya kira Google mungkin belum ada, atau kalaupun ada baru sekali gitu,” katanya.

Bahkan majalah Tempo Interaktif itu, diprint lalu difotokopi. Jadi sebetulnya kembali lagi ke dalam format cetak.Tempo majalah terbit lagi pada 1998. Semangat untuk menghidupkan kembali edisi cetak sangat tinggi.

Apalagi respon pembaca sangat baik. Pada masa itu juga lahir Koran Tempo yang terbit harian. Media digital seperti terlupakan. Apalagi saat itu media digital belum semarak seperti sekarang. Model bisnisnya juga belum ketemu.

Nah setelah tahun 2000-an, model bisnisnya sudah jauh lebih jelas, dengan segala tantangannya. “Saat ini bisnis media digital adalah bisnis menyebarkan berita dengan model bisnis mencari traffic. Semakin banyak traffic yang diciptakan, semakin banyak pendapatan dari iklan maupun adsense,” katanya.

Koreksi Model Bisnis
Arif kemudian melihat ada yang harus dikoreksi dari model bisnis media. Dalam pengamatannya, media digital juga memunculkan praktik-praktik jurnalisme buruk. Karena bad quality journalism tersebut hanya mencari traffic, clickbait, sensasi dan sebagainya.

“Sampai sekarang mungkin ribuan portal-portal berita di seluruh Indonesia, di berbagai tempat, masih mengandalkan praktik bisnis yang seperti itu,” katanya.

Arif menyadari disrupsi digital semakin menggerus media cetak, termasuk Koran Tempo yang harus menghentikan edisi cetak. Biaya produksi lebih tinggi dari harga yang dibayar pembaca. Iklan semakin surut seiring disrupsi digital, munculnya sosial media, para pengiklan merasa lebih efektif mengiklankan produk lewat media sosial.

Kemudian meluncurkan Koran Tempo Digital, terbit dalam versi aplikasi, ataupun dalam format website, setiap pagi hari pukul 06.00. Digitalisasi ini berperan dalam mendemokratisasikan media massa. A

rtinya, kalau dulu Koran Tempo dibaca setiap pagi di Jakarta, tapi di Papua baru besoknya atau baru malamnya. Lewat digital tidak ada lagi pembatasan ruang dan waktu. Secara ekonomi juga lebih murah karena tidak ada biaya kertas.

Tetapi dalam perkembangannya, esensi dari dunia digital adalah tidak ada pembatasan waktu. Sedangkan Koran Tempo Digital terbit setiap pagi. Jadi masih terbit dengan logika koran harian, seperti minum kopi pagi-pagi, ada koran.

Padahal di dunia digital, informasi tidak ada batasan waktu. Kemudian November 2024, Tempo meluncurkan single brand. hanya ada satu Tempo. Majalah, koran, lalu kemudian berita cepat itu, di dalam satu aplikasi, dalam satu website.

Yang membedakan adalah premium dan tidak berbayar atau free. Berita yang tidak berbayar adalah berita yang biasa dibaca di website, sedangkan yang berbayar adalah Koran Tempo dan Majalah Tempo yang disebut sebagai premium news.

Walaupun Koran Tempo cetak berhenti, majalah Tempo cetak masih ada. Model bisnis majalah cetak berbeda dari koran. Majalah masih bisa mandiri. Jadi harga yang dikeluarkan oleh pembaca sebesar Rp 60.000, sedangkan biaya produksinya kurang dari itu.

Di sisi lain, ungkap Arif, pembaca lama yang belum nyaman dengan versi digital. Mereka ingin tetap baca dan pegang kertas. Untuk koran itu walaupun sudah tidak punya cetak, sekarang dalam versi digital terbit empat kali sehari. Jadi ada Tempo Fajar jam 6, Tempo Pagi jam 9, Tempo Siang itu jam 12, Tempo Petang jam 15.

Tantangan Bisnis Digital
Arif menyebut ada sejumlah tantangan bisnis digital. Pertama tantangan teknologi. Tantangan teknologi artinya situs harus mudah dan cepat, diakses dengan sinyal atau data yang terbatas. Kedua, kemudahan pembayaran.

Artinya pembayaran tidak boleh susah, dikembangkan bayar pakai Gopay, Ovo, atau potong pulsa. Tempo harus memberikan informasi yang sesuai dengan rupiah yang dibayarkan pembaca.

Karena itulah, ada tiga pendekatan. Pertama menyajikan berita-berita yang bersifat story, atau liputanliputan investigasi. Kedua, Tempo Harian, berisi yang di dunia digital dikenal sebagai explainer. Di mingguan atau di majalah lebih kepada story behind the news.

“Tapi tidak boleh bad quality journalism, jadi enggak boleh clicbait. Kalau Tempo yang bikin berita clickbait, atau judulnya salah atau typo, yang ngomel dari pembaca setia sampai komisaris, sampai mantan pemred,” katanya.

Arif bersyukur, hasilnya luar biasa. Tentu juga karena faktor sikap editorial Tempo yang dikenal cukup lugas. Kelugasan itu merupakan salah satu trademark dalam pemberitaan. Salah satu buktinya, sepanjang 2024, setiap bulan ada penambahan pelanggan Tempo digital sekitar 3.000 sampai 4.000 pelanggan baru.

“Apakah harganya sesuai dengan price listnya, enggak gitu. Jadi kami bikin program-program yang murah atau program merayakan hari lebaran dan sebagainya. Kita bikin paket-paket seperti itu, sehingga harganya bervariasi. Banyak media juga menggunakan pola dan model bisnis semacam ini,” jelas Arif.

Media Cetak Bertahan
Tantangan media publik ke depan, menurut Arif, tergantung perspektifnya. Dilihat dari tantangan bisnisnya, ia pesimis, media mampu menegakkan garis api antara konten berita dan praktik berbisnis. Dalam hal ini, media belum bisa independen untuk menyelamatkan dapurnya.  Itu sebuah tantangan yang tidak mudah.

Tetapi di sisi lain, dia melihat perkembangan media digital, termasuk dengan media sosial YouTube, Instagram, dan sebagainya, sebetulnya membuka peluang media untuk berimajinasi dan mengembangkan produknya. Jadi tidak lagi produk-produk cetak saja, tapi juga video, dan sebagainya.

Menurutnya itu sangat prospektif untuk pengembangan bisnis. Selanjutnya, kata dia, seperti yang dikerjakan Tempo, mengembangkan model berlangganan. Caranya dengan terus mempromosikan berita-berita berkualitas bagus, dan premium.

“Mungkin yang rajin nonton Bocor Alus, sekarang lebih mengenal Bocor Alus daripada Tempo,” katanya.

Tantangan yang dihadapi media publik di Indonesia, sejatinya sama dengan media di negaranegara lain. Hanya saja, dalam pandangan Arif, tergantung pada situasi ekonomi politik di tiaptiap negara.

Misalnya Tempo, dalam mengembangkan bisnis berlangganan belum bisa tertawa lebar. Karena orang Indonesia lebih suka berlangganan film atau musik, daripada beli informasi.

Sementara di luar negeri, di Amerika atau Eropa, orang berlangganan New York Times. Jadi kondisinya memang berbeda. Arif yakin media cetak berkualitas akan tetap bisa bertahan.

Artikel Terkait

Scroll to Top