Frans Kongi, Apindo Jateng
Frans Kongi, Ketua Apindo Jateng.

Apindo Jateng: Proyeksi Bisnis 2025 Stabil Perlu Perbaikan Regulasi

Share

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi, SH mengatakan untuk memotret prediksi ekonomi 2025 memerlukan gambaran tentang kondisi perekonomian sepanjang 2024, khususnya di Jawa Tengah, dan perbandingannya dengan tahun 2023.

Melihat ke belakang, tahun 2020–2021 menjadi periode yang sangat berat akibat pandemi Covid-19. Aktivitas industri mengalami penurunan drastis, produktivitas merosot, dan daya beli masyarakat melemah signifikan.

Pemulihan mulai terasa pada 2022–2023, ketika industri kembali bangkit, perdagangan domestik menggeliat, dan ekspor mulai stabil. Menurut Frans pada 2024 perekonomian di Jawa Tengah menunjukkan perkembangan yang positif. Produksi berlangsung lancar, penjualan barang di pasar lokal dan internasional meningkat, serta ekspor berjalan dengan baik. Mayoritas pelaku usaha menggambarkan situasi yang relatif stabil, sehingga tahun 2025 diharapkan menjadi periode dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.

Meskipun secara umum industri di Jawa Tengah tetap berjalan dengan baik, sektor tekstil menghadapi tantangan yang cukup serius. Beberapa perusahaan mengalami penurunan kinerja, bahkan ada yang terpaksa menghentikan operasional atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tanda-tanda ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal 2023. Konflik geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina, menyebabkan inflasi di berbagai negara dan gangguan pada ekonomi global, termasuk menurunnya ekspor. Kondisi ini diperparah dengan tantangan ekonomi di dalam negeri yang turut memengaruhi stabilitas industri.

Tekanan Tekstil

Sektor tekstil menghadapi tekanan berat akibat berbagai faktor, di antaranya masuknya impor ilegal yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Selain itu, produktivitas di Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara seperti China dan Korea, yang telah mengadopsi mesin-mesin modern dengan tingkat produktivitas lebih tinggi. Hal ini memungkinkan mereka untuk memproduksi barang dengan harga lebih murah dan kualitas yang tetap terjaga.

Sedangkan mesin-mesin yang digunakan di dalam negeri umumnya sudah usang, sehingga menurunkan efisiensi dan kualitas produksi. Oleh karena itu, dukungan pemerintah sangat diperlukan, misalnya melalui program pembiayaan kredit untuk memperbarui mesin-mesin produksi.

“Tidak ada pilihan lain bagi industri kita selain bekerja secara efisien. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan daya saing,” katanya.

Industri Padat Karya

Selama 2024, sektor makanan dan minuman di Jawa Tengah memang lebih mencolok, Namun, sektor lain seperti industri alas kaki juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Sebagai sektor padat karya yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja, industri ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah.

Setiap kali peraturan berubah, seperti yang terbaru terkait penentuan upah minimum, dunia usaha merasa kebingungan. Sangat penting agar peraturan tidak berubah-ubah, sehingga industri dapat merencanakan dan menjalankan operasionalnya dengan lebih stabil dan terprediksi.

Pengusaha di sektor padat karya sudah membuat proyeksi biaya, termasuk biaya tenaga kerja, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 tentang penentuan upah minimum. Namun, pada awal November 2024, Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan untuk mengubah 21 pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Keputusan ini mengejutkan dan sangat mengganggu perencanaan usaha yang telah disusun sebelumnya.

Undang-Undang Cipta Kerja,yang sebelumnya dianggap sangat menarik bagi investor, kini mengalami perubahan signifikan. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini berpotensi memberikan dampak besar terhadap iklim investasi di masa depan, yang tentunya mengurangi daya tarik investasi, baik itu investasi dalam negeri maupun asing.

“Apalagi dengan adanya pengusulan Upah Minimum Sektoral (UMS), hal ini justru menghambat dan memberatkan,” katanya.

Relokasi Investasi

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Menurut Frans, tidak mungkin target ini tercapai tanpa adanya pertumbuhan industri yang signifikan. Melihat kondisi di Jawa Tengah, investasi sebenarnya sudah cukup baik. Pemerintah telah menyiapkan lahan-lahan industri, infrastruktur, dan pemerintah pusat juga memberikan perhatian serius terhadap hal ini. Pada waktu itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebuah undang-undang yang selama ini diimpikan.

Namun, sampai saat ini investasi belum banyak masuk karena masalah geopolitik, inflasi, dan berbagai faktor lainnya. Jika keadaan sudah normal, investasi akan mengalir, tetapi pertumbuhan 8 persen pada 2025 tidak mungkin tercapai secara langsung. Pertumbuhan itu pasti akan terjadi secara bertahap.

Sementara Presiden Prabowo sudah memberikan sinyal positif bagi investor luar negeri. Setelah dilantik menjadi presiden, langsung melakukan kunjungan ke luar negeri, dan di sana banyak cerita positif. Misalnya, China berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia, begitu juga dengan negara-negara lain.

Selanjutnya, menurut Frans, jika Presiden Trump kembali menjabat, mungkin akan ada sedikit proteksi yang diterapkan, mengingat sejarah perang dagang antara Amerika dan China. Dalam situasi ini, kemungkinan besar China akan merelokasi industrinya ke Indonesia dan dapat bekerja sama dengan mitra Indonesia untuk mengekspor produknya.

“Diharapkan para investor tidak terlalu terpengaruh oleh regulasi pengupahan dan masalah lainnya,” katanya.

Produksi Bahan Baku

Jawa Tengah sebenarnya punya potensi besar untuk menarik investasi, terutama di sektor industri. Frans mengungkapkan bahwa sektor garmen tetap memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Saat ini, banyak pabrik garmen beroperasi di wilayah ini. Namun, masih menghadapi kendala serius yaitu ketergantungan pada bahan baku impor yang mencapai 80%, sehingga kurang optimal dalam memberikan nilai tambah.

Dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong investasi dalam pembuatan bahan baku di Indonesia. Frans berharap pemerintah dapat menarik investor asing untuk merelokasi produksi bahan baku ke dalam negeri. Saat ini, sebagian besar bahan baku garmen masih diimpor dari Tiongkok, sementara industri lokal lebih banyak berperan dalam proses penjahitan.

“Untuk membangun fasilitas produksi bahan baku ini, bagi pelaku usaha swasta di Jawa Tengah terasa sangat berat. Mungkin hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan investor dari luar negeri,” katanya.

Selain sektor tekstil dan garmen, ketergantungan pada impor juga terjadi di industri farmasi, besi, dan baja. Namun, ada contoh keberhasilan seperti hilirisasi nikel yang sudah berjalan di Indonesia. Model hilirisasi ini dapat menjadi acuan untuk mendorong pengembangan industri bahan baku lainnya. Jawa Tengah memiliki potensi besar untuk menerapkan konsep hilirisasi serupa.***

Artikel Terkait

Scroll to Top