Pasar keuangan dunia terguncang pada awal pembukaan perdagangan Senin, 7 April 2025 lalu. Sahamsaham di seluruh Asia terjun bebas akibat ketakutan akan terjadinya perang dagang global, setelah Cina membalas tarif besar-besaran yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Indeks Straits Times Singapura anjlok 7,37%. Sementara Taiex, indeks berbobot dari Bursa Saham Taiwan juga jatuh 9,8% pada pembukaan setelah perdagangan dilanjutkan usai libur panjang.
Di Hong Kong, Indeks Hang Seng turun 9,3%, sementara di Cina, Indeks Komposit Shanghai turun 4,4%. Dunia memang sedang mengalami kekhawatiran dengan kebijakan terbaru Amerika Serikat yang dikeluarkan pada 2 April 2025 lalu.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump hari itu mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif bea masuk kepada semua negara yang mengekspor barang ke negeri paman Sam itu.
Reaksi Negatif
Kebijakan ini mendapatkan reaksi negatif dari banyak negara. Selain Cina, selama akhir pekan, Uni Eropa dilaporkan tengah menyiapkan tarif masuk balasan,
menargetkan hingga US$28 miliar impor Amerika Serikat yang menandai eskalasi terbaru dalam konflik ini.
Kanada juga telah mengumumkan langkah-langkah pembalasan atas kebijakan Trump. Beberapa negara juga mencari jalan penyelamatan sendiri – sendiri. Pemerintah Vietnam mengumumkan akan menghapus seluruh tarif barang dari Amerika Serikat (AS) usai negara tersebut dikenakan tarif impor sebesar 46% oleh Presiden AS Donald Trump.
Rencana tersebut diungkapkan oleh Trump usai berbicara dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam To Lam melalui sambungan telepon. Sebelum Trump mengumumkan pengenaan tarif impor baru, Vietnam telah memangkas sejumlah tarif produk AS yang masuk ke Vietnam.
Selain itu, berkomitmen untuk mengimpor produk AS seperti pesawat dan pertanian. Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong menyoroti efek besarnya apabila negara lain mengadopsi pendekatan yang sama dengan Amerika Serikat yang meninggalkan sistem organisasi perdagangan dunia (WTO).
Sejumlah negara bisa saja berdagang hanya dengan persyaratan yang mereka inginkan. Hal ini akan menimbulkan masalah bagi semua negara.
“Terutama negara kecil seperti Singapura. Kita berisiko terdesak, terpinggirkan, dan tertinggal,” ucap Wong. Menurut dia, perdagangan
dan investasi internasional akan mengalami pukulan besar dan pertumbuhan global akan melambat. Khususnya di Singapura karena ketergantungan negara tersebut yang besar pada perdagangan.
Respon Indonesia
Di Indonesia Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Ahad, 6 April 2025 lalu menggelar rapat dengan peserta terbatas, hanya beberapa menteri dari Kabinet Merah Putih
yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Perkasa Roeslani, dan Menteri Perdagangan Budi Santoso, juga pimpinan instansi negara yang terkait dengan perekonomian.
Seperti Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar. Agenda rapat koordinasi terbatas itu untuk membahas langkah yang akan diambil pemerintah merespons pengenaan tarif impor Amerika Serikat.
Sebelumnya, pihak Pemerintah Indonesia sempat melakukan rapat pada Kamis, 3 April 2025 atau tepat sehari setelah Presiden Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara termasuk Indonesia.
Airlangga menegaskan, pemerintah tak akan mengambil langkah retaliasi atau tindakan balasan atas kebijakan tarif tersebut. Karenanya, rapat tersebut sebatas membahas langkah negosiasi yang akan diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral.
Serta untuk menjaga iklim investasi dan stabilitas ekonomi nasional. “Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Airlangga.
Tarif Resiprokal
Secara umum, tarif dasar terhadap barang-barang yang masuk ke Amerika Serikat dikenai tarif resiprokal atau tarif timbal balik untuk menyeimbangkan kembali arus perdagangan global dengan cara mengenakan bea ad valorem atau bea masuk tambahan pada barang impor dari semua mitra dagang Amerika Serikat.
Bea masuk dimulai dari 10 persen dan meningkat lebih tinggi untuk beberapa negara tertentu. Indonesia dikenai tarif hingga 32%. Tarif itu disebut sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari Amerika Serikat, yang diklaim\ mencapai 64%.
Angka tarif yang dikenakan ke Indonesia hanya berbeda 2% dari China, yang berjumlah 34%, dan juga lebih kecil dibanding Thailand sebesar 36%, Sri Lanka 44%, Vietnam 46%, bahkan Kamboja 49%. Tarif resiprokal Amerika Serikat sendiri akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025.
Airlangga menjelaskan, pemerintah mencermati potensi dampak kebijakan tarif terhadap sektor industri padat karya berorientasi ekspor, seperti industri apparel dan alas kaki. Sektor-sektor ini dinilai rentan terhadap fluktuasi pasar global, sehingga pemerintah berkomitmen untuk memberikan dukungan melalui insentif yang tepat sasaran.
Selama ini Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor nonmigas Indonesia sebesar 10,60% dari total ekspor keseluruhan. Setelah adanya pengenaan tarif maka berpotensi mengalami penurunan yang signifikan.
Apalagi dari catatan Kementerian Perdagangan, Amerika Serikat adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024 lalu.
Kontribusinya mencapai US$16,08 miliar dari total surplus perdagangan migas sebesar US$31,04 miliar.
Dampak besarnya bagi Indonesia adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga melonjaknya tingkat kemiskinan.
Memicu Resesi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan, kenaikan tarif resiprokal Trump berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025. Sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil juga diperkirakan Bhima akan semakin terpuruk.
“Sebagian besar brand internasional di Indonesia punya pasar besar di AS. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah pemesanan ke Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif,” tambahnya.
Tercatat ekspor produk pakaian dan aksesoris (rajutan) Indonesia ke AS berkontribusi hingga US$2,4 miliar. Sedangkan, produk pakaian dan aksesoris (bukan rajutan) mencapai US$2,1 miliar.
Situasi akan tambah kurang baik bagi industri di Indonesia karena Permendag 8/2024 tentang impor belum juga direvisi. “Jadi ekspor sulit, sementara barang impor menekan pemain tekstil pakaian jadi di domestik,” jelas Bhima.
Sedangkan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut separuh produk tekstil Indonesia diekspor ke Amerika, sehingga tarif yang lebih tinggi itu akan memperlemah penetrasi produk Indonesia.
“Saat ini kondisi tekstil sedang berdarah-darah. Banyak industri yang sudah menutup pabriknya, menghentikan karyawannya, ada relokasi. Dengan tarif ini tentu semakin menekan tingkat penjualan dan juga profitabilitas industri ini,” ujar Faisal.
Tekstil Sulit
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyebut produk tekstil Indonesia saat ini sudah sulit ekspor, karenanya ia juga tambah khawatir Indonesia akan menjadi tujuan dari negara-negara yang kelebihan pasokan tekstil akibat perang tarif itu.
Padahal, pasar dalam negeri menjadi salah satu tumpuan industri tekstil Indonesia saat pasar dunia bergejolak.“Ini akan makin membuat Industri dan industri kecilmenengah dalam negeri tertekan,” kata Jemmy.
Dia pun berharap pemerintah segera membuat aturan nontariff barrier untuk membentengi Indonesia dan melindungi IKM dan industri TPT [tekstil dan produk tekstil] dari serbuan barang impor, terutama pakaian jadi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menjelaskan, penerapan tarif pada produk-produk ekspor Indonesia ke AS, akan berdampak secara langsung.
Tarif tersebut akan berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat secara signifikan, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan.
“Secara teori, dengan adanya penerapan tarif, maka akan terjadi trade diversion dari pasar yang berbiaya rendah ke pasar yang berbiaya tinggi. Sehingga akan berdampak pada biaya yang tinggi bagi pelaku ekspor untuk komoditas unggulan dan melambatnya produksi, dan lapangan pekerjaan,” ungkap Eisha.
Neraca Pembayaran
Dari sisi fiskal, kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang mencapai 32% terhadap produk Indonesia akan berdampak signifikan terhadap neraca pembayaran (Balance of Payments/ BoP) Indonesia, terutama dalam hal perdagangan dan investasi.
Bagi Indonesia, AS merupakan pemasok valuta asing terbesar, menyumbang surplus perdagangan sebesar US$ 16,8 miliar pada 2024. Perusahaan konsultan investasi Bahana Sekuritas mengungkapkan tarif tersebut juga berpengaruh terhadap fundamental jangka panjang rupiah.
Berdasarkan perhitungan Bahana Sekuritas, penetapan tarif dapat mengurangi surplus perdagangan bulanan Indonesia menjadi US$700-900 juta dari sekitar US$3 miliar saat ini.
Akibatnya, hal ini dapat memperluas defisit transaksi berjalan pada 2025 diproyeksikan menjadi 0,9% dari Produk Domestik Bruto/PDB (ada di bias atas kisaran target BI sebesar 0,5- 1,3%). Surplus yang menyempit juga akan berdampak kepada pasokan dolar di Tanah Air.
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah potensi tindakan pembalasan yang mungkin dilakukan oleh negara lain. Jika semakin banyak negara yang menerapkan tarif universal baru, hal ini akan berdampak pada ekspor Indonesia secara langsung atau tidak langsung melalui melemahnya permintaan global.
Hal ini semakin diperparah apabila harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara dan Crude Palm Oil/CPO mengalami penurunan. Kantor Ekonom Utama Bank Mandiri mengatakan, penurunan harga batu bara dan CPO dapat menekan pendapatan ekspor dan neraca perdagangan Indonesia,
yang pada gilirannya berpotensi memperlambat pertumbuhan PDB. Melemahnya permintaan terhadap tembaga dan nikel bisa berdampak pada investasi di sektor pertambangan.
Namun, kenaikan harga emas bisa menguntungkan produsen emas Indonesia. Tarif baru juga dapat memengaruhi aliran Foreign Direct Investment (FDI) global, dimana investasi asing akan berpindah kembali ke negara-negara maju.
Hal ini akan menguntungkan Australia, Eropa, dan Inggris yang memiliki tarif lebih rendah, karena FDI beralih dari pasar negara berkembang konvensional atau ASEAN yang memililiki tarif lebih tinggi.
Sementara Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang mengungkapkan kebijakan ini berpotensi memberikan kekhawatiran bagi perusahaanperusahaan Amerika yang kemungkinan akan mengurangi investasinya di Indonesia serta potensi melemahnya akibat ketidakpastian global di tengah penurunan pendapatan ekspor.