Kami berdua menduga – dan jujur saja menginginkan – Hillary Clinton yang akan menang melawan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat ke 45. Pilpres 8 November berlangsung ketat, namun pada akhirnya Donald Trump menang secara sistem electoral vote meski Hillary Clinton menang dengan selisih lebih dari 2 juta popular vote.
Tanggal 9 November kami meluncur ke Wall Street, pusat finansial global. Kami ingin melihat reaksi orang-orang atas kemenangan Trump di Pilpres sehari sebelumnya. Tak ada tanda-tanda signifikan, kecuali dalam sepekan dua pekan setelahnya saham di NYSE rontok serentak. Kami sempat khawatir. Namun pekan-pekan berikutnya indeks Dow Jones mengukir rekor-rekor baru kenaikan yang cukup besar. Pasar lebih menyukai Trump sebagai presiden Amerika yang baru.
Dengan cara bagaimana, serta logika apa, mayoritas rakyat Amerika memilih Trump? Selisih electoral vote Trump Vs Clinton 304 vs 207, itu selisih yang cukup besar. Sejarah mencatat saat Republikan memimpin Gedung Putih, ekonomi Amerika cenderung baik-baik saja bahkan tumbuh lumayan. Trump sendiri juga cenderung protektif terhadap kepentingan domestik Amerika.
Saat Trump berkuasa di periode pertama, tembok perbatasan Amerika – Meksiko dibangun, sebagai jawaban atas gelombang imigran gelap dari Amerika Latin melalui Meksiko. Trump pula yang menabuh genderang perang tarif melawan China, Kanada sekaligus Meksiko. Trump benar-benar pahlawan para pebisnis Amerika, besar dan kecil.
Tangkal Cina
Kebijakan pertahanan (militer) Amerika yang sempat loyo tanpa perkembangan berarti diperbaharui Trump, ini untuk menangkal dominasi Cina yang mulai menyamai kekuatan militer Amerika hanya dalam waktu yang relatif singkat. Di sisi ini, rakyat Amerika mulai memberikan approval bagi Trump yang dinilai mulai kelihatan berhasil ‘make America great again’ (MAGA).
Meski sebagian rakyat Amerika menganggap Trump lebih mirip badut sirkus dan jadi bahan olok-olok di seluruh dunia yang bikin malu rakyat Amerika, sejatinya Trump berhasil mengangkat kembali sentimentalisme bangsa Amerika yang pernah menguasi pengaruh global: ekonominya, militernya, ipteknya, pop-culture-nya, dan tentu saja tak kalah penting supremasi kualitas kampus-kampusnya yang jadi kiblat pendidikan bermutu skala global.
Itu periode pertama Trump, 2016 – 2020. Hari ini ceritanya sedikit berbeda, isu yang dibawa juga makin mengerucut ke beberapa hal saja.
Trump – sekali lagi – menang pilpres melawan kandidat seorang wanita. Setelah sebelumnya menang melawan Hillary Clinton, November lalu menang melawan Kamala Harris, petahana wapres Amerika. Tembok perbatasan dengan Meksiko akan dilanjutkan pembangunannya, perang tarif dengan Kanada dan China makin menggila, projek pertahanan akan kembali jadi prioritas, namun satu hal baru muncul: DOGE – Department of Government Efficiency.
Paham bahwa likuiditas dana pemerintah Federal terbatas, pilihan efisiensi menjadi pilihan logis. Trump seorang pebisnis, logika soal uang dan cara memainkan uang sudah pasti ia kuasai. Pun cara ia memilih orang-orang yang kelak akan menjadi pembantunya (menteri-menterinya) sudah mulai kelihatan tak biasa.
Orang terkaya di planet Bumi, Elon Musk yang menyumbang kampanyenya sebesar 277 juta dollar konon akan didapuk menjadi menteri yang memimpin DOGE. DOGE, entah kebetulan atau tidak, adalah nama mata uang kripto yang diciptakan oleh Musk, ‘Dogecoin’. Dogecoin ini adalah visi Elon Musk untuk memecahkan masalah krisis hutang Amerika.
Perketat Masuk AS
Hal lain adalah imigran global yang masuk ke Amerika untuk kuliah di kampus-kampus top Amerika. Ada persepsi bahwa Amerika memintarkan anak-anak muda dari seluruh dunia, namun tidak dapat mengambil manfaat darinya, bahkan anak-anak muda ini kembali ke negara mereka masing-masing dan menduplikasi Silicon Valley serta pusat-pusat keuangan global New York di negara atau tempat asal mereka: Shanghai, Shenzhen, Bangalore, Dubai, Guangzhou, Jakarta, Moscow, dll.
Ini menjadi perhatian Trump. Seperti sudah dijanjikannya di awal kampanye, Amerika akan stop atau setidaknya perketat aplikasi ijin studi warga negara non Amerika ke kampus-kampus di Amerika.
Tentu ini pukulan telak untuk kampus-kampus di Amerika yang selama ini mendulang dollar dari jutaan mahasiswa asing yang memilih kuliah di Amerika. Juga bagi sentra-sentra teknologi di Silicone Valley yang mengandalkan mahasiswa asing brilian yang begitu lulus langsung mereka rekrut (kadang dengan nilai remunerasi yang lebih rendah daripada warga negara Amerika).
Trump dan Amerika adalah paradoks MAGA (Make America Great Again) satu terhadap lainnya. Amerika menjadi besar karena kontribusi imigran-imigran cerdas, inovasi-inovasi di Amerika begitu masif karena ambisi imigran-imigran yang ingin membuktikan bahwa mereka layak berada dan menjadi bagian dari bangsa Amerika.
Dampak ke Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Secara bisnis, ekspor kita ke Amerika tidak terlalu memicu alarm tanda bahaya bagi Trump. Secara geopolitik kita mungkin akan dipandang serius, karena kita ekonomi terbesar di Asia Tenggara, anggota G20, non-blok, dan tidak memusuhi Amerika. Satu hal yang pasti, selama beberapa dekade dunia pendidikan kita sudah banyak belajar dari seluruh dunia, termasuk dari Amerika.
Bila pun kita tak bisa lagi mengirim anak-anak muda kita ke Amerika untuk kuliah (S1 s/d S3), kita sudah relatif paham bagaimana sistem pendidikan Amerika dijalankan. Kita mampu menduplikasinya.
Satu hal lain yang jadi catatan saya: kita – Indonesia – kehilangan momentum besar saat gelombang anak-anak muda dari seluruh dunia, terutama Cina dan India – pergi ke Amerika dan berkarir bahkan membangun bisnis di tanah Amerika, menjadi diaspora sekaligus agen-agen penghubung industri dan bisnis negara mereka dengan Amerika, justru anak-anak muda kita yang telah belajar dan berlatih di Amerika disuruh pulang, dan banyak yang tak bisa berkontribusi karena kita belum siap menerima ilmu baru mereka. Saat Cina dan India menciptakan global citizen di tanah Amerika, kita baru mewacanakannya.
Akhirnya kemenangan Trump membuka mata kita semua saat media-media global memberitakan bahwa para rektor kampus-kampus ternama Amerika meminta para mahasiswa asing mereka segera kembali dari liburan semester mereka ke Amerika sebelum Trump dilantik. Separah itukah?
Apapun itu, Trump hanya bisa memilih salah satu dari dua keadaan yang akan diperjuangkannya, seperti kata-kata Brené Brown – Profesor dari Universitas Houston – “As leaders you can choose courage or comfort, but you can’t have both.” Dan Trump memilih courage, demi Amerika kembali jaya.
Jakarta, 30 Desember 2024