Menurut Zulfan, 100 hari pertama lebih banyak diisi dengan penyusunan konsep dan penyempurnaan program.Oleh karena itu, evaluasi yang lebih konkret baru dapat dilakukan setelah 6 bulan pemerintahan berjalan. Bahkan, Presiden Prabowo sendiri telah meminta masyarakat untuk bersabar hingga 6 bulan pertama, karena langkah-langkah konkret akan mulai diterapkan.
Saat ini, tantangan utama yang dihadapi pemerintah adalah keterbatasan anggaran, termasuk pemotongan APBN sebesar Rp. 360 triliun yang berdampak pada alokasi anggaran kementerian dan lembaga negara. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membangun bangsa.
“Mudah-mudahan akan ada sumber anggaran baru yang dapat mendukung APBN,” katanya.
Pengaruh Jokowi
Meskipun tingkat kepuasan terhadap pemerintahan cukup tinggi, masih banyak pihak yang mengaitkannya dengan pengaruh Jokowi. Menurut Zulfan, pihak yang tidak menyukai Jokowi cenderung menilai Prabowo tidak independen dan masih berada dalam bayang- bayangnya. Padahal, dialog antara presiden dan mantan presiden dalam konteks kenegaraan adalah hal yang wajar.
“Prabowo sendiri merupakan mantan menteri di kabinet Jokowi, sehingga komunikasi di antara mereka sudah terjalin sejak lama,” katanya.
Ada pihak yang ingin merenggangkan hubungan Prabowo dan Jokowi, bahkan berupaya menciptakan perseteruan. Zulfan menyebut pandangan semacam itu sebagai pemikiran picik, karena yang dibutuhkan saat ini justru persatuan di antara para tokoh bangsa. Semua elite politik seharusnya bersatu dan duduk bersama demi kepentingan negara. Upaya mendekatkan kembali tokoh- tokoh seperti Megawati dan SBY pun harus terus diusahakan.
“Soal hubungan Prabowo dan Megawati, jika ingin bertemu, silakan saja. Tidak perlu dipermasalahkan. Begitu juga dengan Jokowi,” katanya.
Sudah Sangat Kuat
Dalam percaturan politik Indonesia saat ini, tiga tokoh utama yang menjadi sorotan adalah Prabowo, Jokowi, dan Megawati. Zulfan menyatakan jika Prabowo ingin bertemu dengan Megawati tanpa syarat, hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. Namun, banyak yang menyebutkan Megawati hanya akan menerima Prabowo jika ia memutuskan hubungannya dengan Jokowi.
Menurut Zulfan, hal tersebut sangat tidak mungkin dan tidak perlu ada syarat-syarat semacam itu. Secara politik, Prabowo sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan dukungan tujuh partai koalisi yang hampir menguasai 85% suara, Prabowo sudah sangat kuat.
Terkait dengan Jokowi, Zulfan menyebutkan PDI-P mungkin masih merasa marah atau kesal karena tidak mendukung Ganjar pada pemilu lalu. Namun, yang seharusnya diperhatikan adalah sikap PDI-P dan Megawati yang tidak menghargai Jokowi. Padahal, jika dilihat lebih jauh ke belakang, Jokowi sudah berkeinginan agar Prabowo menjadi presiden dengan Ganjar sebagai wakil presiden.
PDI-P merasa sebagai partai pemenang dengan survei Ganjar yang tinggi, sehingga menolak jika Ganjar harus menjadi wakil presiden. Hal ini mungkin mengabaikan kenyataan tingginya elektabilitas Ganjar dan kekuatan PDI-P tidak lepas dari dukungan besar yang diberikan oleh Jokowi.
Upaya Adu Domba
Zulfan mengomentari isu yang beredar mengenai kemungkinan Jokowi bergabung kembali dengan PDI-P. Menurutnya, tidak mungkin Jokowi mencari-cari kesempatan untuk menjadi ketua umum, apalagi setelah menjabat sebagai presiden selama dua periode. Bisa dipastikan, ia lebih memilih untuk memposisikan diri secara strategis tanpa terlibat dalam intrik politik.
Jika Jokowi memutuskan untuk membentuk partai baru, partai tersebut dapat berkembang pesat. Dengan tingkat kepuasan publik yang masih sangat tinggi, ia berpotensi meraih dukungan besar. Spekulasi tentang kembali ke PDI-P hanya dimanfaatkan untuk menciptakan situasi yang merugikan, salah satunya dengan memicu kebencian Megawati terhadapnya.
“Ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menciptakan ketegangan seperti itu. Tujuannya untuk memperburuk hubungan dan memperdalam kebencian Megawati terhadap Jokowi,” katanya.
Menurut Zulfan, isu ini tidak hanya berfokus pada upaya mengadu domba antara Prabowo dan Jokowi, tetapi juga antara Jokowi dan Megawati. Upaya menciptakan ketegangan ini jelas dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai Jokowi, baik di dalam maupun di luar PDI-P. Mereka memanfaatkan ketegangan ini untuk merusak citra Jokowi di mata publik.
Merangkul Semua
Sebenarnya, jika Prabowo bisa menyatukan segala potensi yang ada, baik yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk mantan-mantan presiden seperti Jokowi, Megawati, dan SBY, posisi Indonesia akan jauh lebih kuat. Kolaborasi antara berbagai pihak ini sangat penting dalam memperkuat peran Indonesia di dunia internasional.
Langkah-langkah seperti itu harus dilakukan, karena disayangkan ada pihak yang terus berusaha memecah belah elit bangsa. Namun, jangan khawatir, masih banyak yang berusaha menjaga agar para elit tetap bersatu. Perbedaan pasti ada, tetapi ada kesamaan yang bisa menjadi pengikat untuk mendorong berpikir bersama demi kemajuan bangsa.
Perpecahan pasti merugikan, dan Prabowo sangat menyadari hal ini. Membangun bangsa membutuhkan kebersamaan yang terus dipelihara. Sebagai contoh, dalam peristiwa 1998, terjadi ketegangan antara Prabowo dengan Wiranto, Agum Gumelar, serta beberapa senior lainnya, termasuk Luhut Panjaitan.
“Namun, pada akhirnya, semua tetap diajak untuk berkontribusi dalam pemerintahan, meskipun tidak selalu sebagai anggota kabinet, tetapi tetap dilibatkan dalam upaya memikirkan kepentingan bangsa dan negara,” katanya.
Kepercayaan Internasional
Harapan masyarakat internasional terhadap Indonesia, terutama Uni Eropa, cukup besar. Uni Eropa melihat Presiden Prabowo sebagai sosok yang dapat membawa Indonesia berkembang lebih jauh. Mereka siap mendukung program- program pemerintahan Indonesia, yang dinilai memiliki potensi besar. Saat ini, orientasi Indonesia lebih mengarah pada Eropa, Cina, dan Rusia, yang cenderung tidak mengintervensi urusan dalam negeri.
Namun, hubungan dengan Amerika tetap penting, meskipun negara ini sering menggunakan pendekatan yang dapat mengganggu stabilitas politik negara lain. Amerika, bersama Inggris, kerap terlibat dalam upaya memprovokasi ketegangan. Zulfan menilai langkah Presiden Prabowo melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia, India, Cina, dan Eropa sangat tepat.
Hubungan dengan Amerika dan negara lainnya tetap dijaga mengingat posisi strategis Indonesia yang dibutuhkan banyak pihak. Presiden Prabowo paham akan hal ini dan meskipun ada Menteri Luar Negeri, ia terlibat langsung dalam forum-forum strategis untuk memperkuat posisi Indonesia.
Dalam forum Developing Eight (D8), presiden menyatakan kekecewaannya melihat ketidakmampuan negara-negara Islam untuk bersatu dan justru terpecah belah. Menurutnya Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim harus mengambil peran lebih besar dalam kepemimpinan negara- negara Islam, serta di ASEAN dan dunia internasional.
Politik Cerdik
Indonesia juga perlu memainkan perannya dengan lebih cerdik dalam politik internasional, seperti yang dilakukan Pakistan terhadap Cina, yang berhasil meraih dukungan besar. Indonesia harus mampu membangun lobi-lobi yang efektif dengan negara-negara besar untuk memperkuat posisinya di dunia.
Meskipun Indonesia tidak selalu memiliki anggaran besar, strategi diplomasi yang tepat dapat membuka peluang besar, seperti yang terjadi di masa lalu. Salah satu contohnya adalah keberhasilan lobi Bung Karno dengan Uni Soviet, yang menghasilkan pembangunan Gelora Bung Karno serta perolehan 200 hektar lahan untuk mendirikan Krakatau Steel.
Zulfan berharap langkah serupa dapat diambil oleh Presiden Prabowo, dengan membangun lobi-lobi strategis dengan negara-negara besar seperti Cina, Rusia, dan Amerika.
“Saya percaya bahwa dengan pendekatan yang tegas dan cermat seperti ini, langkah-langkah internasional yang bisa diambil Presiden Prabowo dapat membawa hasil positif bagi Indonesia,” tambahnya.