Ketika itu, Hasto masih menjabat Kepala BKKBN, sehingga ia harus mengurus perizinan kepada Presiden, serta menyelesaikan berbagai persyaratan untuk mencalonkan diri. Persiapannya sangat singkat dan sederhana, karena calon wakil telah ditunjuk oleh partai dan PDI Perjuangan tidak berkoalisi dengan partai lain sehingga tidak ada dinamika yang rumit.
Keterbatasan waktu membuatnya tidak sempat melakukan pendekatan dengan partai atau calon wakil. Namun, menghadapi kompetitor yang kuat menjadi tantangan besar. Ada petahana yang telah menjabat 5 tahun, ada juga calon yang sudah 3 periode menjabat di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan menjalin hubungan kuat dengan organisasi masyarakat sehingga memiliki pengaruh besar di Yogyakarta.
Meski persiapan singkat dan tantangan berat, Hasto tetap antusias walaupun tidak sepenuhnya yakin dengan pencalonannya. Antusiasme ini memberinya energi positif, seperti saat ia diberi amanah sebagai Bupati Kulon Progo dan di BKKBN.
“Saya tidak ambisius, tetapi saya antusias dan berikhtiar semaksimal mungkin dengan nilai- nilai spiritual yang saya yakini,” ujarnya.
Kampanye Sampah
Hasto mengakui bahwa reputasinya sebagai dokter, dosen di UGM, Bupati Kulon Progo, dan Kepala BKKBN sangat membantu dalam mendapatkan dukungan dari masyarakat Yogyakarta. Mulai dari kalangan menengah ke atas yang mengenalnya lewat media sosial saat menjabat di Kulon Progo, teman-teman kampanye stunting dari BKKBN, serta pasien- pasien yang masih mengingatnya, terutama yang pernah melahirkan di bawah perawatannya. Semua ini berkontribusi dalam membuatnya dikenal luas oleh berbagai kalangan.
Dalam kampanyenya, Hasto menawarkan beberapa program unggulan untuk menarik dukungan masyarakat Yogyakarta. Fokus pertama ada pada masalah sampah dan kesehatan lingkungan, dengan menekankan pentingnya kebersihan kota dan pengelolaan sampah, yang sering dikeluhkan masyarakat.
Solusi yang ditawarkan adalah menjalin kerja sama dengan Kulon Progo, yang telah memiliki fasilitas insenerator yang masih kurang dimanfaatkan. Fasilitas ini memiliki kapasitas yang cukup untuk mengolah sampah dari kota lain, termasuk Yogyakarta.
Dengan mengirim sampah ke Kulon Progo, Yogyakarta dapat mengurangi masalah sampah yang berlimpah, sementara Kulon Progo mendapatkan pendapatan tambahan melalui retribusi.
“Ini kerja sama yang saling menguntungkan, simbiosis mutualisme,” kata Hasto.
Program Kesehatan
Hasto juga terinspirasi oleh sistem kesehatan primer di beberapa negara, di mana terdapat general practitioner (GP) atau dokter keluarga yang menguasai wilayah tertentu. Oleh karena itu, ia menciptakan gagasan “satu kampung satu tenaga kesehatan” untuk mengelola kesehatan keluarga, mengingat Yogyakarta termasuk aging population yang memiliki populasi lansia lebih dari 16%.
“Karena dokter masih terbatas, sehingga kami turunkan menjadi satu bidan atau perawat dalam satu kampung,” jelasnya.
Dalam konteks ini, kampung merujuk pada bagian dari kelurahan yang terdiri dari beberapa RW (Rukun Warga). Di kota yang padat seperti Yogyakarta, menggunakan unit kampung sebagai pembagian wilayah lebih efektif dibandingkan kelurahan, karena lebih memudahkan pendistribusian dan pengelolaan layanan kesehatan.
Pada program ini, petugas kesehatan akan mengurus bukan hanya balita dan ibu hamil, melainkan juga lansia, dengan pemeriksaan kesehatan rutin setiap 3 bulan secara gratis, mencakup pemeriksaan tekanan darah, gula darah, kolesterol, dan asam urat. Hal ini penting karena penyakit terbanyak di Yogyakarta adalah hipertensi dan diabetes.
Tenaga kesehatan yang diperlukan untuk program ini bisa menggunakan tenaga yang sudah ada (existing) atau melalui sistem kontrak. Pekerjaan akan ditawarkan dalam bentuk tugas spesifik, misalnya melakukan skrining lansia atau surveilans status kesehatan di suatu kampung. Petugas akan bekerja berdasarkan kontrak, bukan sebagai pegawai negeri tetap, sehingga lebih fleksibel dan efisien.
Mitra Perguruan Tinggi
Hasto ingin memanfaatkan status Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dengan program “one sister university”, di mana setiap kampung memiliki mitra dari satu perguruan tinggi atau program studi yang sesuai dengan tema perkembangan kampung tersebut. Tujuannya agar perguruan tinggi dapat membantu mengembangkan kawasan tersebut.
Jug mencanangkan konsep “one field one sister company” yang melibatkan perusahaan- perusahaan di Yogyakarta untuk mendampingi kampung-kampung, memberikan pelatihan kewirausahaan, dan membantu pembangunan kampung dengan teori yang tepat.
“Jadi perguruan tinggi bisa learning by doing di kampung-kampung itu,” ujarnya.
Dalam program ini, perusahaan yang bermitra dengan kampung tidak harus berlokasi di kampung tersebut. Kolaborasi dapat melibatkan berbagai pihak, termasuk yang berada di luar Yogyakarta, asalkan tujuannya adalah membangun kepentingan bersama.
Cita-cita besar Hasto adalah menjadikan Yogyakarta sebagai center of excellence dan center of referral, yakni pusat rujukan pelatihan dan workshop yang melibatkan para ahli yang ada di kota ini. Dengan fasilitas tersebut, Yogyakarta bisa menarik perhatian kepala daerah dan institusi dari seluruh Indonesia.
Pengembangan Pariwisata
Hasto menyadari bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Yogyakarta, yakni sekitar 80%. Untuk terus mengembangkan sektor ini, ia menekankan pentingnya tiga aspek utama dalam pariwisata, yaitu atraksi, amenity, dan akses atau transportasi.
Menurutnya, aksesibilitas dan fasilitas di Yogyakarta sudah cukup baik, dengan hotel yang memadai dan transportasi yang terjangkau, termasuk kemudahan akses ke bandara dan stasiun. Apalagi jalan tol yang menghubungkan Jogja hingga Prambanan akan segera dibuka. Namun, untuk menarik lebih banyak wisatawan, terutama mancanegara, yang masih perlu diperkuat adalah atraksi dan destinasi.
Yogyakarta perlu fokus pada pembangunan destinasi berbasis budaya dan heritage, seperti museum dan atraksi budaya yang khas. Hasto mengusulkan agar Yogyakarta bisa menciptakan tarian tradisional khas seperti Bali yang terkenal dengan Tari Kecak. Ia juga mendorong pengembangan destinasi baru yang berkaitan dengan sejarah, selain Keraton, Candi Prambanan, dan Candi Borobudur.
“Kini saatnya menciptakan destinasi baru untuk lebih mengangkat lagi kekayaan budaya dan sejarah Indonesia,” ujarnya.
Center of Excellence
Karena Yogyakarta tidak memiliki sumber daya alam melimpah, Hasto menyoroti potensi besar sumber daya manusia (SDM) sebagai kekuatan ekonomi kota ini. Ia berencana menjadikan Yogyakarta sebagai center of excellence, pusat pelatihan dan pengembangan keterampilan, terutama di bidang teknologi tinggi dan kedokteran, seperti yang dilakukan Singapura. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan pendapatan kota, tetapi juga mengembangkan potensi SDM yang ada.
Hasto juga mengamati sistem reseller dalam perdagangan, seperti Singapura yang menjadi reseller dengan mengekspor produk olahan seperti kacang mete dan brown sugar, yang bahan bakunya berasal dari negara lain. Dengan seleksi kualitas, pengemasan yang baik, dan standar yang konsisten, produk-produk tersebut dapat dijual dengan nilai lebih tinggi. Menurutnya, Yogyakarta perlu mengadopsi metode serupa, dengan memanfaatkan kecerdasan dalam tata niaga dan fokus pada pengembangan SDM untuk menciptakan peluang ekonomi.
“Kita harus mencontoh negara-negara yang juga hanya bergantung pada potensi SDM, agar bisa memajukan ekonomi Yogyakarta,” katanya.
Meskipun sibuk dengan tugasnya sebagai Walikota, Hasto tetap berkomitmen menjalankan profesinya sebagai dokter. Sebelumnya, saat menjabat sebagai Bupati Kulon Progo dan Kepala BKKBN, ia tetap menyempatkan diri untuk praktik medis. Maka setelah menjadi Walikota, ia berencana tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, meski dengan jadwal yang lebih fleksibel.
“Ibu saya berpesan untuk tetap memprioritaskan profesi sebagai dokter dan terus mengasah keterampilan medis agar tidak hilang,” ungkapnya. (*) Fatiha Asti Amalia