Walikota dan Wakil Walikota Bogor

Walikota Bogor – Bersiap Ketika Jakarta Tak Lagi Ibukota Negara

Share

Walikota Bogor Dedie A. Rachim memaparkan arah baru pembangunan Kota Bogor menyesuaikan dengan program pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Akan melakukan redefinisi peran Bogor dari kota penyangga menjadi simpul strategis pendidikan, budaya, dan inovasi.

Kota Bogor ke depan harus dipersiapkan dengan perencanaan jangka menengah yang sistematis dan arah pembangunan berbasis riset. Kota ini memiliki potensi untuk menjadi pusat aktivitas baru yang berkelas dan mandiri.

Dengan latar belakang sebagai tokoh antikorupsi dan pengalaman teknokratik, Dedie menegaskan komitmennya untuk menjadikan Bogor lebih tangguh secara ekonomi, inklusif secara sosial, dan adaptif terhadap perubahan nasional maupun global.

Memulai karier di sektor swasta, Dedie kemudian bergabung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (PK) 2005. Selama 13 tahun pengabdiannya, ia pernah menjabat sebagai Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, serta Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antarlembaga.

Pada 2018, ia menerima tawaran Bima Arya untuk maju sebagai Wakil Wali Kota Bogor. Pasangan ini memenangkan Pilkada, dan Dedie melanjutkan estafet kepemimpinan sebagai Wali Kota Bogor periode 2025–2030.

Masuk Politik
Ketika mulai menjabat sebagai Wakil Wali Kota Bogor pada 2019, langkah pertamanya adalah memperbaiki struktur insentif di tubuh birokrasi Pemkot. Tunjangan Kinerja (Tukin) menjadi salah satu instrumen utama yang ia dorong agar aparatur negara dapat bekerja tanpa tekanan kebutuhan finansial yang dapat memicu korupsi.

“Masuk ke pemerintahan dari latar belakang lembaga seperti KPK tidaklah mudah. Praktik di lapangan penuh dengan realitas yang berbeda. Di sinilah teori bertemu kenyataan,” tambahnya.

Ia menjelaskan bagaimana ia membawa nilai-nilai integritas dan reformasi birokrasi ke dalam praktik pemerintahan yang penuh kompromi. Selama berkarir di KPK, ia belajar banyak hal,

seperti membangun birokrasi yang bersih dan melayani, serta mendorong instansi di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk memiliki langkah konkret dalam mencegah dan memberantas korupsi.

Di KPK terdapat banyak tatanan ideal, tetapi kemudian begitu masuk di pemerintahan banyak hal – hal yang baru dan mungkin butuh terobosan-terobosan yang disebut sebagai reformasi birokrasi.

“Saya mengikuti proses pembangunan birokrasi yang arahnya untuk lebih bersih melayani dengan berbagai tantangan yang dihadapi,” ujarnya.

Pendekatan Sistemik
Kini, sebagai Wali Kota, Dedie mewarisi panggung yang sebelumnya ditempati Bima Arya, sosok populer yang dikenal hingga kini menjabat sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri.

“Tantangan saya bukan hanya melanjutkan, tetapi juga memastikan bahwa arah perubahan tetap progresif. Dengan pengalaman mendamp Pak Bima, saya cukup memahami ritme ekspektasi masyarakat Bogor,” ungkapnya.

Apalagi kini memimpin sebuah kota yang menjadi halaman depan Istana Presiden, ia sadar bahwa setiap kebijakan, bahkan kegagalan teknis, tidak hanya diamati publik lokal tetapi juga pemerintah pusat. Ia membawa pendekatan yang lebih sistemik dan teknokratik.

Ia tidak mengejar popularitas, melainkan konsistensi dalam tata kelola. Prioritasnya adalah perbaikan struktural, bukan sekadar kebijakan populis jangka pendek.

Transparansi dan akuntabilitas bukanlah sekadar jargon, melainkan mekanisme kerja yang harus dibangun dari dalam sistem. Kita harus terus memperkuat kontrol internal, bukan menunggu kontrol eksternal.

“Saya tidak mengejar jabatan. Tetapi ketika tanggung jawab datang, saya harus menjawabnya dengan kerja,” tegasnya.

Ukuran Keberhasilan
Berbicara tentang tantangan dan keberhasilan seorang Walikota Bogor, yang memimpin kota penyangga ibu kota negara sekaligus menjadi tempat tinggal Presiden selama satu dekade terakhir, dapat dikatakan bahwa beban yang diemban tidak hanya bersifat administratif tetapi juga simbolik.

Kota Bogor telah del kali meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam tata kelola keuangan. Namun, terdapat indikator lain yang menunjukkan bahwa sebuah instansi bersih, salah satunya adalah tidak adanya kasus hukum, baik administratif maupun temuan yang bersifat pidana.

Ia menjelaskan bahwa Monitoring Center for Prevention (MCP) dari KPK menjadi tolok ukur penting karena berbasis tata kelola berbasis bukti. Dari situ, ritme reformasi birokrasi tetap dijaga agar berjalan di tengah rutinitas pemerintahan yang sering kali penuh negosiasi.

Dedie mengakui bahwa ekspektasi masyarakat meningkat drastis akibat tingginya eksposur pemimpin sebelumnya dan posisi strategis Kota Bogor yang terus disorot pusat kekuasaan. Namun, ia menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk menyempurnakan capaian, bukan untuk menyaingi gaya.

Visi Kota Riset
Ketika Ibu Kota Negara (IKN) resmi dipindahkan ke Kalimantan, menurut Dedie, posisi strategis Kota Bogor pun berubah. Dari kota penyangga pusat pemerintahan nasional, kini Bogor harus mendefinisikan ulang dirinya.

Dengan luas wilayah hanya 111 km² yang terdiri dari enam kecamatan dan tanpa banyak objek wisata alami seperti kabupaten, Bogor memiliki keunggulan berupa konsentrasi lembaga riset dan pendidikan tinggi.

“Itulah yang saya dorong menjadi identitas baru, Kota Riset Berkelanjutan,” katanya.

Menjadikan kota dengan kekhususan memanfaatkan keberadaan perguruan tinggi serta lembaga-lembaga riset tersebut sebagai potensi ekonomi Kota Bogor di masa depan.

Mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan postur APBD Kota Bogor, Dedie menyatakan bahwa Bogor hanya mengandalkan PB1 (Pajak Hotel, Restoran, Hiburan, dan Parkir), dan itu menuntut strategi yang kreatif dan konsisten. PPn, PPh, dan pajak bahan bakar semua ke pusat.

Kota hanya dapat dari sektor jasa dan kunjungan. “Kami dorong even, destinasi edukatif, dan suasana kota yang bersih, cantik, dan layak tinggal sebagai modal untuk menarik arus wisatawan,” tegasnya.

Pariwisata
Dedie menyadari bahwa dalam iklim ekonomi pasca-pandemi dan realokasi fiskal akibat IKN, kemandirian fiskal Kota Bogor tidak akan berasal dari industri berat, melainkan dari sektor pariwisata, riset, dan jasa berbasis kebudayaan. “Kita tidak punya laut, bukan pusat industri, dan bukan kawasan wisata besar. Namun, kita memiliki modal intelektual, pusat riset, museum, serta lembaga pendidikan. Inilah yang harus diolah menjadi nilai tambah,” katanyaIa menjelaskan bahwa selama ini, posisi strategis Bogor didukung oleh kedekatan geografis dengan Jakarta dan keberadaan Presiden. Namun, ke depan, dengan bergesernya pusat pemerintahan, daerah harus memiliki pijakan sendiri. “Jika tidak, kita hanya akan menjadi bayangan masa lalu,” jelasnya.

 

Dengan luas wilayah sekitar 111 km², terdiri dari enam kecamatan dan 68 kelurahan, Dedie menolak pendekatan pembangunan artifisial. Ia lebih memilih pendekatan realistis dengan memaksimalkan potensi yang benar-benar dimiliki daerah.

 

Layak Dikunjungi Dedie menegaskan bahwa Kota Bogor tidak bisa bergantung pada fiskal atau berharap dari dana pusat semata. Oleh karena itu, menciptakan atmosfer kota yang layak dikunjungi dan nyaman untuk ditinggali menjadi strategi utama. “Kota ini harus menjadi tempat yang ingin dikunjungi, bukan sekadar dilalui,” ujarnya.

 

Dedie menambahkan bahwa kunci penguatan sektor ini tidak hanya terletak pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada ekos budaya yang dirawat secara konsisten. Dengan kata lain, Bogor diarahkan untuk bersaing bukan dalam volume, tetapi dalam kualitas pengalaman. “Kita tidak mengejar menjadi kota megapolitan. Kita ingin menjadi kota yang dirindukan, tempat orang datang bukan karena kewajiban, tetapi karena keinginan. Itu lebih berkelanjutan,” katanya.

 

Salah satu program konkret yang ia dorong adalah kolaborasi aktif antara pemerintah kota, lembaga riset nasional, perguruan tinggi, dan komunitas. Dedie melihat peran negara dapat hadir bukan hanya dalam bentuk pabrik atau jalan tol, tetapi juga dalam bentuk ekosistem pengetahuan yang menghidupi ekonomi lokal

“Kota riset bukan berarti kota yang penuh laboratorium, tapi kota yang mendukung tumbuhnya pemikiran, inovasi, dan pelibatan masyarakat dalam produksi pengetahuan,” jelasnya

Dampak Komunikasi Publik KDM Banyak Solusi Secara Kolektif

Dedie menegaskan, posisi Bogor harus diperkuat dengan diferensiasi strategis, bukan meniru Jakarta atau menyaingi daerah lain. Inilah yang ia sebut sebagai upaya memindahkan keunggulan dari fisik ke substansi

Salah satu aspek yang sering terlewat dalam narasi besar pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan adalah dampaknya terhadap kota-kota penyangga Jakarta. Bogor, sebagai kota dengan ketergantungan tinggi pada aktivitas kementerian dan lembaga pusat, kini dihadapkan pada realitas berkurangnya pergerakan ekonomi administratif.

Dedie tidak menutup-nutupi kenyataan ini. Ia mengungkapkan bahkan sebelum IKN sepenuhnya beroperasi, efisiensi belanja negara dalam beberapa bulan terakhir telah menurunkan tingkat okupansi hotel-hotel di Bogor secara signifikan.

“Hotel-hotel dulu dipenuhi oleh kegiatan pusat seperti pelatihan, bimbingan teknis seminar, hingga rap antar-kementerian. Ketika efisiensi berjalan, tingkat okupansi langsung merosot ke 22%. Sekarang pun baru naik ke sekitar 50%. Ini peringatan,” jelasnya.

Fenomena ini, menurut Dedie, hanyalah gambaran kecil dari masa depan jika tidak diantisipasi. Ia menegaskan bahwa tanpa langkah taktis, Bogor dapat fungsi ekonominya yang selama ini mendukung sektor jasa dan perhotelan

Dedie tidak terjebak pada romantisme masa lalu. Ia menjabarkan strategi konkret sebagai dasar untuk menyeimbangkan ekonomi kota. Strategi tersebut meliputi pembangunan destinasi wisata baru untuk menarik minat domestik,

memperkuat sinergi dengan lembaga riset perguruan tinggi untuk menciptakan acara ilmiah dan edukatif, serta melakukan penataan kawasan Kebun Raya dan Istana Bogor. Upaya ini termasuk penyediaan pasar tematik, penataan akses parkir serta integrasi wisata sejarah dan budaya.

“Kebun Raya dan Istana adalah aset yang tidak tergantikan, tapi kita harus kemas ulang agar relevan bagi generasi sekarang. Infrastruktur pendukung dan pengalaman pengunjung harus kita naikkan kelasnya, ” terangnya.

Memaksimalkan Peran IPB
Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki sejarah lahir, tumbuh, dan berkembang di Kota Bogor. Namun, saat ini rektoratnya berada di Kabupaten Bogor. Mipun kampus utama IPB kini terletak di Kabupaten,

Dedie tetap aktif membangun kerja sama. Dedie mencontohkan kegiatan bersama IPB seperti penyelenggaraan simposium, seminar, pameran, diskusi, serta konferensi nasional dan internasional.

Masalah kemacetan lalu lintas, banjir, dan sampah juga menjadi tant di Kota Bogor. Sebagai bagian dari aglomerasi Jabodetabek, Bogor menghadapi tekanan lalu lintas yang tinggi. Dedie menyampaikan integrasi transportasi menjadi prioritas, termasuk pengembangan konektiv Light Rail Transit (LRT) ke Bogor hingga tahun 2030.

“Lebih dari 95.000 orang setiap hari menggunakan Commuter Line dari Bogor ke Jakarta. Ditambah lagi 400.000 kendaraan melintasi Jagorawi. Oleh karena itu, diperlukan studi menyeluruh dan kebijakan terintegrasi antara kota, kabupaten, dan provinsi dalam merancang sistem mobilitas dan pemukiman yang adaptif,” katanya.

Dampak KDM
Dedie juga menyinggung warisanemimpinan Bima Arya, rekan duetnya selama menjabat sebagai Wakil Wali Kota pada periode sebelumnya. Ia menyebutaborasi yang solid sebagai modal awal yang sangat berharga dalam membangun tata kelola pemerintahan yang responsif dan efisien.

“Ini bukan hanya tentang chemistry, tapi soal kesadaran peran. Dan itu saya bawa sekarang bersama Pak Zainal Mutak, Wakil Wali Kota saat ini,” ujarnya.

Menurut Dedie, warisan terbesar dari Bima Arya adalah model kepeminan kolaboratif yang bisa diadaptasi oleh siapa pun penerusnya. “Ketika ada kekomp dan pembagian kerja yang jelas, energi tidak habis untuk kompetisi internal” tambahnya.

Dalam konteks provinsi, Dedie melihat kehadiran Dedi Mulyadi (KDM) Gubernur Jawa Barat sebagai peluang baru untuk sinkronisasi program antar-daerah. Ia menilai pendekatan kolektif yang dilakukan oleh Gubernur dapat mempercepat penyelesaian isu-isu Struktural yang selama ini tersebar dan terpecah dalam skala kota/kabupaten.

“Dengan keberadaan beliau, ada solusi-solusi yang sifatnya kolektif yang dapat dijadikan pemikiran bersama, dijadikan landasan bersama,” jelas Didie.

Wali Kota Bogor ini mengapresiasi kemampuan KDM dalam berkomunikasi kepada publik dan berharap hal tersebut dapat menjawab kebutuhan masyarakat, termasuk memenuhi ekspektasi mereka. Ia akan mengimplementasikan langkah-langkah kurang lebih sejalan dan dapat dilaksanakan secara beriringan.

“Kang Dedi memiliki pendekatan solutif yang lintas-batas. Jadi, kami di daerah tidak lagi menyelesaikan masalah secara parsial. Ada kerangka bersama,” tambahnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait