Dalam konteks Indonesia, gelombang demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 menjadi refleksi kritis terhadap kualitas demokrasi saat ini, terutama terkait pembatasan akses informasi dan kebebasan pers.
Selama demonstrasi di berbagai kota besar, muncul tiga fenomena yang saling berkaitan dan menjadi indikator kondisi demokrasi: pertama, penutupan fitur live streaming di TikTok;
kedua, pembatasan media massa dalam meliput aksi; ketiga, kekerasan fisik terhadap jurnalis saat meliput. Ketiga fenomena ini menunjukkan adanya tekanan pada ruang publik demokratis yang seharusnya bebas, terbuka, dan inklusif.
Kontrol kebebasan Berkspresi
Platform Media sosial seperti TikTok telah menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan aspirasi politik secara real-time. Dalam teori demokrasi digital Zizi Papacharissi (2010),
media digital memungkinkan partisipasi politik yang lebih luas, memberi warga kesempatan mengorganisasi diri, berbagi informasi, dan berkontribusi pada diskursus publik tanpa filter birokrasi media tradisional.
Fitur live streaming memungkinkan masyarakat menyaksikan langsung situasi dari lapangan, menghadirkan kondisi nyata yang sering tidak terjangkau media mainstream.
Namun, penutupan fitur live TikTok selama demonstrasi memunculkan perdebatan serius. Langkah ini disebut-sebut bertujuan mencegah penyebaran konten yang dapat memicu konflik atau kekerasan.
Meski begitu, kebijakan ini berpotensi menjadi bentuk sensor terselubung yang membatasi kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi faktual. Hal ini sejalan dengan konsep ruang publik Habermas (1989), yang menekankan pentingnya ruang dialog bebas sebagai dasar demokrasi.
Ketika ruang digital yang seharusnya menjadi ekstensi ruang publik ini dikendalikan oleh algoritma atau kebijakan korporasi yang tidak transparan, maka ruang dialog yang ideal pun menyempit.
Penutupan fitur live Streaming dapat dipandang sebagai bentuk pembatasan partisipasi politik yang mereduksi kualitas demokrasi deliberatif, di mana masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi secara langsung dan melakukan kontrol sosial atas kekuasaan.
Fungsi “Watchdog”
Selain pembatasan di ranah digital, media massa yang meliput demonstrasi juga mengalami pembatasan. Pembatasan liputan media sering dilakukan melalui sensor, intimidasi, atau regulasi ketat yang menghambat kebebasan pers.Media memiliki peran penting sebagai pengawas kekuasaan.
Konsep “watchdog” dalam teori demokrasi deliberatif (Dryzek, 2000) memungkinkan masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap untuk membuat keputusan politik yang rasional.
Pembatasan media dapat mempersempit ruang diskusi politik dan berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Ketika media tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan secara optimal,
masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang berimbang dan kritis, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi pemerintah dan menghambat akuntabilitas sosial.
Menurut Levitsky dan Ziblatt (2018), pembatasan media merupakan bagian dari proses retraksi demokrasi, yaitu pelemahan institusi demokrasi melalui pembatasan kebebasan sipil dan hak politik.
Dalam konteks Indonesia saat ini, pembatasan liputan media massa dalam demonstrasi mencerminkan kebebasan pers dan berekspresi yang berada di bawah tekanan.
Kekerasan terhadap Jurnalis
Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang meliput demonstrasi menambah dimensi serius dalam krisis demokrasi. Kekerasan fisik, intimidasi, dan perampasan alat kerja jurnalis adalah pelanggaran hak asasi manusia sekaligus hambatan bagi fungsi pers sebagai pilar demokrasi deliberatif (Dryzek, 2000).
Kebebasan pers memungkinkan pertukaran informasi yang bebas, kritis, dan transparan, yang esensial bagi pembentukan opini publik yang matang. Ancaman kekerasan terhadap jurnalis menciptakan hambatan struktural dalam pelaksanaan tugas jurnalistik, berpotensi memunculkan self-censorship.
Hal ini dapat melemahkan kontrol sosial terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan mengurangi partisipasi publik dalam demokrasi. Kondisi ini perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Transformasi demokrasi di era digital menjadi tantangan penting. Menurut Manuel Castells (2009), komunikasi digital adalah infrastruktur utama bagi jaringan sosial-politik modern.
Namun, pembatasan ruang digital melalui regulasi yang tidak proporsional atau kebijakan korporasi tanpa akuntabilitas dapat mengurangi ruang untuk partisipasi politik.
Fenomena seperti penutupan fitur live TikTok, pembatasan media, dan kekerasan terhadap jurnalis mencerminkan risiko erosi ruang publik demokratis di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan seimbang yang menjaga ketertiban sosial sekaligus menjamin kebebasan sipil. Negara harus memperkuat perlindungan hukum dan fisik bagi jurnalis serta memastikan platform digital beroperasi dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi.
Masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi media juga perlu aktif mengadvokasi kebebasan pers dan ruang digital yang terbuka demi menjaga kualitas demokrasi. Demokrasi akan tumbuh sehat dan bermanfaat bagi semua warga negara hanya jika ruang publik tetap inklusif dan terbuka.
Demokrasi bukan hanya soal Pemilu, tetapi juga hidup melalui arus informasi, pandangan yang beragam, dan keberanian untuk merekam dan menyuarakan kebenaran. Saat ruang digital dan fisik itu hilang, demokrasi tenang akan terpatah dalam diam.
***