Tamsil Linrung

SD Langsung Kelas Empat, Mahasiswa kena Skorsing, Hingga Karir Politik – Tamsil Linrung [02]

Share

Tamsil Linrung lahir dari rahim seorang pendidik dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mendedikasikan diri pada dunia pendidikan. Kedua orang tua serta saudara- saudaranya berprofesi sebagai guru.

Kecintaan mereka terhadap profesi mulia itu begitu kuat, sehingga semangat untuk mengajar dan mendidik menjadi warisan yang hidup dalam keluarga. Menjadi pendidik bukan sekedar profesi, melainkan sebuah panggilan hati. 

Sejak usia dini, ia sudah terbiasa menerima pendidikan langsung dari rumah. Orang tua dan kakak-kakaknya secara bergiliran mengajarinya, dan buku-buku pelajaran yang mereka bawa pulang menjadi bacaan hariannya. Tak mengherankan, sejak kecil ia sangat antusias untuk bersekolah. Saat pertama kali masuk Sekolah Dasar, ia langsung mengikuti program akselerasi dan ditempatkan di kelas empat.

Selain sebagai guru, ayahnya juga berprofesi sebagai Juru Tulis di Kerajaan Segeri, dan kerap mengajaknya ke kerajaan setiap akhir pekan untuk bekerja. Momen-momen itu menjadi kenangan indah, saat ia duduk di depan sepeda yang dikayuh sambil mendengarkan kisah-kisah kehidupan yang penuh makna dan nasihat.

Pada suatu kesempatan, Raja Segeri pernah berpesan kepada sang ayah agar menjaga anaknya ini dengan baik, karena yakin kelak akan menjadi seseorang yang penting di masa depan. Kini, Tamsil memahami bahwa pesan itu merupakan doa dan motivasi yang harus diwujudkan melalui kerja keras dan dedikasi.

“Saya percaya, kesuksesan adalah hasil dari kerja keras yang terus-menerus dan sikap pantang menyerah,” ujarnya.

Kena Skorsing

Tamsil memulai pendidikan dasarnya di Kabupaten Pangkep, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, sebelum akhirnya kuliah di Universitas Negeri Makassar, yang sebelumnya dikenal sebagai IKIP Ujung Pandang. Sejak kecil hingga remaja, tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan dan kepedulian sosial, yang membentuk tekadnya untuk terus mengembangkan diri, baik secara intelektual maupun spiritual.

Semangat tersebut mendorongnya untuk aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Senat, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), hingga akhirnya menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi- organisasi ini memberikan wadah yang sangat berarti bagi Tamsil dalam mengasah kemampuan kepemimpinan dan memperluas pandangannya.

“Situasi sosial dan politik pada masa itu, yang merupakan puncak kekuasaan Orde Baru, juga turut memengaruhi langkah saya sebagai aktivis,” katanya.

Namun, peranannya sebagai aktivis tidak selalu berjalan mulus. Salah satu momen yang berkesan, saat ia mendapatkan sanksi skorsing dari kampus karena keterlibatannya dalam berbagai aksi demonstrasi dan kegiatan penulisan kritis. Pada saat itu, ia juga memimpin sebuah majalah kampus yang dikenal tajam dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan rektorat.

“Pada akhirnya, ketika menjalani masa skorsing itu, saya memilih untuk ke Jakarta,” kenangnya.

 

Bertemu Mentor

Di Jakarta, awalnya Tamsil hanya berniat mengikuti pelatihan di Pusat Pendidikan Kilat (Pusdiklat) HMI. Namun, melalui rekomendasi Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI), ia kemudian bertemu dengan Mohammad Natsir, Perdana Menteri pertama Indonesia sekaligus Pimpinan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Pertemuan ini menjadi titik balik yang sangat berarti dalam perjalanannya.

Tamsil kemudian diajak bergabung dalam diskusi-diskusi rutin yang diselenggarakan oleh kelompok Petisi 50, sebuah forum yang dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Ia pun rutin mendampingi Mohammad Natsir dalam berbagai pertemuan, termasuk diskusi yang berlangsung di kediaman tokoh nasional Ali Sadikin.

Komunikasi dengan Mohammad Natsir pun semakin intens, terlebih setelah terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI MPO. Kepercayaan tersebut membuka banyak peluang untuk berinteraksi dengan sejumlah tokoh penting, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika Mohammad Natsir secara langsung meminta Tamsil bertemu dengan Anwar Ibrahim, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Malaysia sekaligus Sekretaris Jenderal Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), dan kini menjadi Perdana Menteri Malaysia.

“Saya cukup akrab dengan beliau. Setiap kali berkunjung ke Malaysia, saya biasa menyempatkan diri mampir ke kediamannya. Bahkan, menjelang pelantikannya sebagai Perdana Menteri, saya sempat bertemu langsung di rumahnya,” ujar Tamsil.

Episentrum Intelektual

Di tengah perjuangannya sebagai aktivis, Tamsil sempat kembali ke kampus asalnya. Namun, karena dianggap terlambat, masa skorsing yang sebelumnya dijatuhkan kembali diperpanjang. Situasi tersebut mendorongnya untuk melanjutkan studi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Sulawesi Selatan. Di sana, seluruh nilai akademiknya dikompilasi dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan. Ia pun resmi menyelesaikan pendidikan dan memperoleh ijazah dari UMI.

Keterlibatannya di DDII juga mempertemukannya dengan Ir. A.M. Lutfi, salah satu tokoh di Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua ICMI DKI Jakarta. Melalui jaringan tersebut, Tamsil mulai aktif di ICMI dan dipercaya mengoordinasikan bidang Pengembangan Satuan di Jakarta.

Aktivitas di ICMI menjadi medium penting untuk mengonsolidasikan kekuatan umat dan menjadi bagian dari episentrum intelektual Islam. ICMI dinilai sangat relevan dengan nilai-nilai perjuangan yang dipegang, serta menjadi ruang untuk mengembangkan gagasan- gagasan kritis mengenai dinamika masyarakat dan umat Islam.

Di ICMI pula terjalin kedekatan dengan B.J. Habibie. Keaktifan dalam kepengurusan dan berbagai kegiatan organisasi mempererat hubungan dengan tokoh bangsa tersebut, sekaligus memperkaya pengalaman dan wawasan dalam bidang kepemimpinan serta kebangsaan.

Selain itu, Tamsil juga bergabung di Yayasan Abdi Bangsa, sebuah lembaga yang berfokus pada program pemberdayaan dan pendidikan. Kegiatannya bergerak di bidang pendidikan moral dan pengembangan karakter, dengan penekanan pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

“Di sini, minat dalam dunia pendidikan semakin menemukan ruang untuk aktualisasi diri,” ungkapnya.

 

Kasus Manila Gate Buka Karier Politik

 

Pada tahun 1998, saat Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan, Tamsil diminta langsung oleh pendiri sekaligus Ketua Umum PAN, Amien Rais, untuk menjabat sebagai Bendahara Umum. Pada saat itu, Tamsil melihat PAN sebagai rumah bagi para aktivis reformasi.

Saya pertama kali bertemu dengan Pak Amien Rais juga di lingkungan DDII, dan ini menjadi titik awal kiprah saya di panggung politik nasional,” katanya.

Perjalanan politik Tamsil penuh dengan dinamika, salah satunya terjadi saat ia berada di Filipina. Pada saat itu, seseorang memasukkan barang ke dalam tasnya. Awalnya, menduga barang tersebut adalah narkoba, namun ternyata itu adalah C4, bahan peledak. Di pengadilan, Tamsil berhasil membuktikan siapa yang memasukkan barang tersebut, dan hakim memutuskan bahwa ia tidak bersalah setelah memeriksa bukti rekaman CCTV.

“Tulisan tentang perjalanan itu saya muat dalam buku berjudul Manila Gate,” ungkapnya.

Namun, citra Tamsil waktu itu sudah terlanjur tercemar di Indonesia, bahkan di partainya sendiri. Teman-temannya di PAN tidak membelanya. Justru orang-orang di luar PAN, seperti Taufik Kiemas dan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Sudi Silalahi, yang membela Tamsil dan langsung meneleponnya, memastikan bahwa mereka tidak akan membiarkannya, karena memang tidak bersalah.

Tamsil merasa terkejut karena banyak teman di PAN yang mempercayai informasi yang beredar, yang menyebutkan, ia membawa bahan peledak untuk diledakkan di Poso, Sulawesi Selatan. Menurutnya, membawa bahan peledak ke Filipina untuk keperluan di Poso jelas tidak masuk akal.

Ia kemudian mengetahui bahwa kejadian tersebut terkait dengan dinamika politik di Indonesia, di mana yang menjadi target sebenarnya bukan dirinya, melainkan perseteruan antara Amien Rais dan pihak lain. Di Filipina, polisi setempat memperlakukan Tamsil dengan baik karena mereka paham bahwa ia tidak bersalah. Meskipun sempat ditahan di markas besar polisi, ia tetap dikawal saat keluar untuk makan dan melakukan aktivitas lainnya. Proses hukum berlangsung selama sekitar satu bulan.

“Saya di Filipina selama 36 hari, dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari PAN. Saya aktif di partai itu hingga tahun 2003,” kenangnya.

Platform Perjuangan

Selanjutnya, teman-teman yang sebelumnya mendirikan Partai Keadilan (PK), kemudian berganti nama menjadi PKS, mengajak Tamsil untuk bergabung. Melihat kesesuaian nilai, visi, dan misi yang diyakini, Tamsil memutuskan untuk bergabung dengan PKS.

“Bagi saya, PKS bukan sekadar kendaraan politik, tetapi lebih kepada kesesuaian visi, misi, nilai, dan platform perjuangan,” katanya

Menjadi anggota DPR RI selama tiga periode sejak 2004 melalui PKS, Tamsil merasa sangat bersyukur atas kepercayaan yang diberikan oleh rakyat, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan.

Masa pengabdiannya di parlemen diwarnai oleh dinamika dan pembelajaran yang berharga, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan, maupun penganggaran. Ia juga pernah dipercaya menjabat sebagai pimpinan Badan Anggaran dan pimpinan Komisi VII DPR RI.

Setelah tiga periode di DPR RI, Tamsil merasa sudah waktunya untuk berlabuh di ruang pengabdian yang baru. Ada dua alasan mendasar yang mendorongnya memilih berkiprah di DPD RI. Pertama, ingin mendorong terjadinya regenerasi dalam dunia politik. Ia berharap terjadi mobilitas vertikal, di mana generasi baru bisa menggantikan peran yang selama ini ia emban. Menurutnya, proses ini penting untuk memastikan adanya penyegaran dan memberikan ruang yang lebih luas bagi kader muda untuk tampil dan berkontribusi.

“Saya ingin supaya, terutama di daerah pemilihan saya, muncul kader-kader baru. Kalau saya masih tetap di situ, peluang mereka untuk terpilih akan lebih berat,” katanya.

Alasan kedua adalah keinginannya untuk memperkuat peran DPD RI. Tamsil melihat bahwa lembaga ini memiliki potensi besar untuk menjadi lebih berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan daerah secara lebih substansial dan strategis di tingkat nasional.

Politik Kemanusiaan

Tamsil tampil di panggung politik dengan mengusung gagasan besar politik untuk kemanusiaan. Baginya, ini bukan sekadar semboyan. Politik bukan hanya alat untuk meraih kekuasaan, tetapi juga merupakan jalan untuk melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Tagline tersebut merupakan refleksi dari perjalanan panjang yang ia tempuh sejak aktif di dunia pergerakan. 

Dari jalanan hingga ruang diskusi, prinsip ini mengakar kuat, terbentuk oleh akumulasi pergulatan dengan nilai-nilai keadilan dan keberpihakan. Pernah dijuluki sebagai maestro Badan Anggaran karena kemampuannya dalam memformulasi fiskal yang pro rakyat dan berkeadilan.

Tamsil telah menjadi anggota DPD RI periode 2019-2024. Kini, kembali terpilih dan menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI periode 2024-2029. Berkomitmen untuk memberikan pengabdian terbaik serta memperkuat DPD RI sebagai lembaga yang terhormat dan menjadi saluran aspirasi yang efektif bagi masyarakat di daerah.

“Visi saya bagaimana DPD bisa diperkuat agar menjadi saluran yang efektif untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah,’’ jelasnya.

Persiapkan Kader Muda Cegah Politik Pragmatis

 

Di bidang politik, Tamsil ingin muncul elite politik muda yang mengisi panggung perpolitikan. Untuk itu, ia fokus pada pengkaderan anak-anak muda melalui dua inisiatif, yaitu Sekolah Politik dan Sekolah Legislatif.

 

Melalui kedua sekolah ini, diharapkan muncul kader-kader baru yang siap menjadi aktivis politik dan mewarnai dinamika perpolitikan Indonesia.

Tamsil menyoroti persepsi yang berkembang di kalangan anak muda bahwa politik itu kotor, sehingga banyak yang cenderung menjauh. Dengan dua sekolah ini, diharapkan stigma tersebut bisa diubah, dan anak-anak muda dapat lebih dekat dengan dunia politik, sehingga elite politik masa depan dapat berasal dari kalangan generasi muda.

Sekolah Legislatif berfokus pada persiapan aktor politik, sementara Sekolah Politik berperan dalam pelembagaan tanggung jawab edukasi politik kepada masyarakat. Politik dirancang sebagai gerakan komprehensif dan simultan, yang tidak hanya mencetak kader, tetapi juga membangun basis yang kokoh di masyarakat.

Hingga saat ini, ribuan alumni telah berhasil menduduki kursi di DPRD tingkat kabupaten/kota, provinsi, bahkan ada yang di tingkat nasional. Meskipun dunia politik semakin pragmatis, masih ada anak muda yang terpilih tanpa mengandalkan biaya besar seperti yang selama ini dipersepsikan. 

Misalnya, seorang alumni yang dulu menjual parfum dan membersihkan kantor Dewan Dakwah, kini terpilih menjadi Bupati di Sambas. Kemenangan itu diraih melalui kerja sosial dan keterlibatan aktif di masyarakat.

Yayasan Tali Foundation

Tamsil aktif mengembangkan jaringan sekolah untuk mendukung upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Meskipun ada dampak bisnis, fokus utama dari sekolah- sekolah ini lebih pada aspek sosial yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

Yayasan Tali Foundation, yang namanya berasal dari singkatan Tamsil Linrung, didirikan dengan tujuan untuk memastikan tidak ada anak muda yang putus sekolah karena masalah biaya. Yayasan ini berupaya mendekatkan berbagai sumber pembiayaan pendidikan, seperti beasiswa, kepada mereka yang membutuhkan.

Keluarga juga memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif ini. Walaupun belum ada yang mengikuti jejak Tamsil di dunia politik, mereka aktif berperan dalam mengelola sekolah-sekolah yang telah diinisiasi, dengan beberapa keluarga terlibat langsung sebagai Direktur dan Manajer.

“Sebagian lainnya melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah yang sudah dibangun, bahkan ada yang melanjutkan studi di luar negeri,” tambahnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait