Muhammad Abdul Ghani, Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara
Dr. Ir. Muhammad Abdul Ghani, M.Sc, Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara.

PTPN Holding, Empat Tahun Laba Rp.14,8 T Setelah 7 Tahun Rugi Rp 5,4 T

Share

Saat ini, PTPN mengelola sekitar 800.000 hektar kebun plasma, termasuk 600.000 hektar lahan kelapa sawit rakyat, dari total luas nasional 16,83 juta hektar. Secara nasional, 42% lahan sawit dimiliki oleh rakyat, 3% milik BUMN (termasuk PTPN), dan sisanya milik korporasi. Meskipun luas lahan PTPN hanya 3% dari total, kontribusinya terhadap produksi CPO mencapai 6% karena produktivitasnya 2 kali lipat lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Direktur Utama PTPN Holding, Dr. Ir. Muhammad Abdul Ghani, M. Sc, mengatakan perkebunan negara di Indonesia dimulai dengan nasionalisasi pada akhir 1940-an.

Ketika itu perusahaan milik negara-negara kalah perang seperti Jepang, Italia, dan Jerman, diambil alih oleh negara dengan nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Pada 1958, nasionalisasi kembali dilakukan, perusahaan yang terafiliasi dengan Belanda diambil alih dan membentuk PPN baru untuk pabrik gula, dan non gula yang disebut Aneka Tanaman (Antam).

Pada 1968, PPN baru direorganisasi menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), kemudian 1974 menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP), dan pada 1996 menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dengan lebih dari 30 PTP beralih menjadi 14 PTPN. Pada 2014, terbentuklah subholding yang bertujuan memastikan terjalinnya sinergi antara 14 unit PTPN, dengan harapan penggabungan ini dapat memperkuat hubungan dengan pemasok dan pasar.

Tujuan sinergi belum terwujud penuh hingga 2019, karena setiap PTPN, masih bekerja secara terpisah. Abdul Ghani setelah ditunjuk sebagai Dirut PTPN 3/ Holding, mengarahkan agar PTPN fokus pada konsolidasi dan integrasi portofolio bisnis, yang menitikberatkan pada sawit, gula, karet, teh, dan kopi.

“Sejak saat itu, kami memutuskan untuk fokus pada lima komoditas,” kata Abdul.

Fokus Pangan dan Energi

Pada 2020, Kementerian BUMN meminta PTPN fokus pada pangan dan energi, yang kemudian terbukti sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo nomor 2 tentang swasembada pangan dan energi. Menindaklanjuti arahan ini, Ghani melakukan reorganisasi dengan menarik kewenangan dari masing-masing PTPN yang sebelumnya beroperasi sebagai entitas terpisah dan menjadikannya bagian dari holding.

Kemudian melakukan restrukturisasi utang dengan lebih dari 40 bank pada 2021, dan mengintegrasikan 36 pabrik gula dari 7 PTPN menjadi satu entitas, membentuk PT Sinergi Gula Nusantara (PTSGN). Pada 1 Desember 2023, PTPN juga mengintegrasikan pengelolaan sawit, dengan menggabungkan 10 unit PTPN menjadi PalmCo. serta menyatukan komoditas karet, teh, dan kopi menjadi SupportingCo. Kini, PTPN terdiri dari tiga subholding utama, yaitu PalmCo (sawit), SupprotingCo (teh, kopi, karet), dan PTSGN (gula), serta 7 anak perusahaan yang menangani bidang-bidang khusus.

Melalui langkah-langkah strategis ini, PTPN berhasil meraih laba sebesar Rp. 14,8 triliun dalam empat tahun terakhir (2021-2024), setelah sebelumnya mengalami kerugian sebesar 5,4 triliun selama 7 tahun sejak dibentuknya holding.

Perbaikan dilakukan dalam organisasi, SDM, tata kelola, serta government, melalui digitalisasi dan mekanisasi. Selama periode tersebut, perusahaan juga membayar kewajiban kepada karyawan dan mitra sebesar Rp. 2,4 triliun.

Melalui konsolidasi yang lebih efisien, PTPN berupaya mengatasi disparitas produktivitas yang tinggi antara daerah, seperti Sumatera Utara dengan rata-rata 5 ton CPO dan Sulawesi/Kalimantan sekitar 2,5 ton CPO per hektar. Harapannya, produktivitas sawit dapat ditingkatkan dari 4,8 ton menjadi 5,5 ton crude palm oil (CPO) per hektar dalam 5-10 tahun ke depan.

“Setelah bangkit dari keterpurukan, kini PTPN siap mendukung pemerintah dalam rangka swasembada pangan dan energi,” ujarnya.

Sawit dan Gula

Sebagian besar keuntungan PTPN berasal dari dua komoditas dengan 70% keuntungan berasal dari sektor sawit, sementara sisanya berasal dari gula dan komoditas lainnya. Oleh karena itu, fokus utama PTPN saat ini adalah sawit dan gula, sementara produksi karet akan dikurangi secara bertahap, dengan sisa lahan sekitar 50.000 hektar dialihkan ke tebu dan sawit.

Saat ini, PTPN mengelola sekitar 800.000 hektar kebun plasma, termasuk 600.000 hektar lahan kelapa sawit rakyat, dari total luas nasional 16,83 juta hektar. Secara nasional, 42% lahan sawit dimiliki oleh rakyat, 3% milik BUMN (termasuk PTPN), dan sisanya milik korporasi. Meskipun luas lahan PTPN hanya 3% dari total, kontribusinya terhadap produksi CPO mencapai 6% karena produktivitasnya 2 kali lipat lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Dalam rangka swasembada gula, PTPN membentuk PTSGN pada 2021 untuk menangani gula. Pada 2022, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian menugaskan transformasi PTPN sebagai proyek strategis nasional untuk meningkatkan produksi tebu menjadi 1,8 juta ton, biodiesel 433.000 ton, dan olein 1,8 juta ton hingga 2028. Selain itu, PTPN juga dilibatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) swasembada gula dan etanol yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada 2023, sebagai backbone kemandirian gula nasional.

PTPN juga bekerja sama dengan petani sawit rakyat, mengelola lebih dari 200.000 hektar sawit rakyat. Ghani menyampaikan bahwa mereka tengah berupaya mendukung petani yang lahannya direplanting dengan penanaman padi gogo, di antara lahan sawit yang kosong. Program ini bukan berbasis charity, melainkan pendekatan business-to-business (B2B), yang bertujuan memberi penghasilan sementara bagi petani selama masa replanting, sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional.

“Kami menargetkan untuk mereplanting 40.000 hektar lahan petani per tahun dan berharap ini menjadi kebijakan umum sektor kelapa sawit di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Tantangan Industri Sawit

Kendala utama dalam industri sawit adalah hubungan antara perusahaan perkebunan dan petani plasma. Sejak 1970-an, PTPN mempelopori pembentukan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dengan bantuan Jerman Barat, baik dalam program transmigrasi, perkebunan, maupun khusus (PIR-Trans, PIR-Bun, PIR-Sus). Kemudian pada 1980-an, PTPN melakukan ekspansi besar-besaran dengan dukungan dana lunak dari perbankan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Namun, setelah reformasi 1998, banyak petani keluar dari kemitraan dengan PTPN dan beralih menjual tandan buah segar (TBS) ke swasta, meninggalkan perusahaan yang harus menanggung utang cicilan perbankan yang belum dibayar. Saat ini, sekitar sepertiga dari 300.000 hektar plasma masih bermitra dengan PTPN, yang mendukung replanting untuk petani loyal dengan bantuan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) hingga 60 juta. Hasilnya, tanaman umur 1-2 taun sudah berproduksi lebih dari 15 ton per hektar.

Pengolahan Bibit Unggul Kelapa Sawit PTPN Holding

Ghani mendorong kolaborasi dengan pemerintah untuk mengembalikan petani yang tidak terorganisasi dalam wadah koperasi petani plasma, agar lahan dapat direplanting secara terkoordinasi. Sebab, jika lahan dikelola secara individu, pengelolaannya akan sulit dan hasilnya tidak maksimal.

“Untuk meningkatkan produksi sawit Indonesia, kemitraan antara PTPN, petani, dan perusahaan swasta perlu dibangun kembali dengan pendekatan saling bergantung dan percaya,” jelasnya.

CEO Terbaik

Berkat transformasi internal selama empat tahun terakhir, Abdul Ghani meraih penghargaan sebagai CEO terbaik di industri kelapa sawit. Di bawah kepemimpinannya, PTPN berhasil meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya, menjadikannya salah satu yang terbaik di Indonesia, bahkan di antara perusahaan swasta.

Perusahaan juga telah mengikuti standar internasional, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan standar karbon, sehingga produknya diterima di Eropa tanpa terpengaruh kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR).

“PTPN juga aktif membantu petani sawit dalam peremajaan, sehingga dianggap sebagai role model oleh industri lain,” kata Abdul.

 

Siap Dukung Swasembada Untuk Gula Konsumsi

Sementara sektor sawit PTPN mengalami kemajuan signifikan, tantangan besar lainnya datang dari industri gula, yang menjadi fokus utama pemerintah untuk mewujudkan swasembada. Ghani mengungkapkan keprihatinannya terhadap industri gula yang terpuruk selama beberapa dekade, meskipun Indonesia dahulu pernah menjadi negara penghasil gula terbesar dengan produktivitas tebu yang luar biasa.

Pada 1930-an, Indonesia dengan luas tanaman tebu kurang dari 200.000 hektar mampu menghasilkan 3 juta ton gula, dengan rata-rata produktivitas 15 ton per hektar. Namun, setelah perang dunia II, terjadi penurunan dan Indonesia menjadi net importir gula sejak 1967. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, termasuk pembangunan pabrik gula di luar Jawa yang gagal karena ketidaksesuaian lokasi dan kebijakan pertanian yang tidak optimal.

“Program tebu rakyat intensifikasi (TRI) yang dicetuskan Presiden Soeharto pada 1975, di mana pengelolaan pabrik gula diserahkan kepada petani, tidak membuahkan hasil karena ketidaksiapan mereka,” jelasnya.

Ghani menemukan bahwa solusi untuk masalah gula relatif sederhana, yakni dengan meningkatkan produktivitas. Saat ini, produktivitas gula nasional hanya sekitar 4,5 ton per hektar, yang merosot karena praktik penanaman tebu yang tidak optimal.

Dulu, ratun tebu yang ditanam akan dipanen pada tahun kedua, tetapi kini kebanyakan ratun tebu tidak diremajakan, menyebabkan penurunan hasil. Sekitar 86% tanaman tebu kini mengalami masalah di bagian ratun, yang seharusnya menjadi prioritas untuk diperbaiki.

Persoalan lainnya adalah penanaman tebu yang tidak beraturan. Seharusnya tebu ditanam dalam tiga fase, yaitu masa awal, tengah, dan akhir, tetapi saat ini penanaman tebu dilakukan secara acak tanpa pengawasan. Akibatnya, hasil panen pada awal musim sangat rendah, sedangkan pada akhir musim justru tinggi. Abdul tengah berupaya menata penanaman tebu agar lebih seimbang dalam tiga tahun.

“Kami sedang melakukan penataan dengan pembagian 30% untuk masa awal, 40% untuk masa tengah, dan sisanya untuk masa akhir, yang diharapkan dapat meningkatkan produksi gula sekitar 20%,” jelasnya.

Solusi Industri Gula

Abdul Ghani berfokus pada pendampingan petani dengan membentuk organisasi yang dapat memberikan edukasi dan bantuan teknis mulai dari penanaman hingga panen, dengan setiap 500 hektar lahan diberikan satu asisten untuk pembinaan langsung. PTPN juga menggandeng sektor perbankan dan mitra lain dalam program “Mari Kita Majukan Usaha Rakyat” (MAKMUR) untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pendanaan dan penyediaan pupuk.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) diperkuat untuk menghasilkan bibit berkualitas. Untuk mempermudah pengelolaan, digitalisasi diterapkan dengan memanfaatkan big data untuk memungkinkan pencatatan informasi tentang petani, lahan, jenis tebu, serta waktu tanam dan panen, sehingga membantu komunikasi antara perusahaan dan petani.

Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional telah menetapkan harga terendah gula sebesar 14.500 per kilogram untuk menjaga kestabilan harga. Jika harga turun, PTPN dan petani tidak akan menjualnya, dan gula akan dijual ketika harga naik memastikan harga tetap kompetitif bagi petani.

PTPN juga transparan dalam proses rendemen dan berupaya meningkatkan usaha tani agar lebih menguntungkan. Saat ini, 95% petani lebih memilih bagi hasil dengan PTPN, daripada menjual tebu secara langsung, karena mereka menyadari kualitas tebu lebih baik jika dikelola bersama.
Selain itu, PTPN tengah berupaya menarik anak muda untuk menjadi petani melalui program agripreneur tebu, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pertanian untuk menyediakan pelatihan penanaman, pendanaan, dan lahan.

“Kami mengajak 10 lulusan perguruan tinggi pertanian untuk menanam tebu di 50 hektar lahan nasional, dengan harapan mereka akan menjadi petani generasi selanjutnya,” ujarnya.

Masa Depan Gula
Target produksi gula nasional 2025 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton, rekor tertinggi sejak 1931. PTPN berkontribusi 50% dari kenaikan produksi gula tahun ini, dan diharapkan produksi akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang, meskipun konsumsi gula diperkirakan akan turun.

Meskipun peningkatan produksi gula dapat memenuhi kebutuhan gula konsumsi, namun untuk memenuhi kebutuhan gula industri, lahan yang ada saat ini masih tidak cukup. Dengan total lahan tebu di Indonesia sekitar 520.000 hektar, untuk mencapai kebutuhan gula nasional yang totalnya 7 juta ton, diperlukan produktivitas rata-rata 13-14 ton per hektar, yang sulit tercapai.

Ghani menyarakan pemerintah untuk membuka lahan tebu di Merauke, yang terbukti lebih cocok untuk penanaman tebu dan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan Lampung dan Sumatera Selatan. Sebab, diperlukan sekitar 600.000 hektar lahan tambahan yang dapat mencakup sekitar 1-1,5 juta hektar tebu untuk mencapai swasembada gula, baik konsumsi, industri, maupun bioetanol (E20).

“Demi kecukupan gula industri memang harus perluasan dan saya mendukung pembukaan di Merauke, karena saya memiliki 3 hektar piloting di sana yang menunjukkan 11 varietas gula berhasil,” ungkapnya.

Swasembada Gula

Menurut Ghani, pemerintah seharusnya mengalihkan dana sebesar Rp 10 triliun per tahun yang biasa digunakan untuk impor gula disalurkan kepada petani, dengan meningkatkan harga gula dan memberikan anggaran untuk penanaman tebu. Dengan cara ini, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada impor, memungkinkan pabrik gula fokus pada kemitraan dengan petani, serta memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitas.

Jika ekosistem ini terus berlanjut, Indonesia dapat mencapai swasembada gula tanpa impor. Dalam lima tahun, dengan produktivitas tebu meningkat menjadi 8 ton per hektar, harga pokok produksi gula dapat dipertahankan rendah, sehingga gula impor bisa ditandingi. Ke depan, dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat kembali mencapai kejayaan seperti 100 tahun yang lalu dalam industri gula.

“Saya mendukung kebijakan Pak Menko bahwa tahun depan tidak ada impor gula,” katanya. (*) Fatiha Asti Amalia

Artikel Terkait