Di tingkat organisasi, pernah menjabat sebagai Ketua Hubungan Internasional Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) selama tiga periode, menunjukkan perannya yang penting dalam memperkuat jaringan advokat di dalam maupun luar negeri.
Rekam jejak panjang dalam advokasi hukum dan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang rentan, Hendra Winarta dikenal sebagai sosok yang tidak hanya berkompeten di bidangnya, tetapi juga memiliki komitmen kuat terhadap keadilan dan hak asasi manusia.
Saat ini merupakan advokat senior yang telah berkiprah selama puluhan tahun. Memiliki perjalanan karir yang panjang dan penuh pengalaman. Salah satu momen paling berkesan dalam karirnya adalah perjuangannya membela hak-hak masyarakat Tionghoa yang mengalami diskriminasi di era Orde Baru.
Prihatin
Terkait dengan perkembangan profesi advokat saat ini, Prof. Frans menyatakan keprihatinannya. Ia menilai bahwa profesi advokat kini mengalami kemunduran dalam aspek moral dan etika. Advokat adalah seorang intelektual yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan sopan santun.
“Tidak boleh berkata kasar, tidak boleh sama sekali. Tidak boleh kita berbicara dengan kata-kata yang merendahkan, seperti anjing atau monyet. Seharusnya, advokat itu tetap berpegang pada intelektualitas.” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya penghormatan antara senior dan junior dalam profesi hukum. Menurutnya, hubungan yang harmonis dan saling menghormati harus tetap dijaga. Ia juga menekankan bahwa dalam dunia hukum, pengadilan dan hakim harus dijaga kehormatannya.
“Ada undang-undang tentang contempt of court? Pengadilan tidak boleh dihina, hakim tidak boleh direndahkan martabatnya,” tegasnya.
Mengenai peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH), LBH Jakarta dahulu melahirkan advokat-advokat hebat yang berintegritas.
“Mereka dilatih dengan baik sekali. Orang-orang seperti Mulya Lubis, Luhut Pangaribuan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, semua tokoh terkenal. Mereka dilahirkan untuk membela orang-orang miskin,” ujarnya.
Tanpa Imbalan
Ia mengenang salah satu kasus yang pernah ditanganinya tanpa imbalan, yaitu pembelaan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Sakidin Muhammad atau Salidin bin Muhammad, yang berhasil
dibebaskan dari hukuman mati.
Banyak advokat yang banyak menangani kasus pro bono tanpa imbalan, Prof. Frans menekankan pentingnya keseimbangan dalam profesi ini. Harus mencari sendiri klien-klien yang mampu membayar jasanya. Ada keseimbangan antara membela orang yang mampu dengan mereka yang membutuhkan bantuan hukum gratis.
Namun, ia juga menyayangkan bahwa banyak advokat yang kini hanya mengejar klien besar dengan honor tinggi.
“Itu tergantung pilihan kita, mau membela yang benar atau yang salah. Tapi yang paling benar adalah membela mereka yang jujur. Selain membela, advokat juga harus bisa mendamaikan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa di negara-negara maju, peran advokat lebih diarahkan untuk mencari solusi damai bagi kliennya, bukan sekadar memenangkan perkara dengan segala cara.
Mengenai praktik mafia peradilan dan korupsi di ranah hukum, Prof. Frans menyoroti adanya judicial corruption, yakni praktik suap dan sogokan dalam sistem hukum. Menurutnya, tidak boleh terjadi, karena dalam sumpah advokat dilarang menerima suap atau sogokan. Hakim pun seharusnya demikian. Tetapi, saat ini sistem peradilan sudah tercemar. Catur wangsa yang meliputi jaksa, hakim, polisi, dan advokat sudah tidak murni.
Etika Profesi
Sebagai seorang advokat yang telah malang melintang dalam dunia hukum, tetap memegang teguh prinsip dan nilai-nilai etika profesi. Ia berharap bahwa para advokat muda dapat memahami pentingnya integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas mereka di dunia hukum yang semakin kompleks dan dinamis.
Salah satu isu yang disoroti Prof. Frans adalah kembalinya advokat yang pernah terlibat kasus hukum ke dalam praktik hukum.
“Sebetulnya tidak boleh. Kalau sudah pernah dipecat seumur hidup, ya dia harus berhenti. Tapi di Indonesia, aturan mainnya sulit ditegakkan,” paparnya.
Ia juga melihat peran organisasi advokat dalam menjatuhkan sanksi terhadap anggotanya yang bermasalah. Menurutnya, persoalan sanksi menjadi rumit karena ada banyak organisasi advokat di Indonesia. Saat ini, terdapat lima Peradi dan sekitar 50 organisasi advokat lainnya, tetapi tidak satu pun yang benar-benar berani mengambil langkah tegas dalam memberikan sanksi.
Ia menambahkan bahwa sejak dahulu, organisasi advokat di Indonesia belum sepenuhnya solid. Awalnya ada Peradin, lalu muncul Ikadin, yang kemudian berusaha dijadikan wadah tunggal. Namun, ketidakkonsistenan dari pemerintah membuat situasi semakin kompleks. Setelah wadah tunggal terbentuk, muncul lagi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) sebagai wadah tunggal yang baru. Kondisi yang tidak stabil ini, penegakan disiplin dan pemberian sanksi bagi advokat menjadi semakin sulit dilakukan.
Advokat Ideal
Prof. Frans menekankan pentingnya pemahaman yang kuat terhadap etika profesi. Ia mengingatkan bahwa advokat harus memahami hukum acara serta memiliki spesialisasi di bidang tertentu, seperti hukum perbankan, bisnis, keagamaan, merek dagang, hak cipta, dan desain industri.
“Advokat tidak bisa hanya menjadi praktisi umum tanpa keahlian khusus. Mereka harus benar-benar mewarisi keilmuan dari advokat senior,” tambahnya.
Selain itu, seorang advokat harus membangun reputasi berdasarkan keahlian dan kontribusi ilmiah, bukan sekadar sensasi. Cara terbaik untuk dikenal adalah dengan menulis dan mengajar dalam bidang hukum, bukan dengan mencari popularitas melalui kontroversi.
Tidak Jelas Sistemnya Multi atau Single Bar
Prof. Frans memiliki kepedulian mendalam terhadap kondisi profesi advokat. Dengan nada penuh keprihatinan, ia mengungkapkan kebingungannya dalam mencari solusi.
Saya ingin memperbaiki, tetapi harus mulai dari mana? Bahkan menteri pun tak mampu memberikan jawaban,” ujarnya.
Ia juga melihat ketidaksepahaman antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) mengenai sistem organisasi advokat. Menurutnya, perbedaan pandangan ini justru memperumit keadaan.
“MK berpendapat satu hal, MA punya pandangan berbeda. Akhirnya, kita seperti menggali kubur sendiri,” tuturnya.
Menurut Prof. Frans, sistem kepengacaraan di Indonesia mengalami kekacauan akibat ketidakjelasan regulasi antara sistem multi bar dan single bar. Undang-undang mengatakan single bar, tetapi praktiknya adalah multi bar, sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Ketidakkonsistenan dalam regulasi ini, menjadi akar dari banyak persoalan dalam dunia advokat.
Frans berpendapat bahwa pemerintah turut berperan dalam menciptakan situasi ini. Dahulu, pemerintah ikut campur dalam urusan organisasi advokat, sehingga kini harus ikut bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi. Selain itu, pengaruh sistem hukum dari Amerika Serikat dan Inggris menyebabkan advokat di Indonesia harus mengucapkan sumpah di pengadilan, padahal seharusnya proses tersebut bisa dilakukan di tempat lain yang tetap sah secara hukum.