Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH. - Mediator Kasus Ijazah Jokowi

Prof. Dr. Adi Sulistiyono – Program Mediasi Hukum Sesuai Budaya Indonesia

Share

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH, MH. disetujui sebagai mediator pada kasus gugatan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo di Pengadilan Negeri Surakarta. Hal itu memang tak lepas dari sepak terjang Prof Adi Sulistiyono selama ini yang juga dikenal sebagai mediator.

Sebagai guru besar, ia mengajar di S1 hukum, magister hukum, dan magister notariat dan S3 UNS. Ia juga menjadi dosen penguji di sejumlah perguruan tinggi. Setidaknya ada 10 perguruan tinggi, di antaranya UPH, Trisakti, UKI, Udayana, Jambi, Unisula, UII, dan lainnya.

Sebagai mediator, sejumlah kasus pernah ditangani, dari sengketa waris, usaha, keuangan, konstruksi hingga pasien dan tenaga kesehatan. Kematangannya diasah saat terjun di Lembaga Alternatif (LA). Sejumlah kasus berhasil diselesaikan seperti sengketa jasa keuangan, sengketa di beberapa rumah sakit, juga sengketa di kalangan pengusaha-pengusaha.

Sehingga tidak keliru, apabila para pihak yang sedang mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Surakarta mengenai kasus ijazah mantan Presiden Joko Widodo, menunjuk dirinya sebagai mediator.

“Ketika para pihak mengontak untuk kebersediaan saya sebagai mediator, insyaallah ya bismillah ya bersedia untuk menjadi mediator,” katanya.

Disetujui Dua Pihak

Hanya saja, lanjut dia, penetapan dirinya sebagai mediator harus disetujui semua pihak yang bersengketa. Selain penggugat, pihak tergugat juga harus setuju. Setelah semua pihak setuju, baru ditetapkan oleh pengadilan. Tetapi kalau salah satu saja tidak setuju, tidak bisa ditetapkan. Jadi itu menyangkut masalah integritas medioator di mata pra pihak yang bersengketa. Kuncinya, semua pihak yang bersengketa merasa nyaman dengan mediator yang dipilih.

Hanya saja dalam prosesnya, ujar Prof Adi Sulistiyono, seringkali justru para pihak tidak setuju dengan mediator yang diajukan. Para pihak saling bertentangan, sehingga akhirnya tidak terjadi kesepakatan.

Akhirnya dipilih mediator dari pengadilan. Kabar baiknya, para pihak yang bersengketa di kasus gugatan perdata ijazah Jokowi, setuju Prof Adi Sulistiyono sebagai mediator.

Menurutnya itu menjadi satu pembelajaran yang baik untuk masyarakat karena selama ini mediator dari pengadilan. Padahal sebenarnya, mediator bisa berasal dari luar pengadilan. Untuk kasus yang menyedot perhatian publik ini misalnya, para pihak menghendaki mediator dari luar pengadilan.

“Mediasi ini sesuai dengan ideologi kita, Pancasila, bahwa penyelesaian, sebaiknya dengan musyawarah. Tapi kadang yang membuat kita sedih, perdamaian di pengadilan selama ini, tingkat kesuksesannya masih di bawah 10 % dari perkara masuk,” ungkap dia.

Hukum juga mewajibkan setiap perkara perdata harus diselesaikan dulu lewat perdamaian, jalan musyawarah. Hanya saja tingkat keberhasilan mediasi tersebut masih di bawah angka 10 persen dari seluruh perkara yang masuk. Hal itu, tandas Prof Adi Sulistiyono, jelas tidak mencerminkan budaya Indonesia.

Mediasi Pertama Deadlock

Padahal Mahkamah Agung berusaha mendorong penyelesaian perkara lewat jalur mediasi sehingga tidak terjadi penumpukan perkara. Itu merupakan bagian dari reformasi Mahkamah Agung. Karena di beberapa negara, Jepang misalnya, 90 % perkara selesai di proses mediasi.

Hanya saja, mediasi perdana gugatan perdata ijazah Jokowi di PN Surakarta, Rabu (30/4/2025) berakhir deadlock. Belum ada kesepatakan antara penggugat dan kuasa hukum para tergugat. Mediasi yang dimulai sekitar pukul 10.00 digelar secara tertutup.

Hal itu memang tidak mengejutkan karena menurut Prof Adi Sulistiyono, tingkat keberhasilan mediasi di Indonesia hanya 10 persen. Hal itu terjadi karena acapkali sengketa sudah meruncing sedemikian rupa, baru dibawa pengadilan. Sehingga ketika didamaikan oleh hakim, tiap-tiap pihak bertahan dengan egonya sendiri. Akhirnya tidak selesai. Seringkali para pihak lupa bahwa saat masuk ruang mediasi, yang diperjuangkan bukan hanya keinginan sendiri, melainkan keinginan dua pihak.

“Nah kalau sudah tidak memahami budaya mediasi, akhirnya banyak yang gagal. Makanya di Indonesia, hampir 90 % kasus perdata dibawa ke lembaga perdamaian gagal,” katanya.

Padahal lanjut dia, sebenarnya mediasi sesuai dengan budaya Indonesia, budaya musyawarah. Sangat diharapkan setiap persoalan perdata bisa diselesaikan dengan musyawarah. Ia menilai perkara ijazah Jokowi memang berat. Ia berharap ke depan dimudahkan sehingga bisa menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dari pengalamannya menjadi mediator, dari enam kasus hanya satu yang berhasil. Kalau masalah-masalah bisnis, juga pembagian harta waris misalnya, hampir dikatakan 95 % selesai dengan mediasi. Begitu juga dengan sengketa di rumah sakit, seperti persoalan pasien dan dokter, selesai dan sukses lewat jalur mediasi.

Pendekatan

di Luar Sidang

Namun ia menilai kasus yang dihadapi saat ini termasuk berbobot, tantangannya sangat berat. Sekalipun demikian, ia optimis berhasil. Asal para pihak yang berperkara beriktikad baik untuk menyelesaikan secara musyawarah. Menurutnya, itu kuncinya. Sehingga, Prof Adi Sulistiyono, menekankan soal iktikad baik tersebut. Sejak masuk di ruang mediasi, semua harus punya iktikad baik untuk menyelesaikan dengan win-win solution. Jadi paradigmanya, menang-menang bukan paradigma win lose atau take all untuk menang.

“Kalau demikian enak, cepat selesai. Ada satu perkara yang pernah saya tangani di Solo antar pengusaha, sudah lama bertahun-tahun enggak selesai. Kemudian dibawa ke saya, karena saya menekankan sejak awal bahwa etiket baik itu penting, dalam dua hari pertemuan sudah selesai,” ungkap dia.

Biasanya, Prof Adi Sulistiyono menggelar pertemuan tidak resmi atau pendekatan di luar persidangan. Biasanya itu ditempuh setelah sidang. Ia membuat pendekatan-pendekatan, yang disebut kaukus. Ia melakukan pertemuan dengan para pihak secara terpisah. Ia kemudian memberikan banyak masukan, termasuk tujuannya mendamaikan. Sehingga para pihak mengerti tujuan perdamaian tersebut.

“Biar mereka mengerti maksud saya mendamaikan. Kalau sampai sengketa, tidak selesai perdamaian, konsekuensinya perdata bisa sampai bertahun-tahun. Bisa sampai 4 – 5 tahun,” ujar dia.

Angkatan Pertama

Tapi dalam perkara sengketa ijazah Jokowi, satu hal yang menarik, para pihaknya pernah belajar atau mahasiswa UNS. Jadi mereka pada dasarnya adalah murid Prof Adi Sulistiyono. Hal itu memang sejatinya yang harus diketahui para pihak, yaitu mengenal mediator yang dipilih. Sehingga mereka mengetahui kapasitas mediator.

Biasanya di pengadilan, tertera nama-nama mediator. Para pihak harus yakin mediator yang dipilih mampu memimpin mediasi dengan baik. Dalam perkara ijazah Jokowi, para pihak dulu sering berinteraksi dengan Prof Adi Sulistiyono. Sehingga kuasa pengugat atau tergugat minimal sudah tahu karakter dirinya.

“Kalau kita mau menggunakan jasa mediasi atau mediator tapi tidak tahu karakternya, kan enggak mungkin. Kita harus tahu karakter dari mediator yang akan kita tunjuk,” tandas dia.

Kehadiran mediator sejatinya tidak terlepas dari gagasan Mahkamah Agung untuk melakukan reformasi birokrasi di pengadilan. Salah satunya adalah dengan menghadirkan lembaga perdamaian atau mediator. Untuk menjadi mediator sesuai aturan Mahkamah Agung harus melalui pelatihan oleh lembaga pelatihan yang telah terakreditasi.

Prof Adi Sulistiyono termasuk angkatan pertama pada tahun 2004. Saat itu masih gratis karena pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Agung. Setelah itu mendapatkan sertifikat, kemudian dikirim ke beberapa pengadilan. Dengan begitu nama mediator tercantum di pengadilan-pengadilan tersebut.

Menurutnya setiap orang bisa menjadi mediator. Tidak semata orang yang berlatar belakang pendidikan hukum. Sebab persoalan yang ditangani dalam mediasi sangat banyak dan beragam. Misalnya sengketa usaha, sengketa konstruksi, dan lain sebagainya. Jadi mestinya tidak hanya lulusan Fakultas Hukum yang jadi mediator.

Seorang mediator bebas beroperasi di seluruh Indonesia. Hanya saja, profesi ini belum populer. Karena itulah, saat ini dia mendorong dosen-dosen muda untuk berprofesi mediator. Sebagai contoh, di UNS ada puluhan mahasiswa ikut pelatihan mediasi dari lembaga yang tersertifikasi Mahkamah Agung.

Soal Jumlah Honor Relatif Bisa Tingkatkan Investasi

Soal honor, menurut Prof Adi Sulistiyono, sangat relatif, tergantung jam terbang mediator. Biasanya untuk kasus perdata kelas berat semahal-mahal sekitar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.

Tapi kalau mediator dari pengadilan sudah dicantumkan ada biaya perkara mediasi dan biaya jasa mediator. Jadi memang tidak ada patokan, tergantung jenis mediasi.

“Tapi kalau ikut lembaga, pengalaman saya, sekali menangani kasus mediator dapat Rp 6 juta atau Rp 10 juta. Tapi kalau saya menangani misalnya kasus-kasus di rumah sakit, kasus konstruksi, kasus perusahaan, saya melihat nilai perkaranya,” ungkap dia.

Sehingga bisa saja permintaan mediasi gagal karena mediator tidak bersepakat soal honorarium. Tapi prinsipnya, jasa mediator tersebut ditanggung para pihak yang berperkara, baik penggugat dan tergugat. Misalnya penggugat ada satu, sedangkan tergugat ada empat berarti biaya ditanggung lima pihak. Tetapi dirinya kadang melihat pihak-pihak yang beperkara, tidak disamaratakan. Sehingga bisa lebih luwes sebagai mediator.

Menurut perhitungan Prof Adi Sulistiyono, mediasi kasus gugatan ijazah Jokowi bisa cepat selesai asal para pihak yang berperkara beretiket baik untuk menyelesaikan secara win win solution. Karena itulah kunci dari efiensi dan efektifitas mediasi.

“ Jadi kalau para pihak itu punya etiket baik untuk menyelesaikan dengan win-win solution, 30 hari juga menurut saya bisa selesai,” katanya.

Hal itu bakal bertambah panjang kalau kemudian harus ada pemeriksaan saksi ahli. Mediasi bisa diperpanjang 30 hari tergantung kesepakatan para pihak. Proses mediasi tersebut hampir mirip dengan persidangan yang sesungguhnya, karena kehadiran saksi ahli. Saksi-saksi tersebut diperlukan untuk mencari kebenaran.

Hanya saja persidangan mediasi lebih bersifat nonformal. Dirinya sebagai mediator berposisi sebagai pendamai, sedangkan hakim memutus perkara. Mediator pada prinsipnya membuat kesepakatan. Sehingga harus mendengarkan para pihak. Bahkan ketika dirinya mendapat telepon dari pihak penggugat, harus buru-buru menghubungi pihak tergugat. Hal itu semata untuk menghindari praduga tidak baik.

Sidang mediasi bisa di mana saja, tidak harus di pengadilan. Tetapi karena kasus ijazah Jokowi itu disorot masyarakat, sidang digelar di pengadilan. Padahal UNS juga menyediakan tempat. Sidang tahap awal tersebut dilangsungkan tertutup. Karena bisa lebih konsentrasi. Apalagi para pihak berkeinginan persoalan tersebut hanya diketahui pihak-pihak yang berperkara saja.

“Kalau dikehendaki terbuka juga bisa, tapi jarang. Hampir semua perkara yang saya tangani, proses mediasinya selalu tertutup,” katanya.

Tingkatkat Investasi

Prof Adi pun berpesan kepada masyarakat yang bersengketa, menerima tawaran perdamaian dari hakim. Kesempatan untuk menyelesaiak secara damai tersebut benar-benar dimanfaatkan. Bahkan kalau bisa, para pihak yang bersengketa hadir secara langsung tanpa didampingi advokatnya. Karena dengan datang sendiri, bisa lebih memahami sengketa, sehingga penyelesiannya lebih mudah.

Menurutnya dalam pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, para pihak wajib menghadiri pertemuan mediasi secara langsung, baik dengan maupun tanpa didampingi kuasa hukum. Kehadiran melalui komunikasi audio visual juga dianggap sebagai kehadiran langsung. Jika tidak ada alasan sah, pihak yang bersangkutan wajib hadir sendiri dalam proses perundingan. Kecuali, ada alasan-alasan yang tidak bisa ditinggalkan, seperti ditugaskan ke luar negeri oleh negara, atau sakit yang membuatnya tidak bisa hadir.

Filosofi lembaga perdamaian, menurutnya, adalah kepentingan para pihak bisa disampaikan secara langsung tidak melalui advokat. Dengan hadir sendiri, para pihak secara emosional bisa memahami perkara sehingga bisa langsung mengambil sikap. Mediator juga lebih senang, karena bisa mempercepat penyelesaian. Biasanya kalau diwakili advokad, harus konsultasi dulu dengan pemberi kuasa.

Andai saja masyarakat Indonesia lebih memilih lembaga perdamaian di peradilan, menurutnya akan mengurangi tumpukan perkara yang sedemikian banyak di pengadilan. Selanjutnya bisa mengurangi godaan hakim untuk melakukan korupsi. Kemudian, bisa meningkatkan peringkat investasi Indonesia. Selama ini peringkat kemudahan berinvestasi paling rendah. Hal itu salah satunya disebabkan penyelesaian sengketa terlalu berbelit-belit.

Dengan begitu, ujar dia, semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan lembaga perdamaian, semakin banyak pula sengketa diselesaikan secara damai. Citra pengadilan pun semakin baik. Sehingga ranking kemudahan berinvestasi Indonesia semakin bagus. Saat ini saat akan masuk ke suatu negara, yang dicari investor asing bukan sumber daya alam, atau tenaga kerja murah, melainkan keberadaan mekanisme sengketa yang efektif dan efisien di negara itu.

“Makanya ketika Vietnam menawarkan investasi, yang ditawarkan lembaga perdamaian, lembaga arbitrase baik. Jadi sebenarnya ini menjadi daya tarik investasi,” jelas Prof Adi Sulistiyono.

Artikel Terkait