Merujuk kepada novel yang ditulis dua ahli strategi dari Amerika Serikat Peter Warren Singer dan August Cole berjudul Ghost Fleet, pernyataan Prabowo memantik kehebohan.
Lebih tepat sebagai kehebohan intelektual. Membuat pro-kontra. Bahkan Presiden Joko saat itu tak dapat menahan diri untuk tidak berkomentar.
Komentar khas Jokowi, dengan bahasa tubuh dan tawa ngikik, di hadapan wartawan yang mewawancarainya. “ Harus optimis,” ujarnya enteng.
Namanya sebuah novel, memiliki potensi ilutif imajinatif. Ada yang menanggapi serius dengan argumen logis dan tak sedikit yang sinis. Sayangnya seimajinatif apapun Ghost Fleet, tetaplah ditulis oleh orang yang ahli strategi, pegamat politik dan kebijakan negara super power.
Kini Prabowo telah menjadi Presiden. Imanijasi Ghost Fleet sudah senyap. Berbagai fenomena viral di jagad maya. Ada korupsi dengan angka angka yang fantastis, dan belum pernah terjadi sebelumnya. Kasus pagar laut yang mencengangkan. Judi online, sampai kasus bursa saham yang anjlok.
Akar dari semua kasus tersebut pasti sudah terjadi cukup lama, namun meledak saat Prabowo jadi presiden. Lima bulan Prabowo seakan ilusi Ghost Fleet membayang bayangi dari sudut sudut gelap.
Prabowo seorang purnawirawan jenderal, pasti sangat paham situasi yag tengah dihadapi bangsa dan negara. Jangankan Prabowo sebagai manusia biasa. Bahkan seorang Sayyidina Ali Bin Abi Thalib salah seorang Khulafaur Rasyidin yang sudah pasti amanah, brintegritas tingi, cerdas dan tegas, juga menghadapi pergolakan yang terus menerus selama enam thun berkuasa.
Musuh yang dihadapi bukan saja dari luar tetapi juga yang menusuk dari dalam. Yang dari luar aalah Muawiyah dan yang dari dalam adalah Khawarij. Ada baiknya mencermati sejarah dan riwayat kekuasaan para khulafaur rasyidin, terutama Sayidina Ali. Ada banyak pesan moral yang patut dipelajari dan dihayati.
Ketika Sayyidina Ali dipilih sebagai Khalifah, berkata, “Jika engkau menghendakiku sebagai pemimpin umat demi tujuan tujuan duniawimu, maka aku tidak siap melayani sebagai alatmu. Tinggalkan aku dan pilihlah orang lain yang mungkin bisa memenuhi tujuanmu,”.
Di masa Sayidina Ali, kemunafikan, kelicikan dan kebohongan adalah persoalan serius yang sangat berat yang harus dihadapi. Munculnya perlawanan dari Muawiyah dan Khawarij dengan jargon semacam revolusi mental, telah menghipnotis sebagaian umat.
Padahal yang terjadi adalah revolusi mental berbasis kebohongan. Kelicikan sudah dianggap sebagai kecerdasan. Fitnah dianggap sebagai kebenaran. Pada 21 Ramadhan 40 H Ali wafat akibat ditikam oleh Ibnu Muljam. Penegak kebenaran dan keadilan, menghadapi musuh sepanjang masa. Tidak dahulu, tidak sekarang.
Semoga hari raya Idul Fitri 1446 H, segenap komponen bangsa menjadikannya momentum tersebut untuk mawas diri.***