Julukan “Advokat Sepatu Miring” yang melekat padanya bukan sekadar nama, tetapi simbol perjuangan tanpa pamrih, keberanian melawan ketidakadilan, dan dedikasi penuh untuk membela kebenaran.
‘’Saya mulai membela masyarakat sejak tahun 1977, saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya,”katanya.
Banyak pekerja, terutama dari Flores yang bekerja di perusahaan-perusahaan di Jakarta, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau menghadapi masalah hukum dengan perusahaan mereka.
Meski masih di tahun kedua kuliah dan belum mendapatkan mata kuliah Hukum Perburuhan, memberanikan diri untuk membantu mereka. Belajar sendiri Hukum Perburuhan agar bisa memberikan pendampingan yang tepat.
Tanpa Bayaran
Mengapa memilih didampingi seorang mahasiswa, bukan advokat professional ? Karena mereka tidak mampu membayar. Petrus Selestinus mengambil peran pengacara tanpa meminta bayaran. Tak ada masalah baginya, yang hidup sederhana. Kemana-mana naik bus tidak bayar, jika tak punya uang.
“Makan di warung kalau tidak ada uang, bisa hutang dulu dan bayar belakangan,” katanya.
Jika pembelaannya berhasil, misalnya para buruh yang kena PHK mendapat hak-haknya, misalnya pesangon, baru mendapat bagiannya. Sampai ia menyadari bahwa membela masyarakat kecil memberikan hikmah luar biasa.
Pembela Demokrasi
Sejak mahasiswa, Petrus sudah magang di kantor advokat R.O Tambunan, salah satu advokat ternama saat itu. Tahun 1981, saat ia masih mempersiapkan ujian S1, ia diajak bergabung ke kantornya.
Pada tahun 1996, ketika Megawati Soekarnoputri disingkirkan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI), advokat RO Tambunan menginisiasi pembentukan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Saat itu, mengumpulkan advokat walaupun tidak mudah. Banyak yang takut pada pemerintahan Orde Baru saat itu, dan khawatir tidak ada bayarannya.
‘’Saya mencari rekan-rekan advokat muda, dan berhasil mengumpulkan sejumlah teman dari berbagai latar belakan. Bahkan advokat senior seperti Buyung Nasution, Haryono Tjitrosubono, dan Maruli Simorangkir juga turut serta,” tambahnya
Ketika gugatan terhadap Kongres Medan yang menciptakan dualisme di PDI mulai disidangkan, terjadi Peristiwa 27 Juli 1996. Fokus kami pun terpecah. Ada 124 pendukung Megawati ditahan oleh Polda Metro Jaya.
Saat itu dibutuhkan banyak pengacara, untuk membela 124 orang itu. Maka pengacara itu terbagi menjadi beberapa tim. Ternyata ada semangat pengacara- pengacara muda waktu itu yang mau bekerja secara prodeo.
Petrus dan kawan-kawan menghadapi perkara itu hampir dua tahun, sehingga tidak punya kesempatan untuk mengurus perkara lain.
‘’Mungkin karena kita bekerja secara ikhlas, walaupun kita fokus kepada perkara ini, tetapi kami masih bisa menghidupi keluarga, karena ada saja satu dua perkara di kantor kami dan itu dijalankan oleh anak buah,’’ tambah Petrus.
Perkara Macet
Setelah Soeharto mundur, banyak kader PDI yang kemudian menjadi penguasa, Petrus tetap i luar, karena independen, tidak merupakan bagian dari PDIP. Walaupun beberapa anggota TPDI ada yang menjadi anggota DPR RI seperti Trimedya Panjaitan, Dwi Ria Latifa, Tumbu Saraswati, Amin Aryoso, Didi Supriyanto, dan lain lain.
‘’Kami tetap di luar, kembali ke profesi masing-masing, tetapi masih terus memperjuangkan perkara 27 Juli itu,” katanya
Perkara 27 Juli itu, walaupun Megawati sudah jadi presiden tapi perkaranya tetap macet. Waktu Gus Dur menjadi presiden penyelidikannya berjalan. Sampai menjadikan beberapa Jenderal TNI dan polisi menjadi tersangka. Juga pengurus DPP PDIP hasil Kongres Medan.
Dari hasil penyidikan Tim koneksitas 27 Juli yang dibentuk oleh presiden Jokowi waktu masih menjadi presiden, sudah menetapkan sekian banyak orang itu jadi tersangka, tapi perkaranya tidak bisa diteruskan oleh Kejaksaan sampai sekarang.
Orang bertanya kenapa pada waktu Mega menjadi presiden perkara ini mandeg. Megawtai waktu itu mempertimbangkan kalau terus mendorong perkara perkara itu sebagai presiden khawatir akan terjadi konflik kepentingan. Tetapi TPDI dipersilakan mendorong mendesak mengkritisi terus.
Advokat Sepatu Miring
Meskipun di Tim Pembela Demokrasi Indonesia ini melibatkan banyak pengacara terkenal yang dipimpin RO Tambunan tetapi justru Petrus yang banyak dikenal. Dalam perjalanan Tambunan mendirikan partai, dan menjadi pengurus. Banyak teman-teman yang menyarankan supaya TPDI tidak dikaitkan dengan partai.
‘’Akhirnya saya menjadi koordinator TPDI DKI, dan terus menggabungkan soal perjuangan demokrasi sampai sekarang,” katanya.
Jumlah anggota tim terus berkurang, tidak ada yang mau gabung lagi, karena tidak ada uang, tidak ada yang support, banyak resikonya. Tinggal segelintir sisa-sisa orang TPDI yang masih ada.
Banyak kenangan saat jadi pengacara TPDI dan mendapat julukan “Advokat Sepatu Miring.” Saat menangani Kasus 27 Juli, selalu berjalan kaki dari Kantor RO Tambunan di Majapahit menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Kami berjalan bersama Bu Megawati, agar para pendukung yang berdiri di pinggir jalan bisa melihat dan menyapa beliau,” katanya.
Suatu hari, wartawan bertanya, apa bedanya advokat TPDI dengan yang lain? Karena tidak ada yang menjawab, seorang wartawan berkata, “Lihat saja sepatunya.” Dari situ, julukan Advokat Sepatu Miring lahir.
“Sepatu kami aus akibat sering berjalan kaki,” katanya.
Terlibat Mafia Peradilan Mencoreng Profesi Advokat
Sampai saat ini Petrus dan kawan-kawan tetap membela masyarakat bawah. Menurutnya ini soal pilihan hidup. Ia memilih untuk berpihak pada rakyat kecil.
Jika ia hanya mengejar perkara bernilai besar, lalu siapa yang akan membela mereka.
“Kami menangani satu dua perkara berbayar, tetapi sebagian penghasilan kami digunakan untuk subsidi silang, agar kami tetap bisa menangani kasus-kasus rakyat kecil tanpa biaya,”katanya.
Petrus juga sering menghadapi tekanan, kliennya dibujuk untuk mencari pengacara lain karena dianggap “terlalu vokal.” Namun, baginya membela keadilan lebih penting daripada mengejar materi.
Mafia Peradilan
Tentang mafia peradilan Petrus mengatakan, banyak advokat menjadi makelar kasus dan bekerja sama dengan aparat hukum yang korup. Ini mencoreng nama profesi advokat dan membuat masyarakat takut pada pengacara.
Sayangnya, organisasi advokat yang ada tidak berhasil menertibkan anggotanya. Bahkan, jika seorang advokat dipecat dari satu organisasi, ia bisa pindah ke organisasi lain tanpa hambatan.
Menurut Petrus, advokat tidak boleh hanya fokus pada perkara- perkara bernilai tinggi. Ia harus menyisihkan sebagian waktunya untuk mengadvokasi masyarakat dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Dulu, banyak advokat senior yang menjadi panutan, seperti Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dan RO Tambunan. Mereka berani menentang ketidakadilan. Sekarang sudah kehilangan figur seperti itu. Banyak advokat lebih memilih diam dan nyaman.
“Saya berharap ada lebih banyak advokat muda yang memiliki idealisme dan keberanian untuk membela masyarakat,” jelasnya.
Petrus berpesan kepada anak muda yang ingin menjadi advokat, agar jangan hanya berpikir tentang uang. Seorang advokat harus memiliki kepedulian sosial dan
siap mengkritisi kebijakan yang merugikan rakyat. Sayangnya, saat ini organisasi advokat lebih banyak mencetak advokat tanpa pembinaan moral dan idealisme.
“Saya sendiri pernah membentuk Pergerakan Advokat Nusantara untuk mendidik advokat-advokat yang siap membela kepentingan rakyat. Tapi sayangnya, sulit menemukan orang yang mau berjuang tanpa pamrih,” tambahnya.