Juga kepada tokoh tokoh pejuang dan tokoh nasional yang teruji integritasnya dan membawa bobot sejarah seperti Hoegeng Imam Santoso, Sayidiman Suryohadiprojo, Bismar Siregar, Baharuddin Lopa, Mochtar Lubis hingga Atmakusuma Astraatmadja. Kehadiran mereka di Istana Negara, atau keluarga yang mewakili, memberi legitimasi pada makna penghargaan itu.
Jasa mereka sudah “final” dan tercatat dalam sejarah bangsa. Masing masing dari nama mereka telah teruji kontribusinya sepanjang hidup, baik sebagai negarawan, hakim, jenderal, atau intelektual.
Pada momen yang sama penghargaan diberikan kepada mereka yang masih aktif berpolitik, berbisnis, atau menjabat di kabinet/parlemen, seperti Zulkifli Hasan, Puan Maharani, Fadli Zon, Bahlil Lahadalia, Hashim Djojohadikusumo, Ahmad Muzani, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Teddy Indra Wijaya.
Nama-nama ini menimbulkan perdebatan karena pengabdian mereka belum tuntas, reputasinya belum final, dan sebagian masih erat dengan kepentingan politik praktis.
Campur aduk dua kategori ini, bagi saya khususnya , menimbulkan kesan cedera moral dan etika. Ada beberapa alasan mengapa ini terjadi dan menorehkan rasa resah dan gelisah di hati.
Selama ini, penerima tanda kehormatan relatif jelas: pahlawan perang, pejuang hukum, atau tokoh yang memberi sumbangan nyata dan historis. Kini, standar itu melebar. Seseorang bisa dinilai berjasa hanya karena menjabat atau berada dalam lingkar kekuasaan. Akibatnya, penghargaan kehilangan aura eksklusif, menjadi seremonial rutin, dan inflasioner.
Dengan memberi tanda jasa pada tokoh-tokoh politik yang masih aktif, presiden mengirim sinyal: mereka diakui negara, dihormati, dan diberi tempat dalam sejarah. Efeknya bisa memperkuat legitimasi pemerintah dan menjaga koalisi. Penghargaan berubah dari pengakuan jasa menjadi alat akomodasi politik.
Penghargaan negara semestinya punya nilai simbolik tertinggi. Begitu simbol itu dicampur adukkan antara “yang sudah selesai karya hidupnya” dan “yang masih aktif berkalkulasi politik,” terjadi degradasi wibawa. Ia bukan lagi tanda jasa melainkan “tanda kedekatan”.
Ini bukan hanya mengurangi nilai penghargaan, tetapi juga menurunkan marwah lembaga kepresidenan, dan wibawa negara. Masyarakat masih memandang penghargaan negara sebagai bentuk keadilan moral, yang berhak mendapatkannya adalah mereka yang benar-benar berkorban dan meninggalkan jejak keteladanan.
Begitu masyarakat melihat tokoh bermasalah, kontroversial, atau yang masih berproses mendapat tempat sejajar dengan para negarawan sejati, muncul rasa “ketidakadilan simbolik”.
Presiden adalah puncak otoritas moral politik negara. Bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga penjaga simbol. Sebaiknya presiden jangan membagi tanda kehormatan dengan standar ganda antara jasa abadi dan kepentingan politik sesaat. Semestinya menjadi pemberi legitimasi sejarah, bukan pemberi tiket politik.
Sebagai solusi sebenarnya bisa dilakukan dengan memisahkan waktunya. Penghargaan negara setingkat Bintang Mahaputra bisa dipisahkan waktu dan panggungnya, dengan penghargaan yang bersifat lebih politis.
Penghargaan untuk tokoh historis dan jasa yang sudah final dibedakan dari penghargaan untuk pejabat aktif, yang masih berkarya dan belum teruji jasa besarnya bagi negara.
Jangan sampai ada kesan “inflasi simbol”, karena semakin banyak tanda kehormatan dibagi tanpa standar ketat.
Jaga moralitas simbolik, baik bagi pemberi maupun penerima tanda kehormatan. ***