Partai Politik Super Terbuka Inovasi atau Gimmick Politik – Oleh Muhammad Ali

Share

Ketika Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan Presiden Joko Widodo, kembali terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) lewat pemilihan raya digital yang digelar menjelang Kongres Nasional pada 19–20 Juli 2025, ada yang menyambut sebagai kesegaran demokrasi. Di tengah dominasi partai yang masih berkutat dalam struktur elitis dan hierarkis, PSI mempraktikkan sistem “satu anggota satu suara”.

Kongres Nasional PSI di Solo bukan hanya acara rutin pergantian kepemimpinan, tetapi juga menjadi momen penting untuk mendeklarasikan transformasi partai.

Logo baru diluncurkan, menampilkan seekor gajah berbalut merah-putih menggantikan bunga mawar lama, sebagai simbol kekuatan, stabilitas, dan loyalitas.

PSI juga mulai menyebut dirinya sebagai “Partai Super Tbk,” sebuah jargon yang mencerminkan transparansi, profesionalisme, dan keterbukaan bagi siapa saja yang ingin bergabung.

Namun, langkah ini menempatkan PSI di persimpangan strategis. Dengan modal simbolik yang kuat, figur ketua yang populer, komunikasi digital yang canggih,

serta klaim sebagai partai paling terbuka di Indonesia, modal tersebut bisa menjadiban jika tidak diimbangi dengan kedewasaan politik dan visi yang mendalam.

Masa depan PSI tidak hanya bergantung pada strategi komunikasi, tetapi juga pada kemampuan untuk membuktikan bahwa keterbukaan adalah ruh politik, bukan sekadar kosmetik.

PSI lahir dengan semangat perubahan di tengah kejenuhan publik terhadap partai-partai lama yang dianggap kolot, elitis, dan penuh kepentingan. PSI memposisikan diri sebagai partai anak muda, antikorupsi, anti-intoleransi, dan menolak politik dinasti.

Dengan slogan keterbukaan dan semangat progresif, PSI hadir sebagai “partai yang tidak seperti partai.” Sejak berdiri tahun 2014, PSI dengan cepat menarik perhatian publik urban dan pemilih muda yang mencari alternatif politik.

Transformasi
Arah dan narasi PSI telah mengalami perubahan besar dalam lima tahun terakhir. Setelah gagal menembus parlemen pada Pemilu 2019 karena tak lolos ambang batas parlementer, PSI merumuskan ulang identitasnya dan membuka diri pada tokoh-tokoh besar di luar komunitas internalnya.

Pada 2023, hadir momen penting dengan masuknya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum, yang menjadi titik balik signifikan, menandai pergeseran orientasi partai dari aktivisme ke strategi politik elektoral yang lebih terukur.

Proses rebranding terus berlanjut, hingga pada Kongres Luar Biasa Juli 2025, PSI memperbarui logo, identitas visual, dan menyematkan julukan baru: “Partai Super Tbk,” mencerminkan transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas seperti perusahaan publik.

Pemilihan Ketua Umum dilakukan melalui e-vote, melibatkan puluhan ribu kader secara daring, sebuah langkah yang diklaim sebagai praktik demokrasi internal paling modern di Indonesia.

Narasi keterbukaan ini diperkuat dengan gaya komunikasi digital yang santai, penuh meme, dan citra populis, seolah menunjukkan bahwa PSI tidak hanya terbuka, tetapi juga inklusif, fleksibel, dan siap menghadapi generasi Z serta era digital.

Menurut Efriza, peneliti dari Citra Institute, sistem e-vote PSI bahkan bisa dimaknai sebagai sindiran keras terhadap partai-partai lama yang masih tertutup dalam memilih pemimpinnya.

Partai Super Terbuka
Gagasan mengenai partai terbuka sejatinya bukan hal baru dalam literatur politik modern. Secara ideal, partai terbuka ditandai oleh tiga prinsip utama demokratisasi internal, transparansi organisasi, dan partisipasi aktif anggota.

Dalam konsep ini, pemimpin partai tidak hanya dipilih oleh segelintir elite atau melalui kongres tertutup, melainkan oleh seluruh kader aktif melalui sistem yang terbuka dan akuntabel.

Kebijakan partai disusun melalui musyawarah atau konsultasi dengan basis akar rumput, bukan semata hasil perintah dari puncak hierarki. Jika dibandingkan dengan partai-partai mapan seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, atau PKB, gagasan partai terbuka ini seringkali masih jauh dari kenyataan.

Dalam banyak kasus, pemilihan ketua umum di partai-partai besar lebih menyerupai aklamasi yang sudah dirancang sebelumnya ketimbang kompetisi ide dan visi. Konsolidasi elite dan budaya restu menjadi kunci dominan dalam suksesi kepemimpinan.

Di satu sisi, banyak pengamat menilai bahwa PSI layak mendapatkan kredit atas upaya memodernisasi mekanisme internalnya.

Agus Riwanto, pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), menyatakan memberi suara kepada anggota lewat sistem one member one vote, sesuatu yang langka dalam politik Indonesia”

Tidak sedikit yang menilai bahwa sistem e-vote PSI tidak otomatis menjamin keterbukaan sejati. Masalah transparansi data, verifikasi anggota,

serta kemungkinan dominasi figur populer seperti Kaesang justru bisa membuat sistem ini menjadi pseudo-democratic—terbuka di tampilan, namun masih dikendalikan oleh pusat kuasa.

Sejumlah pihak bahkan menuding bahwa dalam beberapa aspek, pemilu internal PSI lebih menyerupai reality show ketimbang proses deliberatif yang serius.

Jika keterbukaan hanya berhenti pada sistem pemilu daring, namun tidak diikuti dengan debat ide, kontestasi gagasan, dan transparansi dalam pendanaan serta pengambilan keputusan, maka PSI masih jauh dari ideal partai terbuka sejati. Apa yang dilakukan sekarang bisa dianggap sebagai gimmick politik belaka.

Kritik dan Tantangan
Namun PSI juga tidak luput dari kritik tajam, terutama menyangkut personalisasi kepemimpinan dan nuansa politik dinasti. Sosok Kaesang Pangarep, Putra mantan Presiden Joko Widodo menjadi ikon dominan dalam wajah baru PSI.

Meski terpilih melalui sistem e-voting, netralitas proses dan kecenderungan partai yang lebih mengutamakan figur dibanding ideologi dipertanyakan.

Ketergantungan pada tokoh ini memunculkan keraguan atas fondasi kelembagaan PSI, yang tampaknya lebih bertumpu pada popularitas individu ketimbang platform ideologis atau programatik yang kuat.

Hal ini membuat PSI rentan terhadap guncangan internal jika tokoh sentral kehilangan daya tarik atau berpindah arah. Kritik lain menyasar lemahnya basis akar rumput PSI.

Dukungan untuk partai ini lebih banyak terlihat di ruang digital seperti media sosial daripada dalam jaringan komunitas nyata. Popularitas di TikTok dan Instagram memang mengangkat nama PSI di kalangan Gen Z dan milenial urban,

tetapi minimnya penetrasi ke wilayah pedesaan dan komunitas tradisional menunjukkan keterbatasan jangkauan.  Meskipun berupaya membangun citra sebagai partai terbuka dan meritokratis, langkah strategis PSI seringkali tidak sejalan.

Penunjukan tokoh, penempatan calon legislatif, hingga keputusan strategis partai kerap berpusat pada elite sempit, meskipun dibungkus jargon digitalisasi dan partisipasi. Ketika pengambilan keputusan tetap eksklusif, meskipun melalui e-vote atau kongres daring, keterbukaan hanya menjadi ilusi.

Masa Depan
Masa depan PSI sangat bergantung pada perubahan regulasi dan strategi internal partai. Jika ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang saat ini berada di angka 4% diturunkan, peluang PSI untuk masuk Senayan menjadi lebih realistis.

Namun, peluang itu akan sia-sia jika tidak diiringi dengan konsistensi terhadap prinsip awal seperti transparansi, keterbukaan, meritokrasi, dan akuntabilitas.

Jika PSI mampu mempertahankan sistem terbuka seperti e-vote, rekrutmen caleg berbasis seleksi publik, serta keterlibatan anggota secara aktif dalam menentukan arah partai, PSI memiliki potensi untuk menjadi partai modern.

Tantangan besar ke depan adalah menghindari jebakan politik “branding kosong.” Jika terlalu mengandalkan citra digital, tokoh populer, atau gimmick politik tanpa konsolidasi di akar rumput, akan sulit membangun loyalitas pemilih yang berkelanjutan.

Pemilih urban, yang menjadi basis utama PSI, cenderung cair dan kritis; mereka cepat tertarik, tetapi juga cepat kecewa. Masa depan PSI tidak hanya bergantung pada perubahan eksternal seperti threshold atau kebijakan pemilu, tetapi juga pada kematangan internal mereka sebagai organisasi politik.

Partai ini memiliki peluang menjadi pionir politik masa depan jika mampu menjaga ruh reformasi internal yang konsisten, membangun struktur organisasi yang mandiri, dan melepaskan ketergantungan dari narasi simbolik semata.

Saatnya Membuktikan
PSI telah menunjukkan keberanian dengan memperkenalkan sistem one member one vote, transparansi pemilihan, dan komunikasi terbuka. Keterbukaan ini harus menyentuh inti organisasi.

Politik tidak akan berubah hanya dengan wajah baru atau gaya komunikasi segar, tetapi melalui budaya organisasi yang sehat, meritokrasi kepemimpinan, dan keberanian menolak praktik lama yang penuh patronase.

Dalam hal ini, PSI perlu membuktikan bahwa keterbukaan mereka bukan sekadar pencitraan digital, melainkan identitas politik sejati.

Sudah waktunya membuka ruang partisipasi anggota yang lebih bermakna. Demokrasi tidak akan maju jika partai terus terjebak dalam struktur piramidal yang kaku dan personalisasi kekuasaan yang berlarut-larut.

Bukan hanya soal siapa yang menjadi ketua umum, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan dan diwariskan. PSI telah memulai langkah awal, kini saatnya membuktikan bahwa partai super terbuka bukan hanya slogan, tetapi langkah nyata menuju politik yang lebih sehat.

Artikel Terkait