Membangun Komunikasi yang Sejuk dan Kreatif

Share

Akhir-akhir ini, banyak narasi komunikasi publik yang justru bisa memperkuat kesenjangan antara publik dengan pemerintah. Tiga yang mengemuka, pertama ungkapan “otak kampungan” dari KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak.

Kedua adalah frasa “dimasak saja”, dari Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi. Ketiga respon yang diajukan Utut Adianto, Ketua Komisi 1 DPR RI tentang rapat di hotel, sebagai hal lumrah.

Narasi dan diksi yang dibangun seperti ini selain potensial membuat gaduh, juga dapat mengganggu, bahkan menurunkan kepercayaan publik pada pemerintah.

Komunikasi publik pemerintah mempunyai misi penyebaran informasi, kebijakan, dan program strategis kepada masyarakat. Ini merupakan aspek penting dalam pemerintahan karena membantu memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi, terlibat, dan mampu berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Menurut Dennis L. Wilcox dan Glen T. Cameron dalam bukunya Public Relations: Strategies and Tactics (2022), pemerintah dapat menggunakan Humas dalam berbagai cara untuk berkomunikasi secara efektif dengan publik, mengelola persepsi, dan mendorong kebijakan.

Pada konteks komunikasi publik, pejabat publik adalah juga Humas bagi lembaganya yang semestinya membangun hubungan baik dengan seluruh stakeholder, terutama masyarakat, agar dapat menciptakan kepercayaan, mengurangi konflik, dan memastikan bahwa pesan-pesan mereka diterima secara positif oleh masyarakat.

Selain itu, fungsi komunikasi publik bagi pemerintah adalah untuk mempromosikan kebijakan, inisiatif, dan program. Sudah menjadi kewajiban pejabat publik untuk berperan aktif menjelaskan undang-undang atau kebijakan baru, memberikan informasi kepada masyarakat program yang akan datang, dan mendorong dukungan atau partisipasi masyarakat.

Komunikasi pemerintah yang efektif bertujuan untuk membangun transparansi, kepercayaan, dan legitimasi, menumbuhkan pemahaman masyarakat mengenai tindakan dan inisiatif pemerintah sekaligus meningkatkan kemungkinan mereka untuk mendukung kebijakan tersebut.

Peran Medsos

Di era digital, menurut Anne Gregory (2020) peran media sosial dalam meningkatkan komunikasi dan keterlibatan real-time dengan publik meningkat. Karenanya, pemerintah harus menyesuaikan strategi komunikasi mereka agar tetap transparan, kredibel, dan responsif dalam lingkungan yang semakin digital.

Komunikasi Publik dinilai dari seberapa sering pejabat publik muncul di media dan bagaimana sentimen pemberitaan, juga seberapa aktif pejabat publik dalam mengelola informasi publik akun media sosialnya.

Diberitakan di media jelas menjadi standar bahwa pernyataan pejabat publik bernilai berita, sentimen pemberitaan akan menjelaskan tentang apakah pernyataan tersebut berdampak positif atau negatif. Sementara pengelolaan media sosial akan menjelaskan bagaimana pejabat publik bersikap aktif dalam berkomunikasi dengan publik.

Media sosial, hari ini, menjadi penting karena merujuk pada We Are Social (2024), dari 278 juta penduduk Indonesia 66,5% atau sekitar 185 juta masyarakat adalah pengguna internet, dan dari pengguna internet tersebut terdapat 139 juta adalah pengguna media sosial yang menghabiskan waktu lebih dari tujuh jam rata-rata setiap harinya untuk mengakses internet.

Artinya masyarakat akan mencari dan mendapatkan informasi lebih banyak melalui internet. Jika pejabat publik tidak aktif di internet maka komunikasi publik yang interaktif dengan publik tidak terjalin dengan baik.

Minim Komunikasi

Dalam riset terbaru yang penulis dan tim Data Indonesia Research Center lakukan, temuan yang pertama adalah ternyata tidak banyak pejabat publik yang muncul di pemberitaan media massa. Menjadi sumber berita di media massa bagi pejabat publik adalah salah satu cara untuk mensosialisasikan informasi publik, kebijakan juga program strategis.

DPR-RI misalnya sebagai lembaga legislasi, penting kiranya menjelaskan pada publik tentang undang-undang yang sedang dibahas, dan yang sudah ditetapkan. Penelitian ini justru menemukan tidak semua nama termuat dalam pemberitaan di detik.com dalam rentang waktu Oktober-Desember 2024, yakni hanya 58% dari total jumlah anggota DPR-RI.

Jikapun termuat sebagian besar hanya 1-2 artikel pemberitaan tentang pemberitaan asal daerah anggota dan atau pembagian komisi di awal pelantikan, sekitar bulan Oktober. Artinya tidak banyak yang langsung melakukan kegiatan dan ataupun tidak banyak memberi pernyataan di media massa terkait fungsi legislator sesuai komisi.

Penelusuran data lebih lanjut membaca dari asal Partai, anggota DPR-RI dari Partai Golkar yakni 62% dari 102 anggota, dan PKB yakni 62% dari 68 anggota yang lebih banyak diberitakan, lalu Gerindra 59%, PAN dan Nasdem 58%, PDIP dan PKS 57% dan Demokrat sebanyak 52% dari 44 anggotanya.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua anggota dinilai memiliki nilai berita, dan secara langsung memperlihatkan bagaimana media menilai kualitas pernyataan anggota DPR-RI dari partai-partai tertentu. Jika data dikerucutkan menjadi Top 25 Anggota DPR-RI dengan pemberitaan terbanyak, memang Puan Maharani mendapatkan posisi teratas, namun PDIP bersama Golkar sebagai partai dominan justru kalah “bersuara” dibandingkan Gerindra. Sementara itu Nasdem jauh lebih “nyaring” ketimbang PAN, Demokrat, PKB dan PKS.

Data juga menunjukkan bahwa komisi yang paling banyak menjadi pemberitaan adalah Komisi III yang mencakup bidang hukum. Komisi lainnya adalah Komisi I DPR RI bertugas di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen dan Komisi XI yang membidangi tentang budgeting (anggaran), dan Pengawasan.

Sementara Komisi X yang membidangi Pendidikan, Olahraga, Sains, dan Teknologi turut tercatat tinggi karena bertabur bintang di dalamnya seperti Denny Cagur, Once Mekel, Melly Goeslaw, Ashraff Abu, Verrel Bramasta, Ahmad Dhani, dan Surya Utama (Uya Kuya).

Menariknya dari data, terlihat Komisi II yang paling minim bersuara di media massa, Komisi II membidangi tentang bidang Dalam Negeri, Pertanahan, dan Pemberdayaan Aparatur. Memang jika merujuk pada laporan kinerja DPR-RI 2023-2024, undang-undang yang dihasilkan dari bidang ini lebih sedikit dibandingkan bidang lainnya. Selain itu dua komisi baru yakni Komisi XII dan Komisi XIII juga tidak banyak pemberitaan di media massa. Komisi XII membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral, Lingkungan Hidup, dan Investasi, sementara Komisi XIII melingkupi bidang Reformasi Regulasi dan Hak Asasi Manusia.

Komunikasi Eksekutif

Temuan data selanjutnya yaitu pemberitaan untuk menteri Kabinet Merah Putih, berbeda dengan anggota DPR-RI, dari 53 menteri semuanya tercatat pernah termuat dalam berita. Pada data 25 menteri yang paling banyak diberitakan (di atas 250 berita), di mana Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani adalah menteri yang paling sering diberitakan. Zulhas sebagai Menko Bidang Pangan memang banyak hal terkait ketika membicarakan swasembada beras, mulai dari ketahanan pangan, impor beras sampai kelangkaan pupuk. Airlangga Hartarto sebagai Menko Bidang Perekonomian dan dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan ketika pembahasan soal efisiensi anggaran dan pajak 12%.

Menarik jika diperhatikan sentimen pemberitaan, dari data Top 25 Menteri dengan pemberitaan terbanyak, sentimen positif muncul pada banyak pemberitaan tentang Nasarudin Umar (Menteri Agama), Yassierli (Menteri Ketenagakerjaan), dan Pratikno (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan).

Berbeda dengan data anggota DPR-RI dan Menteri Kabinet Merah Putih, dari sisi akademisi, yang direpresentasikan oleh Rektor dari 100 Universitas terakreditasi unggul, dan dari direktur utama BUMN, ternyata tidak banyak yang menjadi sumber berita. Analisa yang dapat dibaca dari interteks dengan amatan lain pada data akademisi adalah rektor, baru mendapatkan sorotan jika ada kasus, pelantikan atau event institusi berskala nasional dan internasional.

Rektor senyatanya jarang sekali menulis opini di media massa terkait kepakarannya, atau juga diminta memberikan pernyataan terkait permasalahan sosial budaya. Akademisi yang dijadikan referensi jurnalis adalah peneliti atau aktivis, sehingga pada beberapa kasus, suara akademisi justru berbeda keberpihakan dengan institusi.

(Data selengkapnya dari riset Data Indonesia Research Center, akan disajikan dalam Politik Indonesia edisi Mei 2025).

Artikel Terkait