Shalih Mangara Sitompul - Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Masalah Suap Menyuap dan Hak Imunitas Advokat – Oleh Shalih Mangara Sitompul

Share

Hak imunitas advokat merupakan prinsip fundamental yang secara eksplisit dijamin oleh hukum positif, khususnya dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Prinsip ini penting karena melindungi advokat dalam menjalankan profesinya secara mandiri dan independen tanpa khawatir akan tuntutan hukum, sepanjang dilakukan berdasarkan itikad baik (good faith). Namun, isu ini seringkali menjadi kontroversi dalam praktik hukum, karena adanya potensi penyalahgunaan hak tersebut oleh oknum advokat.

Secara konseptual, itikad baik menjadi landasan utama berlakunya hak imunitas advokat. Pasal 16 UU Advokat secara tegas menyebutkan bahwa advokat tidak
dapat dituntut secara perdata maupun pidana atas tindakan yang dilakukannya dalam rangka tugas profesi, sepanjang tindakan tersebut berlandaskan itikad baik.

Landasan ini diperkuat dengan adanya putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 tertanggal 14 Mei 2014 yang menyatakan bahwa Pasal 16 Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.

Doktrin itikad baik dalam konteks hukum perdata, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Subekti, menempatkan prinsip ini sebagai ukuran objektif perilaku hukum seseorang, termasuk advokat dalam menjalankan tugasnya.

Syarat pokok itikad baik bagi advokat yang penting diperhatikan adalah:
1. Menjalankan tugas secara profesional, tunduk pada kode etik dan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Bertujuan melindungi kepentingan hukum klien secara sah, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
3. Bebas dari segala unsur manipulasi, penipuan, atau pelanggaran hukum.

Bisa Gugur
Sebagai ilustrasi, seorang advokat tidak dapat dituntut karena bersikeras membela kepentingan hukum kliennya di hadapan persidangan, sekalipun bukti sebaliknya tersedia bagi penuntut umum ataupun pihak lawan dalam perkara perdata, selama pernyataan tersebut didasarkan pada interpretasi fakta hukum yang sah.

Sebaliknya, jika advokat sengaja menyembunyikan bukti atau memberikan keterangan palsu, maka hak imunitas tersebut gugur karena melanggar prinsip dasar itikad baik. Dalam praktiknya, terdapat garis tipis yang membedakan antara perlindungan profesi advokat dengan penyalahgunaan hak imunitas.

Perlindungan profesi mencakup beberapa hal penting, antara lain kebebasan mengemukakan pendapat secara profesional dalam persidangan, pembelaan klien secara optimal dengan memanfaatkan celah hukum secara etis, serta kewajiban menjaga kerahasiaan klien.

Perlindungan ini bertujuan untuk menjamin tegaknya keadilan tanpa rasa takut akan ancaman hukum. Sebaliknya, penyalahgunaan hak imunitas terjadi ketika advokat melampaui batasan etis dan hukum,

seperti menerima suap, memalsukan dokumen, atau bahkan menghasut klien untuk melakukan tindak pidana baru.

Kasus hukum yang melibatkan Djoko Tjandra menjadi contoh nyata bagaimana dugaan penyalahgunaan imunitas advokat terungkap melalui upaya membantu klien menghindari proses hukum.

Peristiwa semacam ini menegaskan bahwa hak imunitas bukanlah “kekebalan absolut,” melainkan hak yang melekat erat pada tanggung jawab etik profesi advokat.

Prinsip Itikad Baik
Penegakan prinsip itikad baik dalam hak imunitas advokat menghadapi beberapa tantangan praktis. Pertama, sulitnya membedakan antara strategi hukum yang agresif namun sah dengan tindakan yang secara nyata melanggar hukum.

Kedua, subjektivitas penafsiran mengenai standar itikad baik oleh lembaga yang berwenang, seperti Pengadilan maupun Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Ketiga, adanya tekanan eksternal yang berpotensi membuat advokat terjebak antara maksimalisasi perlindungan klien dengan risiko laporan oleh pihak lawan.

Mengatasi tantangan ini memerlukan mekanisme pengawasan yang kuat, yaitu melalui internal PERADI. Selain itu, perlu adanya penerapan sanksi tegas bagi advokat yang terbukti menyalahgunakan hak imunitas,

sekaligus program edukasi publik untuk memperjelas pemahaman masyarakat bahwa hak imunitas bukan “hak istimewa” yang absolut.

Sebagai kesimpulan, hak imunitas advokat adalah instrumen vital dalam menjamin independensi profesi advokat demi tegaknya keadilan. Namun, implementasinya harus selalu berpijak pada prinsip itikad baik.

Advokat, sebagai profesi yang menyandang predikat officium nobile (profesi mulia), dituntut bukan hanya memperjuangkan kemenangan klien semata, tetapi juga integritas dan keadilan.

Oleh sebab itu, perlindungan imunitas profesi harus seiring dengan peningkatan integritas pribadi dan profesional setiap advokat. Dalam narasi ini, tepat dikatakan bahwa,

“hak imunitas adalah pedang bermata dua: melindungi kebebasan advokat, tetapi sekaligus menguji integritasnya.”

Sebuah tantangan besar yang menuntut komitmen penuh dari seluruh elemen profesi advokat di Indonesia.
***

Dr. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H. sendiri menyelesaikan S1 di Universitas Islam Indonesia, S2 dan S3 di Universitas Padjadjaran.

Merupakan advokat senior dan pakar hukum, memiliki Kantor Advokat dan Konsultan Hukum, serta aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.

Aktif dalam berbagai organisasi advokat, pernah menjadi Wakil Ketua Umum DPP IKADIN, dan saat ini merupakan Wakil Ketua Umum
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Artikel Terkait