Ketika penulis memimpin Badan Pengkajian MPR RI, tahun 2014, Fraksi Partai Gerindra posisinya cukup ekstrim. Kalau ada keinginan untuk mengamandeman ulang,
UUD Negara Republik Indonesia 1945 (nama resmi setelah diamandemen), Gerindra justru ingin kembali sepenuhnya ke UUD 1945 asli (sebelum diamandemen).
Menurut Wakil Ketua Badan Pengkajian saat itu,Martin Hutabarat, memang kembali pada UUD 1945 ada pada misi perjuangan Partai Gerindra, dan tercantum dalam AD/ART.
Almarhum Permadi SH saat saya wawancara mengatakan pindah dari PDIPerjuangan ke Gerindra karena tertarik pada platform perjuangan untuk Kembali ke UUD 1945 (asli).
Sedangkan fraksi lain ada yang ingin bertahan UUD seperti yang ada sekarang. Sebagian besar fraksi ingin kalaupun ada amandemen pada bagian tertentu saja.
Ketidakpuasan terhadap amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, memang sering kali dikemukakan.
Termasuk yang dimotori para purnawirawan TNI-Polri, dan mantan Wapres Try Sutrisno. Bahkan secara akademis tidak sedikit pakar mendukung dengan argumentasi yang kuat.
Prof. Kaelan, guru besar Filsafat UGM, berpendapat bahwa amandemen UUD 1945, khususnya yang terjadi pada tahun 2002, lebih tepat disebut sebagai penggantian, bukan sekadar amandemen.
Ia berargumen bahwa perubahan yang dilakukan sangat substansial, mengubah hampir 90% pasal-pasal UUD, sehingga tidak lagi koheren dengan nilai-nilai
Pancasila. Amandemen tersebut lebih dipengaruhi oleh sistem liberalisme daripada Pancasila.
Peluang Kecil
Bagaimanapun UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini adalah konstitusi yang sah. Apapun yang akan dilakukan, secara Hukum Tata Negara harus berbasis UUD ini sendiri.
Memang disediakan jalan untuk mengamandemen UUD, bahkan kembali total ke UUD sebelum amandemen sekalipun. Asal prasyaratnya terpenuhi. Jadi apa yang akan diubah, tidak begitu signifikan, asal yang penting, prosedurnya bisa dilalui.
Jangankan untuk mengubah 180 derajat, penah untuk mengembalikan kewenangan MPR RI menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) saja, tidak bisa memenuhi syarat sesuai Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.
Termasuk perjuangan DPD RI untuk menambah kewenangan yang lebih signifikan bagi sebuah lembaga tinggi negara. Perubahan termasuk secara total kembali UUD sebelum amandemen, harus memenuhi Pasal 37 UUD NRI 1945, yang lengkapnya sebagai berikut:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang- Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang- Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Pengalaman selama ini, untuk melewati ayat 1 pasal 37 ini, tidak pernah berhasil. Apalagi menyiapkan kajian teknis untuk memenuhi ayat 2, jika semua pasal akan diubah total.
Dampak Ketatanegaraan
UUD 1945 hasil amandemen, sudah berlaku 25 tahun, dan usaha untuk menyempurnakan kembali tidak pernah berhasil. Ketika ada usulan yang sudah disepakati saja untuk mengubah satu atau dua pasal,
akhirnya mentah di tengah jalan, karena ada kekhawatiran begitu perubahan dibuka, akan menjadi kontak pandora munculnya berbagai agenda tambahan.
Belum lagi menghitung dampak politik maupun ketatanegaraan. Selama 25 tahun, sudah sangat banyak regulasi, mulai dari undangundang dan peraturan pelaksana di bawahnya yang berbasis pada UUD paska amandemen.
Pemerintah yang waktunya terbatas lima tahun, pasti berhitung kalau harus menanggung dampak politik pro kontra dan kegaduhan selama proses perubahan atau pergantian UUD tersebut.
Energi akan terkuras habis, sementara rakyat akan terus menagih janji kesejahteraan, di tengah situasi politik dan ekonomi dunia yang penuh tantangan saat ini.
Jadi kesimpulannya, amandemen untuk menyempurnakan UUD yang ada merupakan gagasan baik-baik saja. Namun perubahan apalagi penggantian total yang akan menimbulkan gelombang besar politik nasional, kemungkinannya sangat kecil untuk berhasil.
***