Kristomei menyampaikan pernyataan untuk menanggapi penambahan kementerian/lembaga (K/L) yang dapat diisi oleh prajurit TNI dari semula 10 menjadi 14, dan pengaruhnya terhadap meritokrasi sipil.
“Jadi, sesuai dengan Pasal 47, tentang kewenangan, tentara aktif boleh masuk ke institusi kementerian atau lembaga sipil, justru bukan perluasan kewenangan, tetapi pembatasan, penegasan,” ujarnya dalam webinar, Selasa, 25/03/2025.
Ia menjelaskan bahwa penegasan pembatasan diperlukan sebab sejak 2004 sudah ada sejumlah tentara aktif yang menjabat di empat K/L yang
kemudian baru diatur dalam revisi UU TNI baru.
Misalnya kejadian pada 2020, ketika seorang almarhum Doni Monardo memimpin BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Pada saat itu, tidak ada
di dalam undang-undang kalau seorang tentara aktif bisa.
“Tetapi nggak ada yang protes pada saat itu. Sekarang dituangkan dalam undang-undang,” jelasnya.
Rapat Paripurna DPR RI Ke- 15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 pada Kamis (20/3) menyetujui RUU TNI untuk disahkan menjadi Undang-Undang TNI baru. Prajurit TNI aktif kini sudah bisa menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga setelah RUU TNI resmi disahkan menjadi UU TNI oleh DPR.
Jangan Membuat Malu
Kristomei Sianturi pun memberikan peringatan, agar para prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil tidak melakukan halhal yang membuat malu nama TNI. Karena selama mereka menduduki jabatan sipil, mereka juga masih tercatat sebagai anggota TNI aktif.
Nama baik TNI harus bisa dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan saat dia berdinas di kementerian/lembaga yang membutuhkan. Dalam mengisi jabatan sipil ini, Kristomei menuturkan sebelumnya terdapat proses seleksi oleh Mabes TNI.
Kristomei juga menekankan aturan ini dibuat untuk memastikan bahwa perwira aktif yang menduduki jabatan sipil tetap berada dalam kendali dan sesuai dengan kepentingan nasional.
Setelah revisi UU TNI, prajurit aktif diperbolehkan menempati jabatan di 14 kementerian/lembaga. Sebelumnya, dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, hanya
diizinkan di 10 kementerian/ lembaga.
“Tambahannya yaitu BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Bakamla (Badan Keamanan Laut), serta Kejaksaan Agung,” katanya.
Tentara Profesional
Kristomei Sianturi mengatakan, generasi muda TNI pada saat ini tidak mau dwifungsi terjadi, tetapi ingin menjadi tentara profesional. Saat ini, generasi
muda TNI tak banyak yang pernah merasakan nikmatnya dwifungsi ABRI.
“Saya lulusan Akademi Militer tahun 1997, pangkat bintang satu saat ini, tidak pernah merasakanI,” katanya.
Generasi muda TNI ingin sebagai tentara yang profesional untuk ke depan sesuai dengan jatidirinya , yakni sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara
nasional, tentara profesional. Tidak ingin kembali ke dwifungsi TNI seperti pada masa lalu.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa kerisauan mengenai pengaktifan dwifungsi TNI tidak beralasan. Sementara itu, untuk mewujudkan tentara yang
profesional, dia mengatakan bahwa perlunya penyediaan alat utama sistem senjata (alutsista), sehingga prajurit dapat berlatih dan bertugas dengan baik.
Satelit Navigasi
Kristomei Sianturi, menyampaikan harapannya agar Indonesia dapat memiliki satelit navigasi sendiri pasca revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Ya, dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 ini, harapan kami ke sana. Kami juga pengen punya satelit sendiri,” tambahnya.
Pernyataan ini disampaikan menanggapi pertanyaan mengenai peluang Indonesia memiliki satelit navigasi setelah penanggulangan ancaman siber dimasukkan sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam revisi UU TNI.
Kemandirian Siber
Kristomei menekankan pentingnya kemandirian teknologi, khususnya di bidang pertahanan. Artinya, dengan sudah diamanatkan bahwa TNI bisa membantu dalam mengatasi ancaman siber.
“Kami tidak mau tergantung sama negara lain,” jelasnya.
Namun, ia mengakui bahwa keinginan ini harus disesuaikan dengan kemampuan negara saat ini. Langkah menuju kemandirian alutsista, termasuk satelit navigasi, harus diimbangi dengan peningkatan kualitas prajurit.
“Ingat, tentara profesional itu harus well trained, terlatih dengan baik. Kemudian, harus well equipped, alutsistanya harus bagus, senjatanya harus baik, perlengkapannya harus baik,” ujarnya.
Kristomei menegaskan bahwa upaya modernisasi TNI memerlukan dukungan penuh dari pemerintah, terutama dalam hal anggaran. “Sehingga bisa dialokasikan buat senjata, satelit, dan sebagainya,” jelasnya.
Selain itu, kesejahteraan prajurit juga menjadi faktor penting dalam membangun TNI yang profesional.
Sumber : Antara dan Tribunnews