Jaya Suprana - Budayawan / Pendiri MURI

Jaya Suprana – Bangun Kebanggaan Nasional Soeharto Jadi Pahlawan

Share

Menyebut nama Soeharto adalah membuka kembali lembaran besar sejarah Indonesia. Bagi budayawan Jaya Suprana, di balik segala kontroversi, Soeharto adalah sosok yang pernah menghadirkan stabilitas dan pembangunan bagi bangsa ini.

Pak Harto ibarat sosok guru jarak jauh bagi saya,” katanya. Pemberian penghargaan gelar Pahlawan Nasional, tambahnya harus menimbang jasa yang nyata, bukan hanya menyoroti kekhilafan dan kekuranganya.

Pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI) tersebut menyatakan bahwa menilai Soeharto harus berlandaskan kejujuran sejarah, bukan dendam masa lalu.

“Saya mendukung penuh perjuangan mengangkat Pak Harto menjadi pahlawan nasional. Saya adalah bagian dari generasi yang merasakan langsung kemajuan Indonesia berkat beliau,” jelasnya.

Ia tidak menampik bahwa perjalanan bangsa Indonesia penuh dengan nuansa hitam dan putih. Namun dalam konteks kepemimpinan nasional, Jaya menilai Soeharto memiliki kontribusi monumental, terutama dalam membangkitkan ekonomi Indonesia dari keterpurukan.

“Suka tidak suka, kita harus akui kondisi ekonomi pada masa Pak Harto jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Lama. Indonesia dari negara miskin, mulai menjadi negara berkembang, hingga masuk ke jajaran 20 negara dengan ekonomi terbaik dunia,” ungkapnya .

Tanpa Dendam
Jaya Suprana tidak menutupi sisi gelap sejarah yang menyentuh keluarganya secara langsung. Ayah kandungnya adalah salah satu korban hilang pada prahara pasca peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965.

“Ayah saya di Bali hilang. Sampai sekarang tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Tapi saya tidak dendam kepada siapa pun, termasuk Pak Harto,” ujar Jaya.

Ia menegaskan, tidak ada bukti yang menunjukkan Soeharto secara pribadi memerintahkan kekerasan. “Bagi saya, minimal secara subjektif, Pak Harto bukan orang jahat. Saya yakin beliau tidak menghendaki saudara sebangsa saling bunuh,” tambahnya.

Mengenang masa-masa keemasan pemerintahan Soeharto, Jaya juga menyoroti sosok-sosok penting seperti Suparjo Rustam, Sudomo, dan Surono, yang menurutnya membentuk “dream team” kabinet terbaik Indonesia.

Ia bahkan mengingat momen gerakan anti pungutan liar (pungli) yang dipelopori Sudomo, membawa perubahan riil hingga ke dunia pendidikan.

Karisma Mencekam
Jaya Suprana berbagi pengalaman pribadinya, pertemuan langsungnya dengan Presiden Soeharto, sosok yang dijuluki The Smiling General oleh penulis asing. Meskipun tidak sering bertatap muka, momen yang dialaminya justru meninggalkan kesan yang mendalam.

Pertemuan itu terjadi dalam konteks pelantikan Jaya Suprana sebagai Duta Palang Merah Indonesia (PMI) oleh Presiden Soeharto. Didampingi dua tokoh
besar, Suparjo Rustam dan Ibnu Sutowo, Jaya mengingat dengan detail suasana yang terjadi.

“Senyum beliau berbeda. Kalau saya mungkin cengengesan, beliau itu tersenyum penuh wibawa. Ada kekuatan tertentu yang membuat siapapun merasa segan,” katanya.

Saat pertama kali membantah, Soeharto tetap tersenyum dan diam. Merasa tidak cukup, Jaya mencoba membantah lagi. Kali ini, ia merasakan perubahan yang
menggetarkan.

“Beliau tetap tersenyum, tapi lirikan matanya, hanya lirikan, membuat saya mengkeret. Seolaholah kepala beliau membesar, saya shock. Seperti tiwikrama,” katanya.

Menurutnya, Soeharto memiliki karisma kepemimpinan yang terpancar kuat, sesuatu yang tidak bisa dibuat-buat atau diajarkan.

Pemimpin Budaya
Tak hanya sebagai teknokrat, bagi Jaya, Soeharto adalah sosok pemimpin budaya yang menguasai kearifan lokal Jawa secara mendalam.

“Saya berguru kepada Pak Harto, walaupun jarak jauh, layaknya Ekalaya berguru pada Drona dalam kisah Mahabharata,” tuturnya.

Pak Harto memahami filsafat Jawa dengan luar biasa. Filsafat Aja Dumeh (jangan sombong) bagi Jaya lebih dalam daripada kearifan Shakespeare, Sartre, Goethe, atau siapa pun.

Ia menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia, termasuk Jawa, layak memiliki filsafatnya sendiri. Jaya menambahkan, Soeharto juga memperkenalkan ajaran
kepemimpinan luhur seperti mikul duwur mendem jero, sebuah konsep pengabdian yang penuh rasa hormat.

“Kalau bukan orang Jawa, pasti mumet memahami itu. Tapi bagi saya, itu ajaran kepemimpinan yang sangat menyentuh,” ungkapnya.

Manusia Biasa
Meskipun mengagumi Soeharto, Jaya tidak menutup mata bahwa sebagai manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan.

“Siapa sih manusia yang sempurna? Abraham Lincoln, Benjamin Franklin, bahkan Donald Trump pun tidak sempurna,” tambahnya.

Menurut Jaya, memperjuangkan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto adalah langkah wajar. Namun ia berpesan, jika itu terjadi, maka keadilan sejarah juga harus ditegakkan bagi presiden lain yang berjasa.

“Kalau Pak Harto dipahlawankan, ya Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY juga harus diperjuangkan. Semuanya berjasa dengan caranya masing-masing,
walaupun tak ada yang sempurna,”  tandasnya.

Kebanggaan Nasional
Jaya Suprana menegaskan dalam pandangannya bahwa seluruh presiden Indonesia layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Menurutnya, seseorang
tidak mungkin mencapai posisi presiden tanpa memiliki keistimewaan dan pengorbanan luar biasa.

Mengenai manfaat dan kerugian jika Soeharto diberi gelar pahlawan nasional, Jaya menjawab lugas. Sebagai pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI),
sangat paham betapa pentingnya penghargaan untuk membangun kebanggaan nasional.

Bangsa Indonesia ini termasuk yang paling rendah rasa bangganya terhadap dirinya sendiri,” jelasnya.

Ia menyoroti mentalitas umum masyarakat Indonesia yang lebih mengagungkan produk asing ketimbang hasil karya dalam negeri.

Menurut Jaya, menganugerahkan gelar pahlawan kepada presiden, termasuk Soeharto, bagian dari membangun semangat nasionalisme yang sehat, bukan berarti mengabaikan kekurangan atau kesalahan masa lalu.

Harus Legawa
Menyinggung soal gelar pahlawan itu bisa dikreasi atau diciptakan, Jaya Suprana menegaskan bahwa status sebagai pahlawan nasional bukanlah sesuatu yang bisa dikreasi atau dipaksakan,

melainkan merupakan bentuk penghargaan yang hanya bisa diberikan oleh pihak berwenang dengan sikap kelegawaan dan kebijakan.

“Anugerah kepahlawanan nasional itu bukan di tangan rakyat. Kita tidak bisa memaksakan. Kita hanya bisa menyarankan, mendukung, atau tidak keberatan.
Tapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan yang berwenang,” katanya.

Saat ditanya tentang perasaan rakyat terkait usulan agar Presiden Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional, Jaya menjawab realistis. Ia yakin tidak semua rakyat Indonesia setuju.

Menurutnya, yang terpenting adalah keikhlasan dalam memperjuangkan nilai yang diyakini benar, tanpa terlalu memikirkan hasil akhir. Jaya Suprana mencontohkan semangat para pejuang kemerdekaan dulu.

“Pejuang-pejuang kita juga tidak pernah yakin pasti akan merdeka. Tapi mereka terus berjuang dengan gigih, dengan segala keterbatasan yang ada.”

Jaya Suprana juga menyampaikan apresiasinya kepada pihak yang menginisiasi dukungan ini. Ia mengklarifikasi bahwa dirinya memang tidak terlibat langsung dalam pengusulan resmi, tetapi secara moral mendukung penuh gerakan tersebut.

“Saya kira waktu Pak Bambang mengumumkan lewat WA, saya mungkin orang pertama yang menyatakan setuju. Karena itu saya dukung penuh,” tuturnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait