Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah,” kata Pak Dirman yang memilih meneruskan perjuangan gerilya di tengah prajurit dan
rakyat.
Memimpin perang gerilya selama kurang lebih 7 bulan sebagai wujud tanggung jawab pemimpin agar mampu memahami kesulitan yang dihadapi oleh anak buah dan rakyat yang mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan saat itu.
Dengan ditandu karena menderita penyakit paru-paru, pak Dirman melakukan perjalanan naik gunung turun gunung, masuk ke luar hutan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tak jarang Panglima Besar itu terpaksa kekurangan makanan selama beberapa hari. Rakyat menjadi tumpuannya.
Perang gerilya yang dilancarkan tentara bersama rakyat tersebut, akhirnya berhasil mematahkan Belanda dan selanjutnya kemudian mengajak berunding. Formula kebersamaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tengah masyarakat inilah, yang terus menjadi semangat peran sertanya dalam pengabdian pada bangsa dan negara di kemudian hari.
Pengalaman Orde Baru
Dengan latar belakang sejarah kebersamaan tentara dengan rakyat tersebut, kemudian berlanjut dalam peran kesejarahan TNI selanjutnya. Para perwira tinggi TNI, ikut berperan dalam kepemimpinan badan usaha milik negara, yang diambil alih dari kepemilikan asing, terutama Belanda.
Juga hadir dalam pemerintahan, baik di pusat sebagai Menteri, maupun menjadi gubernur di banyak daerah. Termasuk di lembaga negara seperti DPR/MPR RI. Ketika Jenderal Soeharto menjadi presiden, dengan konsep dwifungsi ABRI, tentara mengisi kepemimpinan di banyak bidang.
Mulai dari wakil presiden, Menteri, gubernur, bupati/walikota, direksi BUMN, rektor perguruan tinggi, dan lain lain. Begitu besarnya peran TNI, kemudian juga ditambah dengan Polri, di hampir semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, menyebabkan mundurnya konsep demokrasi.
Apalagi jika diukur dari demokrasi Barat yang menumpukan pada supremasi sipil. Koreksi besar-besaran terjadi saat Reformasi 1998/1999 yang mengamandemen Undang-Undang Dasar dan mengubah banyak undang-undang.
Fraksi TNI/Polri dihapuskan, untuk duduk di DPR/MPR RI, untuk duduk di parlemen harus ikut Pemilu dan pensiun. Untuk menjadi kepala daerah, juga harus pensiun dan mengikuti Pilkada secara demokratis.
Sayap politik dalam struktur TNI dihilangkan. Bandul demokrasi bergeser total. Peran TNI/Polri diminimalkan dalam dalam kegiatan politik dan pemerintahan.
Jalan Tengah
Revisi Undang-Undang TNI, mencoba mencari jalan tengah dan menarik bandul dari ekstrim ke porsi yang lebih proporsional.
Pertama soal pensiun, dengan dinamika makin bertambahnya usia harapan hidup, tingkat kesehatan yang lebih baik, dan aset SDM terlatih dan terukur, yang masih potensial untuk berperan dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Disisi lain aparatur sipil negara (ASN) dan Polri juga sudah mengalami perubahan usia pensiunnya.
Kedua, pembatasan bidang-bidang yang bisa dimasuki anggota TNI aktif diperjelas. Ini memudahkan untuk mengukur, bahwa semua kebijakan harus berbasis undang-undang.
Ada beberapa catatan, terkait keputusan ini, yang ternyata juga menimbulkan kontroversi dan pro kontra di masyarakat. Pemerintah dan lembaga negara seperti lembaga legislatif dan eksekutif harus melaksanakan kesepakatan undang-undang ini secara konsekuen dan konsisten.
Tidak ada lagi hak prerogratif atau diskresi untuk menyimpangi kepastian hukum yang sudah disepakati. Penugasan personil TNI/Polri di luar matra utamanya, benar-benar berdasarkan kebutuhan yang obyektif, dan didukung oleh kapabilitas dan profesionalitas dari individu yang akan diberi tugas untuk itu.
Selebihnya masyarakat, termasuk akademisi, LSM, mahasiswa, dan para tokoh, bisa terus mengambil posisi kritis jalan tengah peran TNI/Polri ke depan punya dampak dan manfaat yang maksimal.***