Dr. H. Herman Kadir, SH, M.Hum, advokat senior menegaskan bahwa kunci kemuliaan profesi advokat terletak pada keberanian menjaga integritas di tengah godaan uang dan kekuasaan.
Advokat senior, Dr. H. Herman Kadir, SH, M.Hum, membuktikan bahwa karier panjang bukan hanya soal prestasi, tetapi juga tentang menjaga prinsip dan dedikasi terhadap keadilan.
“Ketika advokat rusak, maka rusaklah keseluruhan sistem keadilan,” tegasnya.
Untuk memulihkan marwah hukum Indonesia, generasi baru advokat dituntut membangun reputasi lewat kecerdasan hukum, profesionalisme, dan keberanian moral, bukan dengan jalan pintas melalui suap.
Tak butuh waktu lama ssejak mulai membuka kantor hukum sendiri, Herman langsung mengukir prestasi dengan menangani perkara-perkara besar. Salah satunya adalah kasus korupsi faktur fiktif perpajakan senilai Rp 96 miliar pada pertengahan 90-an, dan kasus pembobolan BNI senilai Rp1,7 triliun pada tahun 2003.
“Itu perkara yang luar biasa. Hampir setiap lima menit saya diwawancarai wartawan, baik nasional maupun lokal,” ungkapnya.
Tak hanya dalam kasus pidana berat, kiprahnya juga meluas ke Mahkamah Konstitusi. Ia pernah menjadi ujung tombak dalam berbagai sengketa Pilpres, Pilkada, hingga Pileg, terutama saat masih bernaung di Partai Amanat Nasional (PAN).
Jati Diri Aktivis
Di balik karier panjangnya , ada konsistensi Herman Kadir dalam membangun jejaring sosial. Sejak masa kuliah, ia aktif di berbagai organisasi mahasiswa, KNPI, Menwa, Senat Mahasiswa, hingga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagi Herman, semua itu bukan sekadar aktivitas, melainkan investasi sosial yang kelak memperkuat perannya sebagai advokat dan politisi.
“Seorang lawyer itu harus banyak relasinya. Kalau tidak, berat untuk dapat perkara. Saya dari mahasiswa sudah aktivis, dan jaringan itulah yang terus saya bangun,” katanya.
Perjalanan ke dunia politik pun tidak membuatnya meninggalkan dunia hukum. Tahun 2009–2014, saat menjadi anggota DPR RI, ia sempat mengambil cuti dari profesi advokat. Namun, usai masa jabatannya, ia kembali ke profesi awal dengan penuh semangat.
Herman Kadir lebih banyak menangani perkara-perkara bernuansa sosial. Ia bergabung dalam tim hukum yang membela hak-hak masyarakat bersama LSM. Ia juga menjadi koordinator tim hukum Edi Mulyadi, seorang aktivis yang sempat menghadapi tuntutan berat.
“Alhamdulillah, Ediitu dituntut 9 tahun oleh jaksa, divonis cuma 7 bulan. Artinya, kita berhasil membela kebenaran,” ujarnya.
Sekarang lebih berkiprah di perkara-perkara sosial. Merasa sudah tua, jadi pilih-pilih perkara yang lebih bermanfaat untuk masyarakat luas.
Fenomena banyaknya advokat yang akhir-akhir ini terlibat kasus suap, pelanggaran kode etik, dan bahkan dibatalkan sumpahnya oleh Mahkamah Agung menunjukkan adanya degradasi serius dalam sebagian praktik profesional di dunia advokat Indonesia.
Pelanggaran kode etik terjadi karena sebagian advokat terlalu arogan dan overacting dalam menjalankan tugas. Secara prinsip, contempt of court merupakan pelanggaran berat dalam hukum, karena merusak kehormatan dan integritas proses peradilan.
Dalam standar internasional maupun ketentuan UU Advokat, dan Kode Etik, perilaku menghina pengadilan termasuk kategori pelanggaran berat yang dapat berujung pada pencabutan izin profesi.
Sementara itu, dari segi perpecahan organisasi advokat, dimulai pembentukan PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) bertujuan memenuhi amanat UU No. 18/2003 tentang wadah tunggal advokat. Namun, kegagalan kepemimpinan dalam melaksanakan kongres sesuai ketentuan UU, yang disorot tokoh senior seperti Adnan Buyung Nasution, menyebabkan lahirnya Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagai pecahan dari PERADI.
“Perpecahan semakin melebar. Data dari Mahkamah Agung menunjukkan saat ini ada sekitar 90 organisasi advokat yang terdaftar, menandakan tidak adanya sentralisasi atau kesatuan dalam wadah profesi ini,” katanya.
Motivasi Banyak Organisasi
Motivasi pendirian organisasi baru tidak semata karena idealisme, melainkan lebih karena dorongan ambisi kekuasaan, prestise, dan peluang bisnis. Menjadi ketua organisasi advokat memperbesar peluang mendapatkan klien, karena dalam persepsi pasar hukum, figur ketua organisasi diasosiasikan dengan kompetensi, koneksi, dan pengaruh.
Menurut Herman Kadir, advokat yang ingin dikenal luas dan mendapatkan banyak klien seharusnya mengutamakan profesionalisme, bukan sekadar mengejar jabatan atau popularitas media. Profesionalisme diukur da Kemampuan teknis membela klien. Integritas moral. Konsistensi dalam menjaga etika profesi.
Namun realitas lapangan menunjukkan ada pula advokat yang tidak terkenal secara profesional, tetapi membangun jaringan melalui jalur “mafia peradilan”, sebagaimana terungkap dari kasus suap besar yang menyeret advokat.
Dunia advokat Indonesia menghadapi tantangan besar, baik dari segi moralitas individu maupun tata kelola organisasi. Pembenahan diperlukan melalui penguatan kode etik, konsolidasi organisasi, pengawasan ketat dari lembaga peradilan, serta perubahan budaya profesi yang lebih menekankan kualitas dan integritas dibanding sekadar prestise dan akses kekuasaan.
Permasalahan utama dalam dunia advokat saat ini adalah bagaimana mempertahankan keseimbangan antara memperoleh pendapatan, dengan tetap menjaga integritas hukum dan menjadi teladan moral, sambil tetap berinteraksi profesional dengan aparat penegak hukum (APH) seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Herman Kadir menegaskan bahwa solusi utama untuk menghindari praktik ilegal seperti suap adalah dengan membangun hubungan hukum yang jelas melalui kontrak kerja profesional dengan klien. Dalam praktik profesional, penentuan fee didasarkan pada kesepakatan yang sah dan adil, sesuai standar profesi. Tidak ada ruang untuk praktik suap, sogok, atau lobi gelap.
Tokoh Besar
Herman Kadir menyebut, tokoh-tokoh seperti Adnan Buyung Nasution, Haryono Tjitrosubono, dan Yap Thiam Hien membuktikan bahwa profesionalisme, keberanian, dan ketokohan moral mampu membawa kesuksesan tanpa harus melanggar hukum.
Mereka berhasil menyeimbangkan penerimaan dari klien besar dengan komitmen membantu masyarakat kecil, bahkan secara pro bono. Mereka dihormati oleh Aparat Penegak Hukum (APH), polisi, jaksa, dan hakim ,tanpa perlu pendekatan pragmatis berbasis uang, melainkan berbasis wibawa moral dan ketokohan hukum.
Dikatakan hubungan dengan APH dibangun melalui komunikasi yang sehat, saling menghormati, dan membangun jejaring institusional. Organisasi advokat seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI) secara aktif membangun hubungan baik dengan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Komisi Yudisial tanpa praktek suap.
Menegakkan Marwah Advokat Yakin Dapat Balasan Keberkahan
Herman Kadir menggarisbawahi bahwa membela masyarakat kecil tanpa bayaran, tidak membuat advokat miskin, tetapi justru memperkaya nilai spiritual dan sosial.
Dalam sudut pandang agama dan sosial, bantuan kepada masyarakat lemah akan mendapatkan balasan melalui keberkahan dan rezeki lain, tanpa perlu manipulasi jalur ilegal.
Kunci kesuksesan advokat sejati bukan pada manipulasi relasi dengan APH, melainkan pada ketokohan, profesionalisme, komunikasi strategis, dan integritas moral. Penerapan standar kontrak kerja, keberanian membela kebenaran, serta relasi etis dengan APH adalah fondasi keseimbangan antara pendapatan, keteladanan, dan keberlanjutan karir advokat di Indonesia.
Secara jujur Dr. Herman mengakui bahwa saat ini sulit menemukan tokoh advokat besar yang sepenuhnya bebas dari bayang-bayang mafia peradilan. Walaupun ada, jumlahnya relatif sedikit dan tidak menonjol secara publik seperti generasi terdahulu. Advokat senior yang masih menjaga idealisme lebih banyak bekerja dalam diam, berpegang pada profesionalisme, dan menolak terlibat suap atau praktik mafia hukum.
Pesan kepada advokat muda, fokuslah pada integritas, profesionalisme, dan kerja keras hukum untuk menjadi teladan baru, bukan sekadar mengejar nama atau kekuasaan instan. Situasi organisasi advokat saat ini dipandang tidak ideal. Mekanisme disiplin internal lemah, sehingga sulit menjaga marwah profesi.
Advokat yang profesional harus tetap berjuang di dalam ketidakidealan sistem ini dengan tetap menjaga sikap, membangun jaringan sah, dan memperjuangkan keadilan dengan jalur resmi.
Dalam skema mafia peradilan, klien yang memiliki uang juga berperan besar: Mereka mendorong atau membiayai praktik suap, baik melalui advokat sebagai perantara maupun langsung ke aparat. Selama klien-klien kaya merasa mereka bisa “membeli” keadilan, siklus mafia peradilan akan terus berulang.
Marwah Advokat
Herman menekankan, advokat berintegritas wajib menolak bujukan klien untuk menggunakan jalur suap. Advokat harus mengedepankan argumentasi hukum kuat, teknik litigasi yang mumpuni, dan penguasaan hukum acara sebagai alat utama memenangkan perkara, bukan suap. Keteladanan advokat dalam menolak praktik kotor akan menjadi tameng utama untuk memutus mata rantai mafia hukum dari akar.
Dalam upaya pemulihan marwah advokat Herman menekankan untuk korps advokat: agar dilakukan pengetatan standar rekrutmen dan kode etik. Pembentukan dewan kehormatan profesi yang benar-benar independen dan berani menindak. Menghidupkan kembali pendidikan berkelanjutan (Continuing Legal Education) dengan fokus pada integritas.
Sedang untuk masyarakat: Memilih advokat berdasarkan reputasi dan rekam jejak integritas, bukan berdasarkan janji kemenangan cepat. Menolak praktek “membeli keadilan” melalui suap. Sementara untuk untuk aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) agar memperkuat pengawasan internal. Menjalankan reformasi kelembagaan secara sungguh-sungguh dan Memberikan sanksi tegas bagi aparat yang terlibat mafia hukum.
Mafia hukum tidak akan musnah jika hanya para pelaku lapangan (advokat atau aparat) yang dihukum, tanpa menyentuh para pemberi dana (klien berduit). Tanggung jawab moral dan profesional advokat adalah menjadi tembok pertama dalam menolak praktik korup, dengan mengedepankan kecerdasan hukum dan integritas pribadi.